Kedatangan Nindya langsung disambut hangat para pekerja rumah tangga di kediaman Tirta. Terutama Lince, meskipun dia memiliki waktu banyak beristirahat tanpa harus mengawasi anak-anak selama dua hari, matanya berkaca-kaca saat memeluk keduanya erat. Maklum, Lince mengasuh Naomi dan Cecilia sejak kedua orang tua mereka bercerai.
Tapi Lince langsung buru-buru melepas pelukannya, mengingat mama mereka yang kurang menyukai keakraban dengan anak-anak.
“Nangis saja, Mbak. Kok ditahan. Malu ya?” ujar Cecilia, dan Lince membelai kepala gadis itu dengan perasaan sayangnya.
“Ayo, sekarang sama Mbak Lince ya? Ibu mau kerja di dapur dulu,” bujuk Nindya dengan sedikit mendorong Naomi yang masih memeluknya. Dia baru saja ke luar dari kamar Naomi dan Cecilia, meletakkan barang-barang bawaan mereka saat menginap di rumahnya.
“Mbak Lince, Papi mana? Lagi pergi ya?” tanya Naomi tiba-tiba, dia tidak melihat papinya sejak masuk ke dalam rumah.
“Iya, Sayang. Papi sedang pergi ketemu mami di Menteng.”
“Oh, kok kita nggak diajak?”
“Hm … Mami mau menikah lagi.”
Naomi dan Cecilia saling pandang, tidak tahu harus bagaimana menanggapi kabar ini.
Nindya terenyuh melihat ekspresi wajah kedua anak itu, persis wajah anak-anaknya saat mengetahui papa mereka menikah lagi. Tampak Lince melirik ke arahnya, dan Nindya mengangguk tersenyum, lalu dia bergegas pergi ke dapur.
Di dapur, sudah ada Susi yang sedang membersihkan ikan-ikan dan daging segar, yang akan dia masukkan ke dalam kotak-kotak yang sudah disiapkan di atas meja dapur. Nindya langsung bersiap-siap membantunya.
“Nin, tadi sebelum pergi pak Tirta pesan ke aku, kamu disuruh buat kue bolu tiga loyang plus onde-onde lima puluh.”
“Ha? Banyak banget?”
“Katanya untuk rapat besok di kantornya.”
“Duh, Bu Susi. Kue buatanku belum tentu enak.”
“Lha, gimana lagi? Itu sudah titah pak Tirta.”
“Kalo untuk besok, ya aku buatnya pagi.”
“Terserah kamu kapan, Nin. Aku ya pasti bantu.”
Nindya membantu memasukkan kotak-kotak berisi ikan dan daging ke dalam freezer.
“Bu, aku dengar dari mbak Lince katanya mantan istri pak Tirta akan menikah?”
‘He eh, betul. Minggu depan atau bulan depan, kurang tahu tepatnya kapan.”
“Oh.” Nindya manggut-manggut, tapi ingatannya tertuju ke wajah anak-anak Tirta yang menyesakkan d**a.
“Kenapa memangnya, Nin? Ingat mantan bojomu?”
“Nggak, Bu. Tadi mbak Lince laporan ke anak-anak, terus … aku jadi iba.”
“Ya, mereka mesti tahu sejak sekarang, nggak masalah diberitahu.”
“Cuma kasihan saja.”
Susi menoleh ke arah Nindya dan dia memahami apa yang dipikirkan Nindya tentang perasaan Naomi dan Cecilia. “Dulu anak-anakmu begitu juga, Nin?”
“Anak-anakku sudah besar, Bu. Jadi aku nggak begitu khawatir.”
Susi tersenyum kecil. “Lebih parah itu waktu anak-anak mereka masih kecil, Nin. Tirta dan Lestari bertengkar hebat sebelum bercerai. Aku masih ingat wajah bingung keduanya, si Naomi bawa boneka beruang dan Cecilia bawa botol s**u ke kamarku, minta ditemenin tidur, katanya mama marah-marah terus.”
Nindya meringis membayangkan cerita Susi. “Apa karena pak Tirta selingkuh?” ujarnya bertanya dan hati-hati.
Susi menoleh ke belakangnya sejenak, seolah hendak memastikan keadaan aman. “Rumornya begitu. Ada dua cewek muda yang dipelihara pak Tirta. Itu yang dipertengkarkan.”
“Oh, pantesan pak Tirta … genit.”
“Tapi aku nggak percaya, nggak ada bukti pak Tirta selingkuh. Cuma ya itu … genitnya susah hilang.”
“Halah, pasti ditutup-tutupi, Bu. Dulu mantan suamiku juga begitu, bilang baru kenal, rupanya sudah dua tahun lebih berselingkuh dengan cewek muda, masih belasan tahun usianya. Yah, aku yang sudah tua ini mesti tahu diri sudah nggak bisa menyenangkan.”
Susi tersenyum, memaklumi apa yang menjadi pikiran Nindya tentang Tirta. “Jangan disamain pak Tirta dengan mantanmu, Nin.”
“Bukan menyamakan, tapi memang itu yang dipermasalahkan Lestari, kan? Nggak ada asap kalo nggak ada apinya.”
Susi menggeleng tersenyum, dia tetap berpikir positif tentang Tirta, karena sudah cukup lama bekerja di rumah Tirta. Tapi dia tetap menghrgai pendapat Nindya yang memiliki pengalaman pahitnya bercerai.
“Lestari itu mau menikah dengan anak sahabatnya,” gumam Susi lagi.
“Anak sahabat? Brondong?”
“Ya. Masih muda, tapi sudah direktur.”
“Oh, hebat ya.”
“Iya, dong. Giliran kamu, Nin.”
“Astaga, Bu.”
“Jangan mau kalah sama Lestari. Dibanding dia, cantikan kamu ke mana-mana lo. Harus mendapatkan yang lebih muda dan lebih ganteng gitu.”
Nindya menggeleng dan cemberut, sebal statusnya sebagai janda yang selalu disinggung Susi saat berbincang. Tapi dia tetap bekerja dengan baik, dan bahkan membuatkan Susi teh hijau panas di pagi menjelang siang hari itu.
***
Sore hari, Nindya membersihkan halaman belakang, dia melihat sekilas Tirta yang ternyata sudah pulang ke rumah, dan berpakaian santai. Nindya terus fokus bekerja saat Tirta datang mendekatinya.
“Sudah buat kue-kuenya, Nin?” tanya Tirta, berdiri di belakang Nindya sambil mengamati tubuh belakang Nindya.
Nindya menoleh ke belakang dan berhenti menyapu. “Lo, Pak. Kata bu Susi kue-kuenya buat rapat besok di kantor? Kalo untuk besok ya buatnya besok pagi-pagi. Biar anget dan enak pas dimakan,” jelas Nindya.
“Oh. Tapi aku lagi kepingin makan kue buatanmu sekarang lo, Nin.”
Nindya memperhatikan wajah Tirta yang memelas. “Bisa sih, Pak. Tapi … ya harus menunggu. Lama.”
“Berapa lama?”
“Bisa satu jam.”
“Nggak lama itu.”
“Ya sudah, saya bersihkan ini dulu, Pak. Setelah itu saya buatkan kue untuk Bapak.”
Tirta tersenyum kecil melihat sikap Nindya yang “sok” patuh, tapi dia menyukainya. “Kamu pandai juga berkepribadian ganda ya, Nin?”
“Maksudnya, Pak?”
Tirta menanggapi dengan senyuman kecil, dan dia berlalu meninggalkan Nindya yang terbengong-bengong.
***
Nindya sendirian berada di dapur saat membuatkan kue untuk Tirta. Namun, ketika satu loyang kecil kue bolu sudah dia ambil dari kompor pemanggang, Tirta mucul di dapur dan duduk di kursi makan.
“Teh susunya juga, Pak?” tawar Nindya penuh hormat.
“Iya dong. Campur nenen kamu pasti lebih sip.”
Nindya hanya tersenyum dalam hati, dia sudah terbiasa dengan kata-kata aneh yang ke luar dari mulut Tirta serta sikap genitnya.
“Onde-ondernya belum sempat saya buatkan. Jadi bolu pandan saja ya, Pak?”
“Ya, nggak apa-apa.”
Sambil menunggu kue bolu yang masih sangat panas di dalam wajan, Nindya membuatkan teh s**u untuk Tirta.
“Gimana anak-anak di rumahmu, Nin?” tanya Tirta setelah Nindya meletakkan cangkir keramik berisi teh s**u di atas meja makan.
Bersambung