Nindya tentu saja terkejut mendengar apa yang dibicarakan Cakra, Citra dan Naomi. Karena agak ribut, Bayu langsung masuk ke dalam kamar mamanya dan merebahkan tubuh Cecilia di atas tempat tidur, kamar Citra agak terasa panas siang ini.
Citra lalu menceritakan tentang insiden nenen di mall, membuat Nindya tertawa. Tapi Nindya dengan cepat membujuk Naomi agar tidak terus-terusan malu, dan menganggap kejadian itu sebagai pelajaran. Nindya mengingat panggilan Tirta semalam menjelang tidur, baru saja dia menyinggung ucapan Tirta yang kurang pantas ditiru anak-anaknya, dan ternyata sudah terjadi tanpa diduga.
Bayu muncul dari kamar mamanya, lega karena Cecilia akhirnya bisa tidur dengan nyenyak.
“Ngomongin nenen lagi ya?” tanyanya sambil menahan senyum.
“Iya, Mas,” jawab Citra sambil rebahan dan memainkan ponselnya.
Bayu duduk di sampingnya. “Emangnya di rumah biasa bilang nenen gitu, Ma?” tanyanya.
Nindya tertawa pelan dan mengangguk. “Awalnya Mama juga kaget, tapi ternyata mungkin sudah menjadi kebiasaan, dan memang nggak masalah.”
“Oh, begitu,” gumam Bayu yang akhirnya mengerti. Tapi beberapa saat kemudian, dia mulai memikirkan cerita Duta tentang Tirta, “majikan” mamanya, yang merupakan sosok yang agak genit. Mungkin saja karena sikap genit itu membuatnya terbiasa mengucapkan kata-kata yang mengundang pikiran aneh bagi yang mendengarnya.
Bayu mengedipkan matanya ke arah mamanya dan Nindya membalas dengan anggukan.
“Minggu depan kita jalan-jalan lagi ya, Mas Bayu?” usul Naomi tiba-tiba.
“Minggu depan ada acara keluarga di Menteng, Omi. Terus hari Minggu kamu ikut lomba melukis di mall,” tanggap Nindya cepat, dia memang sudah mengetahui jadwal keseharian anak-anak asuhnya.
Naomi cemberut, tidak mengacuhkan jawaban Nindya, dan kembali bermain dengan Cakra.
***
Berbeda dengan kehidupan Nindya dan anak-anaknya di rumah sewa, kehidupan Harja kini bergelimang harta. Dia sekarang tinggal di kota elit Tangerang bersama istri barunya, Puspa. Harja mengenal Puspa saat Puspa magang di kantornya, sebagai bawahannya. Puspa memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Tirta, terutama dari pihak Lestari, mantan istri Tirta, dan tentunya tidak terlalu dekat. Setelah magang, Puspa diterima sebagai pegawai tetap di perusahaan milik Tirta, bekerja bersama Harja, yang sekarang menjadi suaminya.
Harja sudah menunjukkan tanda-tanda jenuh berumah tangga dengan Nindya sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Bermula karena persoalan sepele, saat itu Nindya sedang hamil besar dan menolak diajak berhubungan badan. Tersinggung, Harja sempat satu kali “jajan” di luar, dan hal ini tidak diketahui Nindya sama sekali hingga sekarang. Sejak itulah, Harja berubah acuh tak acuh, dan jarang sekali menyentuh Nindya.
Harja tidak menyangka awalnya, godaannya disambut baik Puspa waktu itu. Dia iseng, menawarkan diri untuk mempermudah membuat laporan magang, agar Puspa bisa menyelesaikan laporan akhir kuliahnya. Dia menembak Puspa dengan berterus terang menyatakan perasaannya yang sebenarnya, dan ternyata Puspa juga menyukainya. Harja langsung berkilah bahwa pernikahannya kurang harmonis dan mengatakan bahwa istrinya dulu berselingkuh, dan ketiga anaknya bukan darah dagingnya, melainkan hasil hubungan gelap Nindya dengan laki-laki lain. Anehnya, Puspa mempercayainya dan menginginkan hidup dengan Harja.
Harja yang hebat, cepat disambut baik keluarga besar Puspa. Hampir dua tahun dia “berkorban” mendekati keluarga kaya Puspa dan berhasil. Pengorbanan yang membuahkan hasil, dia telah sukses mengantar bisnis dan usaha keduaorangtua Puspa meraup keuntungan yang sangat besar dan mereka pun berbagi. Harja dengan beberapa properti dan apartemen serta kendaraan mewah, dan keduaorangtua Puspa yang semakin berjaya. Bahkan terang-terangan menyatakan ingin menyaingi perusahaan besar Tirta.
Tapi malam ini Harja sepertinya tampak kesal setelah berhubungan badan. Dia memang puas, tapi merasa ada yang kurang dari Puspa.
“Kenapa, Pi?” tanya Puspa heran. Wajah Harja tidak menunjukkan antusias setelah pelepasan.
“Nggak apa-apa, Mi,” tanggap Harja pelan, rebah di sisi Puspa dan menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.
“Soal Tirta?” Sebelumnya Harja mengeluh sikap Tirta yang semakin menekannya akhir-akhir ini.
“Nggak juga.”
Puspa menghela napas pendek. “Lalu kenapa?”
“Nggak apa-apa, Sayang. Cuma agak pusing.”
“Kok pusing? Tadi ngakunya pusing dan kepingin gituan sama aku. Masih pusing juga?”
Harja meraih tangan Puspa dan menciumnya dalam-dalam. “Sudah, aku nggak apa-apa.”
Melihat senyum lembut di wajah Harja, Puspa akhirnya berpikir bahwa memang tidak ada hal yang serius yang sedang dipikirkan.
“Kamu mau?”
“Nggak, Pi. Aku ngantuk.”
Harja lalu membiarkan Puspa tidur membelakanginya.
Diam-diam, Harja meraih ponsel dari nakas yang berada di samping tempat tidur. Dia membuka aplikasi rahasia, melihat-lihat foto-fotonya bersama Nindya. Entah kenapa dia merindukan Nindya dan kehidupan ranjangnya, yang ternyata lebih seru jika dibandingkan Puspa. Padahal selama berselingkuh, dia terpuaskan oleh layanan Puspa yang meskipun muda tapi cepat sekali belajar dan cukup lihai di atas ranjang. Namun, setelah menikah, Puspa selalu menunjukkan keengganan di setiap kali diajak berhubungan. Mengeluh lelah bekerja atau sedang tidak mood. Ini sangat berbeda dibanding Nindya dulu, yang hampir tidak pernah menolak, bahkan selalu menunjukkan antusias saat diajak berhubungan badan.
Ternyata kekayaan yang melimpah tidak serta mertua menciptakan kebahagiaan bagi hidup Harja. Buktinya sekarang dia sudah mulai merasa hampa dengan pernikahan barunya.
Harja menutup aplikasi rahasia itu dengan perasaan gamang. Terutama saat mengingat masa-masa indah awal menikah dengan Nindya, gadis yatim piatu yang dijodohkan dengannya. Nindya sangat patuh dan tidak pernah sekalipun membantah kata-katanya.
Harja memegang pundaknya yang terasa tegang, menghela napas panjang disertai perasaan kecewa. Lagi-lagi mengingat pijatan Nindya yang sangat nikmat di saat lelah menerpa tubuhnya karena telah seharian bekerja. Harja pernah mencoba pijatan di spa-spa, tapi tidak ada yang senikmat pijatan Nindya.
***
Kepulangan Naomi dan Cecilia dari rumah Nindya mengalami sedikit drama pagi Minggu. Naomi menangis sesenggukan saat harus berpisah dari Cakra, dan Cecilia yang tidak mau turun dari gendongan Bayu. Nindya kewalahan membujuk mereka berdua agar pulang hari ini karena dia juga harus kembali bekerja.
“Atau Naomi nanti Ibu pijat, mau?” bujuk Nindya. Mungkin saking asyiknya bermain bersama Cakra di rumah Nindya, membuat Naomi lupa menagih janji Nindya memijat tubuhnya.
“Aku nggak mau pulang, Bu.”
“Senin nanti Omi harus ke sekolah, Cakra juga sekolah lo.”
“Kan bisa sore pulangnya, atau malam?” usul Cecilia yang masih digendong Bayu. Bayu sangat gemas melihat gadis cantik kecil itu, senyumnya manis dan suaranya lembut saat bicara.
Naomi terdiam sebentar dan berpikir.
“Iya, Omi. Kita, ‘kan harus sekolah besok. Hari ini istirahat bermain.”
Perlahan, Naomi mendekati Nindya, dan Cecilia juga turun dari gendongan Bayu.
Bersambung