Bab 11. Kangen Kamu

1150 Kata
Diam-diam Naomi memotret Nindya dengan tabletnya, Nindya saat itu sedang berdiri di depan sink dapur, membersihkan alat-alat masak yang dia gunakan sebelumnya. Lalu Naomi mengirim hasil potret ke nomor kontak papinya, sebelumnya papinya berpesan agar tetap melaporkan kegiatannya selama menginap di rumah Nindya. Semakin malam, ternyata rumah Nindya tidak panas seperti yang ditakutkan Naomi dan Cecilia, bahkan cukup sejuk, terutama di bagian ruang tamu. Padahal semua pintu dan jendela sudah ditutup. Rumah yang Nindya tempati memang merupakan rumah kuno, yang konon katanya sudah dibangun beberapa puluh tahun lamanya, pemilik awalnya adalah berkebangsaan Belanda yang sudah kembali pindah ke negara asal. Nindya sendiri sudah menempati rumah itu sejak menikah dengan Harja, dan mereka menyewa dengan harga yang cukup murah untuk rumah dengan kawasan yang sangat strategis di tengah kota. Nindya yang sudah rebah bersama Cakra di atas tempat tidur senyum-senyum mendengar cekikikan tiga gadis di kamar sebelahnya. Kadang tawa mereka disertai dengan ringisan ketakutan dari Cecilia dan Naomi. Dia tahu Citra pasti sedang berdongeng cerita horor karangannya. Nindya senang ternyata Naomi dan Cecilia cepat akrab dan merasa nyaman di rumahnya malam ini. Nindya semakin yakin, bahwa tidak selalu materi menciptakan kebahagiaan dan kenyamanan, tapi juga cinta dan kasih sayang keluarga. Nindya berpikir ada kesamaan antara anak-anaknya dan anak-anak Tirta, sama-sama memiliki keluarga yang kurang lengkap, tapi tetap menerima kenyataan itu dengan ikhlas. Bagaimanapun, Nindya merasa iba dengan kedua anak Tirta, mereka berdua harus menghadapi perpisahan sejak usia yang sangat belia, pasti mereka tidak tahu apa-apa waktu itu. Anak-anaknya masih beruntung, terutama Bayu yang paling puas merasakan kasih sayang orang tua lengkap. “Ma, aku boleh ke kamar kak Citra nggak?” tanya Cakra. Sepertinya dia ingin bergabung dalam keseruan yang ada di dalam kamar kakaknya. Nindya tersenyum hangat, “Katanya kangen sama Mama?” Cakra tersenyum malu. “Ya sudah, sana.” “Tidur sama kak Cit, boleh nggak?” Nindya mengangguk membolehkan. Cakra langsung turun dari ranjang dan melesat ke luar sambil membawa guling kesayangan. Tak lama kemudian, terdengar jejeritan Naomi dan Cecilia, juga Citra sendiri. Sepertinya cerita Citra sedang serius-seriusnya sehingga kedatangan Cakra yang tiba-tiba mengejutkan mereka. Tapi setelah itu mereka tertawa terbahak-bahak. Terdengar Cecilia menyuruh Cakra duduk di sebelahnya, karena dia ketakutan. Kemudian, suara Bayu juga terdengar, dia menanyakan kenapa mereka berteriak dan ribut-ribut malam ini. “Mas Bayu, ayo ikut dengerin cerita kak Citra. Serem tau.” Suara kecil Naomi membuat Nindya tersenyum. Perasaannya sangat bahagia mendengar celoteh kelima anak di kamar Citra. Tiba-tiba ponsel Nindya berbunyi, dan dia melihat jam dinding kamarnya yang menunjukkan waktu sebelas lewat beberapa menit. Dia bingung sekaligus heran, karena hampir tidak pernah menerima panggilan larut malam begini. Nindya mengambil ponselnya dan dia terkejut, Tirta memanggilnya. Mau tidak mau dia harus mengangkatnya, khawatir terkait dengan Naomi dan Cecil. “Halo, Pak?” “Ah, belum tidur rupanya.” “Ada apa, Pak Tirta, nelpon malam-malam begini?” “Aih, Mas dong, Nin. Ini aku lagi di kamar sendirian nelpon kamu.” “I iya, Mas.” Nindya mulai jengah. “Gitu dong. Aku hanya mau tanya gimana anak-anak kita, Nin?” Nindya berdecak dalam hati. Tirta memang sangat kelewat genit, dari sikap, kata-kata, dan sekarang meneleponnya di waktu larut malam. “Mereka baik-baik saja, Mas. Lagi kumpul sama anak-anakku di kamar anakku yang perempuan.” “Tadi buat kue apa, Nin?” Nindya mengerutkan dahinya, dari mana Tirta tahu dia buat kue sebelumnya. Naomi dan Cecilia tidak memiliki ponsel. “Siapa yang telepon kamu, Mas?” “Naomi, ngirim foto kamu sedang masak pakai tabletnya.” “Oalah, aku kira ada mata-mata di sini. Bikin kaget lo, Mas.” Nindya lega, dia khawatir ada mata-mata yang mengikutinya. Dia masih ingat pesan Lince sebelum pergi meninggalkan rumah Tirta, bahwa Lestari tidak suka anak-anaknya akrab atau peluk-pelukan dengan orang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. “Mas, apa … Naomi dan Cecil pulang besok saja?” “Kok besok? Bareng kamu saja pulangnya. Besok anak-anak itu nggak punya kegiatan apa-apa.” “Duh, Mas. Aku takut nanti mantan istrimu marah lo.” “Marah gimana? Dia saja sudah tiga bulan nggak liat Naomi dan Cecilia. Anak-anak itu juga nggak tanya-tanya maminya, paling juga nanti ujung-ujungnya mau sama kamu.” “Tapi kalo maminya tau gimana, Mas. Aku pasti kena marah.” “Kamu belum ketemu dia sudah mikir yang serem-serem. Dia itu nggak seserem yang kamu pikirkan, Nin,” ujar Tirta yang tidak ingin Nindya resah, meskipun dia tahu Lestari cemburuan dan gampang sekali marah. Nindya merasa tenang mendengar kata-kata Tirta. Apalagi Tirta berkata dengan nada lemah lembut. “Aku kangen nenen kamu, Nin,” ujar Tirta tiba-tiba, karena Nindya yang terdiam cukup lama. Nindya terkesiap, “Mas! Kalo ngomong itu yang lurus,” balasnya ingin marah. “Ya, itu lurus, Nin. Teh susumu lebih enak daripada teh s**u buatan Susi.” “Ya kamu bilang teh s**u dong. Jangan nenen, itu anak-anak jadi niru kamu lo, Mas,” omel Nindya. “Aku nyamannya bilang nenen, Nin.” “Kamu apa nggak kebayang kalo anak-anakmu bilang nenen ke orang lain di luar rumah?” “Ya, kalo begitu kamu dong yang ajarkan mereka.” “Kamu juga ck….” Nindya tersadar, bahwa dia tidak seharusnya terlalu jauh dengan urusan pribadi Tirta. “Sudah, Mas. Aku mau tidur.” “Hei, aku belum selesai bicara kok sudahan.” “Mau tanya apalagi?” “Itu aku dengar suara-suara, dari mana? Anak-anak kita belum tidur, Nin?” “Ya, aku sudah bilang mereka lagi dengerin Citra cerita horor di kamar.” “Ah, senangnya anak-anak kita deket ya, Nin?” Nindya terdiam sejenak, dia juga menyukai keadaan ini, apalagi sepertinya Tirta tidak keberatan anak-anaknya mendengar cerita horor. “Iya, Mas.” “Kamu ngantuk, Nin?” “Iya, ck … tadi aku baru mau tidur, teleponmu ganggu, Mas.” “Maaf, Nin. Namanya juga lagi kangen … sama anak-anak.” Tirta sengaja memberi Jeddah setelah berucap rindu, dia memang mengatakan rindu dengan anak-anaknya, tapi sebenarnya dia memikirkan Nindya yang wajah sewotnya menggemaskan. “Udah ya, Mas.” “Terus, besok apa acara kamu dan anak-anak?” “Ya, aku belum tahu. Tadi Bayu dan Citra katanya mau ajak Cecil dan Naomi jalan-jalan ke mall. Masih rencana, kalo jadi pasti aku minta izin ke kamu, Mas.” “Harus izin dong. Oiya, naik apa? Apa perlu aku suruh Dindin jemput mereka?” “Nggak perlu. Lagian juga belum tentu jadi. Oiya, aku juga nanti minggu depan kalo pulang nggak perlu diantar pakai mobilmu. Nggak enak dilihat tetangga.” “Ya sudah kalo kamu nggak nyaman.” “Iya, paling nanti anak-anak naik taksi besok. Pokoknya kalo sama Bayu semua aman, aku minta izin ya, Mas?” “Iya, Nin.” “Aku … tidur dulu, Mas.” “Jangan lupa nenen anak-anak kita, Nin.” “Ck, iyaaa. Udah, Mas ah. Risih aku.” Terdengar kekehan dari ujung sana. Kekehan yang membuat Nindya dengan cepat menyudahi panggilan. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN