Bab 5: Selingkuh

1079 Kata
Malang, Mei 2007 Hujan deras mengguyur kota dingin itu. Suasana terlihat sepi, hanya terlihat  beberapa kendaraan yang terkadang melintas di daerah itu. Sepertinya semua orang memilih berdiam diri di rumah dari pada keluar dan berakhir basah. Jika tidak, mungkin mereka malas merasakan hawa dingin yang lebih dingin dari biasanya. Malang memang sangat dingin akhir-akhir ini, bukan hanya Anora saja yang merasakan kengiluan hawa dingin Malang, tapi rata-rata penduduk Malang juga merasakannya. Tak tahan karena terlalu dingin, akhirnya ia berteduh di bawah sebuah pohon beringin besar. Hujan masih membasahi tubuhnya meski tidak sekejam sebelum ia memutuskan untuk berteduh. Mulutnya telah berubah warna menjadi putih dan terus bergetar karena kedinginan. Ia memeluk erat-erat tubuhnya. Beberapa menit kemudian seorang perempuan paruh baya tergopoh-gopoh menghampirinya dengan payung yang ada di tangan kirinya dan tangan kanannya membawa payung yang lain. "Dek, berteduh di rumah tante saja, yuk..." ajaknya kasihan. Anora diam tak menyahut, ia bingung harus berkata apa, antara ingin dan ragu. "Bajumu sudah basah semua, nanti kamu sakit..." imbuhnya khawatir. Anora masih ragu. "Rumah ibu masuk gang itu kok, gak jauh..." tunjuknya pada gang sempit di hadapan mereka. Anora semakin ragu, ia takut seseorang yang ditunggunya akan kebingungan mencarinya. "Ayo!" "Maaf bu, tapi saya nunggu teman." kata Anora. "Saya takut dia kebingungan mencari saya..." imbuh Anora. Ibu di hadapannya terdiam, bingung juga dengan situasi yang dihadapi oleh Anora. "Kau telepon saja dia, di rumah ibu ada teleponnya..." katanya lagi. Anora menimbang-nimbang, sementara itu hujan semakin deras turun, memaksa perempuan paruh baya itu membuka payung lain yang dibawanya dan ia memberikannya pada Anora. Setelah menerima payung tersebut, Anora mengangguk setuju dan berjalan mengekor perempuan paruh baya itu sembari matanya mengawasi sekitar, takut orang yang ditunggunya selama tujuh jam akan muncul. Tapi sampai Anora masuk ke gang sempit itu, ia tak mendapati sosok yang membuat janji dengannya. *** "Nak... Nak... Bangun..." Anora tergagap ketika sosok lembut menggoyangkan tubuhnya. Ia langsung duduk dari posisinya berebah. Ia mengamati perempuan paruh baya yang asing di hadapannya, lalu matanya mengedar ke sekeliling, ke ruangan yang membuatnya bingung dan bertanya-tanya di mana ia berada. "Makan dulu..." kata perempuan itu seraya berlalu meninggalkannya yang masih merasakan pening di kepalanya. Perlahan Anora ingat ia berada di mana. Ketika ia mengamati ke sekelilingnya lagi, langit di luar sudah gelap dan ia takut. Anora bangkit dan buru-buru ia mengangkat gagang telepon dan memencet tombol di meja yang terletak di sampingnya. Anora cemas, ia belum tersambung semenjak ia datang ke rumah ini tadi sore. Ia menggigit bibir bawahnya, hingga sambungannya dialihkan ke kotak suara lagi. Kembali, ia mencoba menghubingi nomer itu lagi dan berakhir sama, tak tersambung sama sekali. Anora mendesah. Ia cemas. Ia gusar dan pikirannya penuh. Ada apa? Tak biasanya seperti ini?! Ada apa? Kenapa? Anora berdiri dan berjalan ke arah meja makan. "Bu, terima kasih telah menolong saya, sepertinya saya harus pulang sekarang, Ayah dan Ibu pasti mencari saya sekarang..." kata Anora pada perempuan paruh baya yang sedang menuangkan nasi di atas piring di hadapan putri kecilnya. "Makan dulu, nak, nanti biar Ibu antar ke rumah..." kata perempuan itu. Anora tampak ragu, tapi perempuan paruh baya itu benar-benar mengingatkannya pada almarhum bibinya. Lembut dan penuh perhatian. Anora akhirnya duduk dan bergabung untuk makan. Sepanjang ia memandang sekeliling rumah tersebut, ia merasa damai dan tenang, kadang ia bertanya tentang suami perempuan paruh baya itu yang hanya dijawab dengan senyuman saja. "Rumah kamu di mana?" "Singosari..." "Mang, mang!" perempuan paruh baya itu berteriak, tak lama kemudian