Ingin menjaga perasaan perempuan muda itu, Razak lalu mengulurkan tangannya dan menjabatnya.
“Razak,” ucap Razak dengan senyuman manis dan ramah.
“Saya Dennis.”
Dennis duduk di antara Razak dan Tirta, lalu menoleh ke Tirta.
“Saya Adji,” Tirta mengucap nama tengahnya dengan sengaja, juga akhirnya menjabat tangan halus Dennis.
“Mana dia?” Razak mempertanyakan pria tua yang menemani Dennis.
“Oh, sedang ke toilet, Pak… Razak.”
“Katanya pernah liat saya … di mana?” tanya Tirta akhirnya, dan dia tetap bersikap lembut.
“Di spa Le Meridi**. Saya tukang pijat di sana. Sebelumnya Bapak sering kami pijat.”
Razak menutup mulutnya menahan tawa. Ternyata perempuan cantik ini berprofesi sebagai tukang pijat, mungkin plus-plus, terlihat dari penampilannya. Tirta memang nakal, batinnya.
“Kamu memijat saya? Iyakah?”
“Iya, Pak. Terima kasih sudah memberi tips banyak waktu itu. Pas banget saya sedang butuh uang.”
“Oh.” Tirta ikut senang mendengar pengakuan perempuan muda cantik itu.
“Kapan pijat lagi, Pak Adji? Sudah lama lo. Biasanya satu bulan beberapa kali gitu.”
Tirta tertawa renyah, “Saya sudah punya tukang pijat spesial di rumah,” jawabnya, dan pikirannya ke Nindya yang sedang bersenang-senang di rumahnya bersama kedua anaknya malam ini. Rasanya ingin sekali bergabung.
“Oiya, Dennis. Tadi siapa?” tanya Razak ingin tahu siapa yang ditemani Dennis ke klub. Tirta tampak resah dengan pertanyaan yang dilontarkan Razak. Sahabatnya yang satu ini memang memiliki rasa ingin tahu yang sulit diredam.
“Oh, dia om Radja, yang biayai saya sehari-hari.”
“Sugar daddy?”
Dennis hanya memberi jawaban dengan tawa khasnya yang menggoda. “Begitulah.”
Tirta manggut-manggut, salut dengan sikap Dennis yang tidak sungkan mengakui pekerjaannya. Tapi maaf, malam ini dia sedang memikirkan yang lain. Sikapnya tidak menunjukkan sikap genit seperti biasa, Dennis terlalu gampang menurutnya.
“Oh, om Raja sudah ke luar. Maaf, Pak Adji, Pak Razak. Sudah mengganggu.”
“Iya, iya. Tidak apa-apa. Silakan.” Tirta dan Razak mempersilakan Dennis pergi dari mereka. Razak sampai menoleh ke belakang memandang punggung dan b****g Dennis, juga Tirta yang santai memperhatikan lenggak lenggok langkah Dennis menuju pria tua yang bernama Raja.
“Dia cukup ramah dan hormat,” gumam Razak. “Tidak menyapa Om ke kita-kita, tapi “Pak”.”
“Itu mungkin aku pernah dipijatnya,” sambung Tirta.
“Apa dia yang pernah memijat pen**mu sampai muntah, Tirta … sehingga dia sulit melupakanmu.”
Tirta terbahak-bahak. “Mana pernah aku minta, Razak. Aku lebih baik on*** sendiri di kamar mandi pakai sabun, gini gini aku menghargai perempuan.”
“Ah, masa. Cantik lo dia.”
“Kalo nggak percaya ya sudah.”
Razak mengamati wajah Tirta dengan seksama. Selama menduda, memang tidak ada gosip atau isu seputar perempuan dalam keseharian Tirta, meskipun dia berlaku genit kepada perempuan, terutama yang muda-muda. Adalah beberapa, tapi selalu tidak ada bukti. Isu terkuat adalah bahwa Tirta menyimpan dua perempuan muda yang tinggal di sebuah apartemen mewah, pernah Razak mempertanyakannya, tapi Tirta ogah menanggapinya.
Malam itu, Razak dan Tirta tidak lagi membahas perempuan, tapi lebih ke soal bisnis dan performa perusahaan yang sedang mereka kelola. Tirta sangat mempercayai Razak yang selama ini bekerja dengan jujur dan tidak pernah menggelapkan uang perusahaan.
“Aku sekarang baru kepikiran untuk menertibkan rumah-rumah almarhum papaku,” ujar Tirta setelah cukup lama berbincang tentang proyek-proyek perusahaan di masa depan.
“Wah, memang wajib ditertibkan, Tirta. Sudah lama aku ingatkan, tapi karena kamu terlalu sibuk dengan proyek yang lebih menjanjikan. Aku maklumi itu. Saking banyaknya, almarhum ayahmu itu kadang sampai lupa menagih sewa rumah-rumahnya. Yang menyebalkan itu orang-orang yang menyewa tidak tahu diuntung, malah memanfaatkan dan pura-pura lupa membayar. Kan parah itu. Ada juga yang uang sewanya sangat tidak masuk akal murahnya, dan kamu harus menertibkan semuanya.”
“Ya, Razak. Aku sedang mencari waktu yang tepat.”
“Harus tega, Ta. Jangan seperti almarhum ayahmu yang cepat iba dengan kesedihan yang mereka jual.”
Tirta mengangguk membenarkan, ayahnya semasa hidup memang mudah iba dengan orang-orang yang lebih susah. Tapi dengan itu ayahnya dikenal sangat dermawan.
Tirta merasa sangat lega menghabiskan malamnya di klub malam hingga pukul sebelas, dan pikirannya juga lebih segar, membahas banyak hal dengan sahabatnya.
***
Beberapa waktu sebelumnya,
Cakra meninggalkan permainannya bersama teman-temannya saat melihat mobil mewah berhenti tepat di depan pagar rumahnya. Dia yakin itu adalah mamanya yang janji pulang ke rumah sore ini.
“Mama!” teriak Cakra dan langsung memeluk erat Nindya dan menangis sesenggukan, dia tidak peduli ejekan teman-temannya dari kejauhan. Kerinduan sudah mendarah daging dalam dirinya.
Beberapa saat kemudian, barulah dia tenang karena Nindya membujuknya penuh rasa sayang.
“Ini siapa, Bu?”
Nindya tersadar, dia pulang bersama Naomi dan Cecil.
“Eh, oh iya. Kenalin ini Cakra, anak Ibu. Ayo, kita masuk dulu yuk.”
Cakra melihat dua gadis sebayanya dengan tatapan bingung.
Nindya cepat-cepat menyuruh Cakra, Naomi dan Cecilia masuk ke dalam rumahnya, sambil membawa beberapa tas, sang sopir juga membantunya.
“Makasih, Pak Dindin,” ucap Nindya saat semua barang sudah diletakkan di dalam ruang tamu rumahnya.
“Wah, rumah Bu Nin besar juga. Adem, Bu.” Cecilia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang tamu yang diisi dengan perabot dan kursi tamu sederhana model kuno.
“Sudah, ayo kenalan dulu. Ini Cakra, anak Ibu. Cakra, ini Naomi dan ini Cecilia. Ibu bekerja mengasuh dan menjaga mereka,” ujar Nindya menjelaskan.
Cakra ragu-ragu mengulurkan tangan kanannya, tapi dengan cepat disambut Naomi, dan gadis itu tersenyum ramah ke arahnya, juga Cecil.
Nindya senang akan sikap ramah dua kakak beradik itu, tapi hatinya sedih melihat Cakra yang diam, yakin bungsunya itu memendam cemburu.
“Nanti malam kamu tidur sama Mama ya?” bisik Nindya ke telinga Cakra, dan dijawab dengan anggukan oleh Cakra.
“Ih, enaknya panggil Mama, aku boleh nggak, Bu?” tanya Cecilia tiba-tiba, ingin juga memanggil Nindya dengan mama seperti Cakra memanggil Nindya dengan Mama.
Nindya menoleh ke Cakra sejenak, anak itu cemberut tidak suka.
“Sudah, Cecil. Panggil Ibu saja, nggak apa-apa,” ujar Naomi, berharap adiknya mengerti.
Tiba-tiba muncul Citra dari dalam kamarnya yang tidak jauh dari ruang tamu, dia terkejut melihat dua gadis cantik yang tidak pernah dia lihat sebelumnya.
“Cit. Ini anak-anak yang Mama asuh di rumah pak Tirta, hm … anak-anaknya pak Tirta,” jelas Nindya cepat.
“Oh.” Citra memasang wajah mengerti. Tidak seperti Cakra yang bingung dan cemberut, Cirta justru tersenyum ramah dan manis ke kedua gadis itu, mengulurkan tangan kanannya dan menjabat erat tangan Naomi dan Cecilia bergantian.
“Biar mereka tidur di kamarku saja, Bu,” usul Citra cepat, senang melihat dua anak cantik itu. Dia tanpa ragu membelai pipi mulus mereka. “Cantik-cantik banget, Bu,” gumamnya sambil melirik usil ke mamanya. Dia sedari dulu memang sangat menginginkan adik perempuan, tapi mamanya menolak, dengan alasan lelah telah mengurus tiga anak.
Naomi dan Cecilia tentu saja senang dengan sambutan Citra yang luar biasa. Apalagi Citra langsung mengajak mereka masuk ke dalam kamarnya dan bermain-main di sana. Kamar Citra cukup lengkap dengan perabotan perempuan, tentu sangat cocok dengan Naomi dan Cecilia.
Nindya menghela napas lega, kembali memeluk Cakra erat-erat dan mencium puncak kepalanya, melepas kerinduan.
Bersambung