Bab 10. Keceriaan Anak-anak

1161 Kata
“Kasurnya nggak bisa loncat-loncat, Kak Citra?” tanya Cecilia saat berada di dalam kamar Citra, yang perabotannya sederhana. Citra tersenyum hangat, menyadari bahwa anak-anak yang diasuh mamanya ini berasal dari keluarga berada, dia memaklumi pertanyaan Cecilia, dan tersenyum geli mendengar kalimat yang diucapkan Cecilia, tapi dia mengerti maksudnya. “Nggak ada Acnya, cuma kipas angin,” tambah Naomi, wajahnya mulai menunjukkan cemas, dan tiba-tiba dia merasa panas. “Keluar, yuk?” “Kalo malam nggak panas kok, tenang saja. Kita tidur pakai kelambu, biar nggak digigit nyamuk.” “Kelambu?” “Kayak tenda, nanti kita tidur di dalam kelambu, sambil cerita-cerita seram.” “Hiii, Kak Naomiii. Takuuut.” Tentu saja Cecil takut, karena Citra berbicara dengan wajah menakutkan. Citra menyukai cerita seram dan menyaksikan film horor, dia sendiri sedang menulis cerita n****+ horor, berharap ada penerbit yang meminang. Citra tertawa senang, lucu melihat dua anak cantik itu. “Kok takut? Kan ada Kak Citra di sini.” “Oh iya.” Cecilia menghela napas lega, begitu juga dengan Naomi. Mereka berdua tampak mulai akrab. Setelahnya, Nindya muncul dari balik pintu, dia sudah mandi dan bertukar baju rumahan. Nindya segar dan cantik dengan rambutnya yang terurai. Sampai Cecilia dan Naomi terkesima dan berlarian mendekatinya. “Ibuuu. Kok Ibu bisa cantik begini? Wangi lagi,” puji Naomi sambil memeluk erat perut Nindya dan menciumnya. “Makanya, mandi.” “Aku, ‘kan sudah mandi, Bu.” Citra tersenyum melihat keakraban mamanya dan dua anak asuhnya, padahal baru beberapa hari bekerja. Yakin Cecilia dan Naomi sangat bahagia diasuh mamanya. Tampaknya Cakra sudah tidak cemburu lagi, dia malah mengajak Naomi bermain kartu miliknya, Naomi awalnya malu-malu, terkesima melihat Cakra yang berubah sikap. Akhirnya mereka bisa bermain bersama, Cecil juga ikut bermain. Rumah Nindya ramai sore itu, tawa dan canda tidak berhenti di ruang tamu, setelah asyik main kartu, Citra mengajak mereka mencoba filter t****k baru yang lucu. Tapi, tawa mereka terhenti saat Bayu pulang dari kampus, wajahnya bingung melihat dua gadis kecil yang asing di matanya. “Anak-anak asuh Mama,” ujar Citra. “Oh. Anak-anak pak Tirta?” Bayu bertanya memastikan. “Iya.” Citra lalu menyuruh Naomi dan Cecilia menyalami Bayu. “Ini kakakku, namanya Bayu. Panggil Mas Bayu ya?” Naomi dan Cecilia mengangguk patuh, meskipun wajah mereka agak takut. “Mana Mama, Cit?” tanya Bayu, hatinya senang karena tampaknya dua anak tersebut patuh, juga berparas cantik. Dia sempat mengacak rambut kedua anak itu sebentar, menunjukkan bahwa dia senang dengan kehadiran mereka di rumahnya. “Di dapur. Lagi siapin makan malam. Mas capek banget?” “Ya, habis kuliah buat tugas di rumah Duta.” Bayu bergegas masuk ke dapur, melihat mamanya sedang berdiri di depan meja dapur sambil mengolah makanan. Perasaannya begitu lega, akhirnya orang yang dia rindukan sudah ada di depan mata, dan pemandangan dapur seperti biasa lagi. “Akh!” teriak Nindya, sepasang tangan memeluknya dari belakang. “Bayu! Haha. Bikin Mama kaget saja!” Bayu melepaskan pelukannya dan ikut berdiri di samping mamanya. “Masak apa, Ma?” “Nasi briyani.” “Wow! Kok bisa?” “Mama dikasih bu Susi dua paket nasi briyani dan nasi mandi.” “Bu Susi?” “Iya, teman kerja Mama di rumah pak Tirta. Oiya, kamu sudah ketemu Naomi dan Cecil di depan?” “Ya. Cantik-cantik ya, Ma?” “Iyalah, terawat dan sopan.” “Kok ke sini?” “Pada maksa mau ke sini.” Bayu mendengus tersenyum, siapa saja pasti betah dengan mamanya setelah mengenal dekat. “Bakal gawat kalo ke sini tiap Minggu.” “Ya, nanti Mama atur. Anggap saja ini pengenalan, biar mereka bisa lihat kehidupan dunia lain.” “Emangnya dunia kita dunia gaib?” “Haha, bahasa yang bagus apa ya, Yu?” “Jangan pakai dunia lain, Ma. Sisi hidup yang lain.” “Nah, itu maksudnya. Kan mereka terbiasa dengan yang mewah-mewah. Biar kenal dengan kamu, Citra, dan Cakra juga.” Bayu menoleh ke pintu dapur saat mendengar tawa anak-anak yang menggelegar, entah apa yang mereka tertawakan. Dia lalu membantu mamanya mengiris bawang bombay. “Sudah, Yu.” “Nggak apa-apa, Ma. Aku mau belajar masak. Nggak enak jajan terus.” Nindya tersenyum lebar, matanya membulat senang mendengar niat Bayu yang ingin belajar memasak. “Ini satu paket bisa buat beberapa orang, Yu. Kamu masak terus kalo masih sisa, masukin ke dalam kulkas, mau makan lagi tinggal diangetin, pasti enak. Mama sudah coba, makanya Mama buat ini lagi di rumah. Cecilia dan Naomi paling suka makanan ini.” “Mamanya Arab, Ma?” “Nggak. Sama dengan Mama, Jawa Sunda. Yang kasih ini Bu Susi, nah suaminya yang Arab, suka masakin makanan Arab di rumah pak Tirta.” Bayu terdiam sejenak, mengingat cerita Duta tentang kepribadian Tirta, “majikan” mamanya. “Pak Tirta genit nggak, Ma?” tanyanya. Nindya tentu saja kaget, lagi-lagi dia teringat suatu malam ketika dia memijat Tirta. “Nggak. Cuma dia tuh orangnya memang ramah banget, jadi orang-orang emang bilang genit.” “Oh. Mama nggak diganggu, ‘kan?” “Ha? Ya nggaklah, kalo diganggu mending Mama berhenti. Kenapa? Kok kamu tanya-tanya begitu? Pasti dari Duta ya?” “Iya, dia bilang kalo Mama punya masalah bekerja di rumah pak Tirta, lapor saja ke mereka.” Nindya tersenyum kecil. Menurutnya Tirta bersikap baik dan sama sekali tidak mengganggu. Tidak dapat dia pungkiri, senang akan sikap Tirta yang loyal dan gampang kasih uang jika dia bekerja di luar jobdesk, memijat misalnya. “Saking ramahnya, anak-anaknya malah dibolehkan menginap di sini,” ujar Nindya, tidak ingin Bayu terlampau mengkhawatirkannya, dan dia menyukai pekerjaan barunya. Bayu merasa lega mendengar penjelasan mamanya, setelah membantu menyiapkan makan malam, dia lalu pergi mandi. *** Makan malam yang seru di rumah Nindya, semua menyukai masakannya, meskipun dengan bumbu instan. Melihat keramaian di rumahnya, Nindya merasa sangat senang, malamnya dia membuat kue dan Citra ikut membantu. “Buat kue apa, Bu Nin?” tanya Cecilia ingin tahu ketika Nindya mengeluarkan bahan-bahan kue. “Kita akan membuat kue bolu dan onde-onde.” “Asyik, aku suka,” teriak Cecilia senang. Dia dan kakaknya ikut membantu membuat kue di dapur bersama Nindya dan Citra. “Mama nggak apa-apa dipanggil bu Nin? Bukannya nggak suka dipanggil gitu, harus lengkap … bu Nindya gitu, ‘kan?” bisik Citra saat kue-kue sudah dimasukkan ke dalam pemanggang, dan onde-onde yang sedang digoreng. “Mau gimana, Cit. Sudah kebiasaan di rumah sana, ada teman Mama dipanggil bu Sus, namanya Susi, ada juga bu Suk, padahal namanya Sukmawati.” “Astagaaa.” “Iya, kadang Mama suka geregetan, tapi mereka diam saja. Ya, Mama juga diam, nggak mau ribet. Pasrah.” “Ih, Mama. Harusnya dijelaskan dong.” “Mama, ‘kan baru kerja di sana.” Citra akhirnya mau menerima alasan mamanya. Entah kenapa Nindya tidak begitu menyukai dipanggil Nin, baginya terkesan terbelakang dan dia lebih menyukai dipanggil Nindya. Tapi apa boleh buat, saat ini dia harus rela dipanggil Nin. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN