Kamar Tirta sangat luas dan mewah. Nindya seperti berada di alam lain ketika berada di dalamnya. Ini pengalaman pertama kali dia memasuki kamar orang kaya raya yang super wah, dengan dipan mewah dan besar, dan beragam furnitur yang kokoh dan pasti mahal. Ini pertama kali pula baginya berduaan dengan laki-laki yang dia kenal baru beberapa hari.
“Kamu mau pijat saya di sofa atau di atas tempat tidur?” tanya Tirta saat Nindya sudah memegang minyak pijat, berupa minyak zaitun.
“Terserah Bapak nyamannya di mana.”
“Kalo saya terserah yang pijat, biar mijatnya enak dan nyaman juga, jadi bebas bergerak.”
Melihat sikap Tirta yang biasa saja, Nindya tidak lagi risih dan dia akhirnya memilih tempat tidur.
Tirta tanpa sungkan membuka bajunya dan bertelanjang d**a, lalu rebah terungkup sambil memeluk bantal di d**a.
“Lepas saja celanaku kalo kakiku dapat giliran dipijat,” ujar Tirta, dan suaranya terdengar sangat serak, pertanda dia yang sangat lelah setelah hampir seharian bekerja.
Nindya menghela napas pendek sambil menelan ludah, pikirannya tidak bisa dia kontrol, membandingkan tubuh Tirta yang jauh lebih wah daripada tubuh Harja. Kulitnya bersih dan cerah, berotot pula dan bulu-bulu halus di tangan yang menghangatkan perasaannya.
Nindya sudah duduk bersimpuh melipat kaki, mendaratkan tangannya ke leher dan sepasang bahu Tirta.
“Berapa umurmu, Nin?” tanya Tirta, suaranya tenggelam di dalam bantal.
“Empat satu, Pak.”
“Panggil Mas saja kalo berduaan. Kalo di luar ya panggil aku Pak.” Tirta sudah mengubah cara bicaranya lebih akrab dengan Nindya.
Nindya tersenyum kecil, sepertinya Tirta sosok yang suka bercanda. Dia melirik ke b****g Tirta yang mantap dan kokoh, bergumam dalam hati bahwa orang ini memang memiliki kesempurnaan fisik, dan memanfaatkannya dengan merayu lawan jenis.
“Anakmu tiga, Nin?”
“Ya.”
“Berapa saja usia mereka?”
“Yang pertama laki-laki, namanya Bayu, delapan belas tahun dan tahun ini baru masuk kuliah. Yang kedua Citra, enam belas tahun, baru masuk SMA. Dan terakhir Cakra, sepuluh tahun, kelas empat SD.”
“Sama kamu semua?”
“Iya, Mas.”
Tirta terkekeh, senang Nindya menuruti keinginannya, memanggilnya Mas. “Enak banget pijatan kamu, Nin,” pujinya.
“Mas kayaknya biasa dipijat, biasa pijat di mana?” tanya Nindya iseng.
“Spa. Tapi terus terang, pijatan kamu enak banget. Kalo di Spa sama cewek-cewek muda. Tangannya kurang bertenaga dan nggak bisa pas kalo mijet. Kadang suka terlalu keras juga. Kalo kamu, ah, enak sekali, dan pas. Pantes si Cecil suka kamu. Naomi bilang mau demam juga.”
Nindya tertawa renyah, membayangkan dua anak perempuan Tirta yang ceriwis dan pintar. Cecilia si adik yang ramah dan sopan dan Naomi si kakak yang agak pendiam namun perhatian.
“Anak-anakmu cantik-cantik lo, Mas.”
“Iya dong. Mantan istriku, ‘kan cantik. Makanya anak-anakku cantik semua.”
“Kok ikut kamu, Mas?”
“Kamu?”
“Mantanku nggak mau tanggung jawab. Kasih uang seratus juta terus blas pergi nggak mau berhubungan sama anak-anak.”
“Pergi ke mana?”
“Kawin lagi sama daun muda, dua tahun lebih tua dari anakku yang pertama.”
“Oh, kurang ajar sekali.”
“Lha kalo, Mas, bagaimana?”
“Mantanku nggak betah sama aku, gugat cerai dan minta aku rawat anak-anak. Dianya kepingin bebas.”
“Nggak betah bagaimana?” Nindya memindahkan pijatannya ke punggung Tirta.
Tirta mengerang sebentar sebelum menjawab, “Gimana mau betah sama aku, akunya genit, Nin.”
“Haha.”
“Cemburuan, padahal aku nggak sejauh yang dia pikirkan. Ya seperti ini.”
“Ini sebenarnya jauh, Mas. Kalo Mas masih suami orang ya aku mana mau mijet.”
“Kamu cemburuan juga, Nin?”
Nindya tertegun sejenak, dia bingung harus menanggapi apa. “Nggak tahu, Mas.”
“Lo, kok nggak tahu? Kamu marah nggak waktu mantan kamu pacaran sama yang muda?”
Nindya berpikir sambil mengingat-ingat pertama kali mengetahui skandal mantan suaminya dengan gadis muda bernama Pusparini Hanggari. “Ya, sedih saja. Mau marah nggak bisa. Takut dia balik marah.”
“Artinya kamu nggak cemburuan, ya pantes kamu dicerai.”
“Lha, istri Mas yang cemburu juga bercerai.”
“Dia gugat aku, kalo nggak gugat ya nggak jadi bercerai.”
Nindya berdecak, tidak menyukai penilaian Tirta terhadap dirinya yang pantas dicerai. “Aku dua puluh tahun lo, Mas sama dia. Aku urus rumah tangga, aku nggak pernah ke mana-mana, nggak punya teman akrab. Aku fokus keluarga, memang aku pantes dicerai?” ocehnya. Dia mengeraskan pijatannya.
“Hei, hei, Nin. Tenang. Aduh, sakit, Nin. Sakit, aduh, aah aaah. Aaah.”
Nindya memukul pundak Tirta sebal, karena lenguhan mes*m Tirta. Dia hampir saja menyudahi pijatannya.
“Duh, Nin. Sewot begitu, ayo ini tanggung pijatannya. Maaf, maaf. Kamu memang nggak pantes dicerai, dia yang pantas dikutuk.”
Nindya kembali memijat punggung Tirta.
“Mau buka celanaku, Nin?” tanya Tirta yang berpikir Nindya sudah menyelesaikan pijatan di bagian punggungnya.
“Ya,” jawab Nindya dan dia melepas celana kerja Tirta, hingga meninggalkan bokser hitam saja. Nindya menelan ludahnya melihat gundukan di sela paha Tirta. Dia bergidik dan gelisah, dari bentuk gundukannya saja kepunyaan Tirta pasti lebih “berasa”.
Nindya perlahan memijat betis besar Tirta, dengan sesekali melirik ke sela paha Tirta yang sedikit terbuka.
“Pijatan kamu kok beda, Nin?” tanya Tirta. “Kamu ngintip ya?”
“Mas kalo di pijet itu mbok ya diem.”
Tirta tertawa lepas, tapi dia lalu mengaduh karena Nindya mencubit bokongnya.
“Kalo nggak bisa diem aku sentil bijimu, Mas!” ancam Nindya mulai berani.
Tirta terdengar menahan tawa, menyadari dirinya yang sedang dikuasai Nindya. Tapi entah kenapa dia menyukai keseruan dipijat malam ini.
“Kamu sering mijet mantanmu, Nin?” tanya Tirta, kali ini nada suaranya datar dan tidak bermaksud mes*m.
“Sering, Mas. Setiap minggu, dan aku masih bisa dibilang pantes dicerai?”
“Nggak, Nin. Nggak pantes dicerai. Jangan disinggung-singgung lagi dong. Iya, iya aku akui aku keliru. Tapi satu hal, nggak cemburu itu bikin bosen juga.”
Nindya diam saja tidak mau lagi berdebat.
Satu kaki sudah selesai dipijat, kini berpindah ke kaki lainnya, dimulai dari telapaknya.
“Enaknya, Nin. Oooh. Apa bisa setiap minggu juga aku dipijat begini?” tanya Tirta.
“Asal bayarannya sesuai,” ujar Nindya sambil tersenyum manis. Dia menyadari satu hal tentang Tirta yang memang genit, tapi sebenarnya baik hati.
Bersambung