“Seneng, Pak. Sampe nggak mau pulang,” jawab Nindya. Setelahnya dia siap-siap pergi, tapi tangannya ditangkap cepat oleh tangan besar Tirta. Nindya tentu kaget dan refleks menepis.
“Temani aku ngobrol dong.”
“Saya belum selesai bersihkan teras belakang, Pak Tirta.”
“Biarin saja, nanti juga Nori yang bersihkan. Duduklah, masa ngobrol sambil berdiri.”
Nindya menoleh ke sana ke mari, khawatir ada yang melihatnya.
“Nindya, ini rumahku. Mau apa aku ya terserah. Duduk dulu. Aku masih kangen kamu.”
Tirta yang memaksa, dan Nindya yang wajahnya menunjukkan segan sekaligus khawatir. Perlahan dia meletakkan pantatnya di atas kursi di depan Tirta.
“Berdiri dulu, Nin,” suruh Tirta.
Nindya berdecak sebal, dan berdiri. Lalu Tirta menarik kursinya dan mendekatkan kursi Nindya di sampingnya.
“Duduklah.”
Nindya duduk dan Tirta yang memperhatikan kedua lututnya. Sikap Tirta membuat Nindya resah, dia memperbaiki roknya agar menutupi lututnya karena menyadari mata genit Tirta yang tertuju ke sepasang kakinya.
“Jangan begitu, cuma ngobrol biasa kok.” Tirta mengunyah kue bolu buatan Nindya dan dia berdecak nikmat. “Apa kataku, kuemu memang enak sekali. Apalagi kue apem.”
“Pak, jangan bicara seperti itu.”
“Kamu pasti bisa buat kue apem, ‘kan? Yang dikukus itu lo. Si Susi sering buatin aku kue apem, tapi aku yakin kue apemmu pasti lebih enak.”
Nindya menghela napas panjang, perasaannya jengkel luar biasa. Tapi dia tetap berusaha mengatur emosinya. Bagaimanapun, Tirta tidak bertindak kurang ajar, kata-katanya barusan masih bisa diartikan sebagai sebuah keinginan Tirta agar dia suatu hari membuatkan kue yang dimaksud.
“Jadi, anak-anak tadinya nggak mau pulang?” tanya Tirta, dan suaranya lemah lembut.
“Iya, Pak.”
“Mas.”
“Iya, Mas. Cecilia dan Naomi suka main sama anak-anakku.” Naomi lumayan lebih tenang, karena pikirannya yang tertuju ke suasana hangat dan ramai di rumahnya. “Minggu depan mau ke rumahku lagi, tapi mereka punya jadwal ke Menteng.”
“Nggak ada jadwal kunjungan ke sana, batalkan saja, Nin.”
“Kenapa, Pak?”
“Lestari sibuk persiapan menikah.”
“Oh.”
“Kalo memang nggak ada jadwal selain itu, ya biarkan saja mereka main ke rumahmu. Atau … ajak anak-anakmu gantian main ke sini.”
“Ah, nggak usah, Mas. Repot.”
“Lo, apanya yang repot? Kamu ya nggak perlu bekerja full, atau boleh pulang ke rumahmu. Tapi anak-anakmu yang ke sini, gantian menginap.”
Nindya menggeleng, anak-anaknya tidak pernah menginap di rumah selain rumahnya. Bayu yang akrab dengan Duta sekalipun tidak mau diajak menginap di rumah Duta.
“Jadi seru banget di rumahmu, Nin. Kamu nggak repot, ‘kan?”
“Nggak. Anak-anak cepat akrab. Hari Sabtu kemarin pergi ke mall, dan haha.”
“Lo, kok ketawa?” Tirta tersenyum senang melihat wajah Nindya yang bersinar saat tertawa. Dia sampai menoleh dan mengamatinya dengan seksama, dan tangan yang memegang satu potong kue bolu pandan buatan Nindya.
“Itu lo, Mas. Aku sudah ingatkan kamu supaya jaga omongan. Anak-anakmu pas ke mall bilang mau teh s**u yang ada bobanya, malah bilang nenen, dan didengar sama yang jualan, juga diliatin sama orang-orang lo.”
“Ah, masa sih?” delik Tirta tidak percaya, mengubah posisi duduknya menghadap Nindya dan serius menatapnya. Tirta sebenarnya percaya saja, tidak mungkin Nindya berbohong. Dia hanya ingin Nindya tetap berceloteh tentang anak-anaknya selama menginap di rumahnya, biar waktu bersama Nindya bisa lebih lama sore ini.
“Ih, Mas, masa nggak percaya.”
“Iya, aku percaya, cuma … ck, ah, haha.”
“Malah ketawa kamu, Mas. Kasian anak-anakmu lo, jadi malu. Mereka pikir itu kata biasa, tapi, ‘kan nggak semua orang menganggapnya kata biasa. Kalo di rumah ya nggak apa-apa.”
“Lha, aku bilang nenen di rumah lo, Nin,” ujar Tirta, tapi matanya tertuju ke d**a Nindya. Nindya cepat-cepat mengubah posisi duduknya lebih tegap. Sikap Tirta membuatnya sangat risi.
“Tapi didengar anak-anak, Mas.”
Tirta terdiam sejenak, lalu mengunyah satu potong kue bolu pandan yang dia pegang. “Oke,” ucapnya setelah mengunyah.
Nindya menghela napas lega. “Untungnya Naomi dan Cecilia hanya malu sebentar. Anakku Citra langsung mengajar mereka agar lebih pandai memilih kata-kata yang tepat. Mereka cepat belajar dan sopan, jadi anak-anakku senang mengajari.”
Tirta tersenyum hangat memandang Nindya. “Pasti anak-anakmu baik semua, Nin.”
“Iya, Mas. Itu kebahagiaan aku, nggak perlu yang gimana-gimana. Yang penting baik dan sehat,” ujar Nindya dengan mata berbinar.
“Nanti kamu yang didik Cecilia dan Naomi.”
“Ya, aku asuh mereka sambil mengajar. Tapi tetap fokus dengan pekerjaan utamaku, beres-beres taman belakang dan bantu bu Susi.”
“Satu lagi, Nin.”
“Apa, Mas?”
“Memijatku.”
Nindya terkekeh pelan, sambil menutup mulutnya. Entah kenapa dia nyaman berbincang dengan Tirta sore itu, hingga perasaannya terasa begitu lepas. Mungkin karena sikap lemah lembut Tirta dan pria gagah itu yang menghargainya.
Tirta menyesap teh susunya yang tinggal sedikit. “Dulu … bagaimana perasaan kamu waktu mantan suamimu menikah lagi?” tanya Tirta, dan wajahnya berubah serius.
Nindya terenyuh mendengar pertanyaan Tirta, seolah memiliki pengalaman yang sama dalam rumah tangga. “Ya, nelangsa, Mas. Sedih. Soalnya dia … kan papanya anak-anak.” Nindya menghela napas panjang, perasaannya menjadi berubah saat mengenang Harja.
Tirta meraih tangannya dan menggenggamnya, meletakkannya di atas pahanya, dan Nindya terisak.
“Sudah, Mas. Aku nggak mau singgung dia.”
“Aku mengerti.”
“Mas mungkin sudah terbiasa … tanpa pasangan, karena sudah lama. Tapi aku baru dalam hitungan minggu. Kadang aku mikir, lebih baik dia menikah dan aku nggak masalah diduakan. Tapi dia nggak mau.”
Tirta mengusap-usap punggung tangan Nindya.
“Kamu … pasti sedih juga, Mas?” tanya Nindya setelah Tirta mengembalikan tangannya.
“Sedih. Tapi ya, sedihnya itu ke anak-anak. Sudah tiga bulan dia nggak menghubungi Cecilia dan Naomi. Kalo sudah menikah, pasti nggak mau lagi datang berkunjung atau memberi waktu anak-anak mengunjunginya.”
Nindya menatap wajah Tirta yang menahan sedih, dan hatinya cukup tersentuh.
“Jadi minggu depan, Mas?”
“Dua minggu lagi, dan aku ikut sibuk jadi panitia.”
Nindya tertawa kecil. “Mas masih punya hubungan yang baik dengan mantan istri Mas, itu bagus lo.”
“Iya, Nin. Biasalah. Aku dan Lestari itu masih ada hubungan kekerabatan. Jadi, aku juga terlibat. Nggak masalah, aku malah senang dilibatkan. Tapi, anak-anak disarankan nggak usah datang. Lestari awalnya mau mereka datang, tapi aku yang melarang.”
“Kenapa, Mas?”
“Nanti bisa mengganggu konsentrasi orang-orang yang hadir di sana. Belum lagi kalo mereka menangis merengek ke Lestari.”
“Tapi nanti pada nanyain anak-anak lo.”
“Iya, itu juga yang menjadi bahan pertimbangan. Tapi saranku justru lebih masuk akal dan Lestari juga setuju anak-anak lebih baik tidak datang.”
Nindya menganggukkan kepalanya, mengerti alasan yang diungkapkan Tirta.
“Nin.” Tiba-tiba Tirta memanggil Nindya dengan suara yang berubah pelan dan lembut.
“Apa, Mas?”
“Ke kamarku nanti jam sembilan malam,” ujarnya dengan mata sayunya.
“Ha?”
Bersambung