lelaki agak tua berjalan tertunduk dan tergesa-gesa ke arah Anora. "Nggeh, den..?" tanya lelaki itu sembari masih memandang lantai, tak berani menatap wajah majikannya. "Tolong antar tamu kita pulang, kamu boleh pake mobil yang di parkir di dekat toko..." "Njiih, den..." jawab lelaki itu, ia menatapku kemudian "Monggo neng..." katanya lagi seraya menunjuk pintu keluar. "Terima kasih atas tempat istirahat dan makanannya ya bu..." kata Anora seraya mengulurkan tangannya. Perempuan itu nampak ragu menjabat tangan Anora yang tersenyum manis ke arahnya. Perlahan ia arahkan tangannya ke arah Anora dan menjabat tangan gadis itu. Ketika menjabatnya wajahnya nampak terkejut. "Pulang! Segeralah pulang nak!" kata perempuan itu. Anora mengerutkan keningnya. Ia bertanya-tanya tapi bingung harus mengungkapkannya bagaimana, ia tak paham maksud perempuan penolong itu.  Saat hendak memasuki mobil, Anora menoleh dan mendapati perempuan paruh baya itu berteriak memanggilnya dan berlari ke arahnya. "Sabar ya, jangan putus harapan dan percaya saja kepada hatimu..." kata perempuan itu yang nampak prihatin. "Pak, antarin sampai depan rumah, ya..." lanjutnya. Anora hanya diam dan memandang perempuan yang nampak gelisah itu dengan wajah bertanya-tanya. "Ibu Marsiah bisa membaca masa depan, tapi tergantung non..." "Maksudnya tergantung?" dengan cepat Anora paham maksud sopir paruh baya itu. "Tidak semua orang bisa dibaca masa depannya sama beliau, beliau mendapatkan pengelihatan secara tiba-tiba..." lanjutnya menjelaskan. "Bapak pernah?" Tanya Anora antusias. "Nggak sih, cuma pas istri saya meninggal, bu Marsiah mendatangi saya yang waktu itu tidur di pusara istri saya, katanya saya akan bahagia bila ikut beliau..." Anora mnegerutkan keningnya, tak paham cerita lelaki paruh baya di hadapannya. Lelaki itu tertawa melihat ekspresi Anora lewat kaca mobilnya "Saya dulu juga gak percaya, bu Marsiah tiba-tiba datang, saya tak kenal beliau dan tiba-tiba beliau bilang begitu... saya tinggal beliau di pemakaman istri saya, saya anggap beliua orang gila, pas mau ke masjid, saya lihat beliau kebingungan benerin mobilnya yang mogok. saya mau bantu tapi gak bisa benerinnya, akhirnya saya tolong beliau dengan mengantarnya pulang ke rumahnya... " Lelaki itu menarik napas panjang-panjang. "Tiba di rumah beliau saya kaget, ternyata ibu yang selama ini saya cari bekerja dengan beliau. Saya senang tiada tara ketemu ibu saya lagi setelah saya menyesal pernah mengusirnya dulu dari rumah..." cerita lelaki itu. Anora diam, tak berani berkomentar, pikirannya terlalu penuh dengan apa yang dikatakan perempuan penolong tadi padanya dan lelaki tua yang mengantarnya pulang. Hujan tiba-tiba datang, membuat Anora memandang keluar lewat jendela mobil sembari menikmati suasana malam yang sepi. Matanya menangkap sesuatu di bawah pohon, hatinya tersentak. "Pak berhenti pak! Tolong berhenti pak!" perintah Anora. Mobil berhenti dan Anora buru-buru keluar dari dalam mobil, berlari ke arah apa yang membuatnya kaget. Dari jarak  dua meternya, Anora bisa dengan jelas mengenali sosok yang memunggunginya lewat kaos yang bertuliskan tanggal lahirnya. Perawakan yang tinggi dan atletis membuatnya yakin bahwa orang itu yang sedari tadi ia cari. "Andre?" panggil Anora. Pemuda di hadapannya buru-buru melepaskan tangan dari leher wanita yang didekapnya, berikut dengen bibirnya yang sebelumnya tengah bertautan. Ia menoleh seketika dan mendapati gadis yang dicintainya tengah berdiri memandangnya dan perempuan di dekatnya. Anora semakin heran ketika melihat bahwa kekasihnya, Andre ternyata mencumbu sahabatnya sendiri. Mimpi. Iya, Ini pasti mimpi! Tidak mungkin  nyata! Ini pasti mimpi! Aku ingin bangun dari mimpi ini! Pikiran Anora penuh, tapi hujan benar-benar telah membuatnya basah dan ia bisa merasakan dinginnya air hujan. Tanpa pikir panjang lagi, Anora berlari pergi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN