Tirta benar-benar menikmati pijatan Nindya malam itu, dia bahkan belum membolehkan Nindya berhenti dan bersedia membayar tunai untuk malam ini. Mendengar jumlah uang yang dijanjikan, tentu Nindya lebih semangat memijat pria matang yang sudah lima tahun menduda.
“Kamu sendiri berapa usiamu, Mas?” tanya Nindya yang sudah merasa nyaman dan tidak khawatir.
“Tebak dong, berapa.”
“Tiga puluh delapan?”
“Hah! Tiga delapan tapi kamu aku suruh panggil aku “Mas”.”
“Ya sudah kalo nggak mau jawab.”
Nindya masih memijat telapak kaki Tirta dan sesekali Tirta mengaduh senang.
“Aku empat puluh enam, Nin,” jawab Tirta akhirnya.
Nindya terkejut. “Ha? Masa? Mantanku empat puluh tiga tapi kayak lima puluh lo, Mas.”
Tirta terkekeh mendengar ucapan Nindya tentang mantan suaminya. “Kamu menikah muda, Nin? Anakmu sudah kuliah.”
“Ya, aku menikah sembilan belas pas tamat SMA, empat tahun baru lahir Bayu.”
“Oh. Buang ke luar ya, Nin?”
“Ih.” Nindya mencubit betis Tirta tapi Tirta tidak mengaduh, justru tertawa.
“Kamu subur begitu.”
“Kok Mas bisa tahu?”
“Bisalah, dari bentuk badanmu.”
Nindya tersenyum kecil, dia menyadari bahwa Tirta memang paham cara menghadapi perempuan dan bersikap santai.
“Awal nikah yang indah, Nin?” tanya Tirta.
Nindya tersenyum mengingat masa-masa awal menikah dengan Harja. Tidak dapat dia pungkiri pesona Harja memikat hatinya. Harja dulu juga digilai banyak perempuan karena gagah dan pekerja keras. Tapi dalam dua tahun terakhir dia berulah dan selalu marah-marah tanpa sebab. “Ya,” decaknya yang kecewa akan keputudan Harja yang menceraikannya, memilih selingkuhannya.
Dua telapak kaki Tirta sudah selesai dipijat, kini pijatan berpindah ke lengan Tirta. Nindya berpindah posisi duduk di sisi tubuh Tirta yang masih terungkup.
Nindya termenung sejenak sebelum bertanya tentang sesuatu, “Mas umur empat enam, hm … Naomi sebelas tahun, jadi Mas menikah tiga limaan?”
Tirta terkekeh pelan, “Aku kawin cerai empat kali, Nin.”
“Astaga, Mas?”
“Tiga kali main-main, satu kali kawin serius.”
Nindya terkejut, tapi tetap bisa menguasai diri. “Pantes kamu genit. Kawin main-main gimana maksudnya?”
“Kawin bawah tangan, setelah kuliah dulu di New York, aku kawin sama teman kampus. Aku nggak mau kumpul kebo, mau kawin resmi ribet urusannya.”
“Oh, Mas dulu kuliah di luar negeri?” tanya Nindya yang justru tertarik dengan akademik Tirta.
“Ya. Aku SMA juga di sana.”
“Enak ya jadi orang kaya, mau sekolah kuliah bisa di mana saja.”
“Nggak juga, ada jalur beasiswa juga kok, Nin. Siapapun bisa kuliah di Amerika.”
“Ya musti pinter.”
“Aku pinter, Nin. Kalo nggak mana bisa lulus.”
“Terus, Mas pindah kerja di Jakarta?”
“Dulunya aku kerja di bank dan kantor keuangan di London, tiga belas tahun. Lalu ayahku meninggal, meninggalkan banyak perusahaan yang musti diurus, ya aku harus balik ke Jakarta.”
Nindya manggut-manggut, senang mengenal orang luar biasa seperti Tirta, yang pasti memiliki banyak pengalaman hidup. Tapi ada yang terpikirkan olehnya, mantan suaminya dulu pernah mengeluhkan sikap bosnya yang lebih ketat daripada bosnya yang terdahulu. Bosnya sekarang adalah anak dari bosnya yang meninggal beberapa tahun yang lalu. Cerita yang persis sama dengan Tirta yang pindah ke Jakarta karena harus menggantikan ayahnya yang telah meninggal, tapi Nindya berpikir bukan Tirta orang yang dikeluhkan Harja. Tirta adalah orang yang sangat fleksibel dan tidak ketat seperti yang diceritakan mantan suaminya.
Pijatan Nindya berpindah ke kepala dan Nindya harus berpindah duduk di depan kepala Tirta. Dengan hikmad dia memijat kepala Tirta. Suasana hening di dalam kamar besar dan mewah. Beberapa menit kemudian, Nindya selesai memijat dan tidak lupa Tirta berucap terima kasih.
Nindya senang malam itu, satu juta setengah mendarat di atas tangannya.
***
Suasana dapur di kediaman Tirta sangat ceria pagi ini. Nindya dengan tekun menyisir dan merapikan rambut Naomi yang panjang, dan Cecilia yang tampak sedang menunggu giliran. Dua kakak beradik itu menikmati sarapan pagi yang disuapi seorang asisten muda bernama Lince.
“Bu Nin pulang nanti sore?” tanya Naomi ke Nindya yang sekarang sedang mengurus rambut Cecil.
“Ya.”
“Jam berapa?”
“Jam tiga, Omi.”
“Jadi nggak nemenin aku berenang?”
“Kan sama Mbak Lince.”
Naomi cemberut.
“Bu Nin nggak boleh pulang. Aku nanti habis berenang mau dipijat. ‘Kan Ibu sudah janji,” keluh Naomi, melirik Cecilia yang senyum-senyum karena sudah mendapat pijatan nikmat dari Nindya. Tentu saja tatapan Cecilia membuatnya iri.
“Senin nanti Ibu kerja lagi. Ibu sudah kangen sama anak-anak Ibu di rumah. Boleh ya?” Nindya membujuk Naomi dengan tatapan penuh kasih sayang.
Mata Naomi berkaca-kaca mendengar bujukan Nindya.
“Biar saya yang suapin, Mbak Lince,” ujar Nindya, ingin menenangkan perasaan Naomi. Lince menyerahkan piring berisi nasi goreng sosis ke tangan Nindya.
Tak lama kemudian, ruang makan lebih heboh lagi saat Tirta muncul dan sudah gagah serta rapi dengan pakaian kerjanya. Aroma parfum lembut dan mahal dari tubuh besar Tirta pun tercium, hingga ke hidung Nindya, terutama saat Tirta mendekati kedua anaknya dan mencium pipi mereka bergantian.
“Cantik-cantiknya anak Papi. Siap sekolah?” sapa Tirta sambil sekilas melirik Nindya, dan Nindya tersenyum tipis ke arahnya.
Nindya terkesima akan sikap Tirta ke anak-anaknya, menatap kedua anaknya dengan penuh kasih sayang. Dia mengingat sikap Harja selama menikah, selalu mengeluh dan tidak peduli anak-anaknya sedari kecil. Selalu bilang sibuk jika anak-anak memintanya menemani bermain, atau sekadar menanyakan tentang pelajaran di sekolah.
Tirta duduk di kursi makan khusus untuknya. Berseru ke asisten rumah tangga senior yang sedang melap-lap meja dapur. “Aku mau nenen, Sus!”
Nindya terkaget mendengar seruan Tirta, melihat dua anaknya yang santai dan Lince yang diam saja, seolah kata-kata Tirta terkesan biasa.
“Mau nenen sama teh Sari atau teh kopi, Pak Tirta?” tanya Susi balik. Dia berdandan menor pagi itu.
“Biasa. Sama teh Sari,” ujar Tirta, dia menoleh ke arah Nindya, tahu Nindya resah sekaligus kaget.
“Aku juga mau nenen, Bu Susi, sama Teteh Sari.” Cecilia ikut meminta. Lagi-lagi Nindya meringis mendengar kata-kata Cecilia.
“Omi mau nenen juga?” tanya Susi ke Naomi yang diam saja. Naomi menggeleng, dia memilih s**u saja.
Teh s**u panas sudah mendarat ke atas meja Tirta.
“Seger banget pagi ini, Pak Tirta. Nggak seperti kemarin, kuyu,” komentar Susi.
“Habis dipijat semalam,” jawab Tirta.
Jantung Nindya berdegup kencang, khawatir Tirta menceritakan kegiatannya semalam yang memijatnya di kamar. Pasti para asisten lainnya memandang sinis kepada dirinya.
“Dipijat di mana, Pak?” tanya Susi lagi.
Bersambung