Skenario Irene sungguh apik, dan di luar dugaan. Meskipun semua berjalan sesuai dengan rencananya, tapi ada satu hal yang tak bisa di kendalikan, yaitu garis nasib. Wanita itu terus tersenyum dibalik layar, seolah menantikan hal yang ingin dilihat. Bagiamana cara Eden menangani situasi yang mengancam jiwanya? Ia sangat tak sabar.
Terlihat jelas di cermin, James begitu melindungi Eden. Para siluman lain memasang wajah waspada, meskipun sedikit gusar. Siluman salju terkenal dengan kekejaman dibalik kelembutan. Dia tak tanggung-tanggung membunuh siapa saja yang mengganggu tidur nyamannya.
Hawa dingin yang terus menyebar itu kian menusuk tulang. Dua di antara kesepuluh siluman sudah membeku. Eden dan James yang tak memiliki kekuatan hanya bisa menahan rasa dingin yang terus menyebar itu.
Eden melirik James yang hanyalah manusia biasa. Dengan kadar kedinginan lumayan tinggi, dia masih berusaha untuk melindunginya dengan baik. “Jam, lebih baik kau mengendurkan kewaspadaan mu.”
James menggeleng dengan cepat, “Kita harus menemukan wanita itu?” Eden mengerutkan kening, wanita itu? batinnya bingung. Siluman salju belum tampak pria atau wanita, kenapa James bisa menebak dengan mudah.
Mereka semua pun masuk ke dalam hutan dengan sangat terpaksa. Bukan tanpa alasan, tapi karena hutan itu adalah satu-satunya akses menuju Laut Hitam. Belum saja sampai di laut, sudah dihadang oleh siluman salju. Nasib-nasib, tetaplah bertahan dan berjuang kawan.
“Di sana?” tunjuk salah satu mereka karena melihat bayangan putih melesat jauh. Tiga siluman langsung mengejar bayangan itu. Tinggal lah lima lainnya yang berdiri di satu tempat, yaitu Orion, Ren, Eden, dan Derek, dan siluman tanpa nama, sebab mereka tak tahu namanya. James tak dihitung karena menjadi pengawal khusus untuk Eden.
“Bodoh,” gumam Ren terdengar oleh mereka.
“Ilusi, bisa menyebabkan kita kehilangan arah. Itulah tujuan utama dari siluman salju.” Orion sedikit sombong dengan pengetahuannya.
“Intinya, dia hanya ingin memisahkan kita,” sambung Derek.
Tiba-tiba, angin pun berhembus dengan kuat. Hawa dingin itu terus menyerbu tubuh mereka. Eden merunduk, begitu juga dengan James. Mereka berdua memeluk tubuhnya sendiri. Derek mengeluarkan jubah pelindungnya, sontak ketika melempar ke arah mereka, jubah itu membesar menyelimuti tubuh Eden dan James.
“Mereka hanya beban? Kenapa kau harus membantunya?” Ren kesal dengan sikap sok peduli dari Derek, seperti mencari simpati.
“Tak masalah, selagi aku bisa.”
Orion berdecih lumayan keras, tak menyadari sesuatu yang bergerak ke arahnya. Melihat Orion lemah kewaspadaan Derek melayangkan bola api untuk menepis es tajam yang menyerang ke arahnya.
“Sebaiknya, kau lebih waspada dengan sekitar. Aku yakin dia membuat jebakan untuk kita.”
“Apakah kau baik-baik saja, Rion?” tanya Ren khawatir.
“Masih utuh,” jawabnya menyombong diri, sambil berdehem. Jangan kira ia akan berterimakasih, oh tidak! Itu bukanlah sifat yang dimiliki. Di dalam hidup Orion, tak ada kata terimakasih atau maaf sama sekali.
Tak lama setelah p*********n pertama, tanah yang mereka pijaki bergetar hebat. Eden saling berpegangan dengan James. “Dia akan keluar,” bisik James dnegan pelan.
Benar saja, tanah itu terbelah. Sosok putih dengan jubah berwarna putih berbulu keluar dari dalam tanah. Rambut hitam itu berkibar dengan bebas, begitu pula jubah putihnya. Sebuah mahkota tertata rapi di atas kepala.
Mereka yang melihat sang siluman salju tahu, bahwa dia adalah ratu dari siluman salju yang terkenal kejam, seperti ratu para siluman, Irene. “Memasuki wilayah ku tanpa izin, hadiah nyamati!” dia terbang-mengambang di udara. Mata grey menatap lurus ke jubah milik Derek. Dengan jentikan jari, jubah itu terbuka begitu saja.
“Oh s**t!” umpat James sambil menutup mata.
“Huh! Setelah ini, hidup kita tak aman, Jam.” Eden perlahan mulai berdiri, begitu juga dengan James.
“Hidupku saja yang tak aman, kau masih bisa bebas.” Tidak dapat dipungkiri, perubahan wajah Louis menjadi Eden membawanya dalam keamanan yang luar biasa.
Sang siluman salju terus menatap James tanpa henti. Terpatri jelas senyum menyungging di bibir pucat nya. Dirinya tak menyangka, undangan dari sang ratu akan mendapatkan hal yang luar biasa.
Tawa wanita itu pun pecah seketika sehingga membuat mereka yang berada di tanah langsung keheranan, tapi tidak dengan Eden dan James yang sudah memasang wajah pias. “Sungguh tak di sangka, bisa bertemu denganmu disini.” Wanita itu mengibaskan tangan dengan cepat, seolah menutupi sesuatu. Irene yang melihat kabut di cermin nya kesal setengah mati.
“Sialan! Siluman jalang itu!” teriaknya menggema di udara. Yang hanya bisa dilakukan oleh Irene hanya berteriak-teriak karena tak bisa berbuat apa-apa, sebab semua dibawah kendali siluman salju.
Kembali ke para kandidat selir. Sebisa mungkin, James memasang senyum terpaksa dengan tulus. Hal itu membuat siluman salju mendekat padanya.
“Apakah kau mau cari mati?” desis Eden menarik kain bagian lengan milik James.
“Siapa yang mau cari mati,” jawabnya melirik ke arah Derek yang sedang bersiap dengan bola apinya. Mata pria itu beralih pandang kepada Orion, dan Ren yang sedang bersiap diri menyerang. Tak lupa, ia juga melirik kepada siluman berbaju serba hitam.
Eden tersenyum, “Lebih baik kita menonton saja.” Bukannya lari dari medan pertempuran, tapi lebih suka mengamati dari jauh.
Keduanya pun sepakat satu sama lain, mundur beberapa langkah ke belakang hingga sampai pada pohon besar. Siluman salju yang melihat mereka hanya tersenyum lebar.
“Yang tak ada urusan, lebih baik pergi.” Dengan sekali gerakan tangan, Orion, Ren, Derek, dan siluman asing itu menghilang seketika. Eden dan James hanya menganga lebar tak percaya atas apa yang dilihatnya.
“Bukan ini yang aku harapkan,” kata Eden dengan santai.
“Sepertinya, kita tak punya pilihan lain.”
Wanita itu pun turun ke tanah, berlari sekuat tenaga menuju ke arah mereka. Eden dan James terkejut hendak lari, tapi dia berteriak. “Jika kau lari, aku akan mengejarmu!” sontak niat mereka langsung hilang. “Aku merindukanmu, Jam?” dia memeluk James dengan sangat erat. Sedangkan Eden sementara mundur beberapa langkah sambil bernafas lega.
“Bisakah kau melepaskan ku?” James kesal di peluk erat oleh wanita dingin itu. “Ini terlalu sesal, Bel.” Dengan kasar, ia melepaskan pelukan itu sepihak.
Iya, dia adalah Bela Sereva, siluman salju yang memiliki hubungan baik dengan James dan dan Louis. Lima tahun yang lalu, mereka berdua lah yang telah menolongnya saat terjebak di sungai tengah kota karena sebuah kutukan.
“Kenapa kau bisa ada di sini? Mana Louis?” Pandangan Bela mengarah kemanapun, tapi tak menemukan keberadaan Louis, yang dilihat hanya Eden, seekor rubah kecil lemah tak berdaya.
‘Aku beruntung karena dia tak mengenaliku,’ batin Eden memasang wajah senyum bahagia sambil melirik ke arah James.
“Kenapa kau tak menjawabnya, Jam? Dimana Louis?” Bela masih mencari keberadaan Louis, dan itu membuat James kesal, hendak bersuara, tapi Eden langsung memberinya isyarat supaya tutup mulut.
“Jam!” teriak Bela melihat aksi James yang terlihat aneh. Pandangan wanita itu pun beralih ke Eden dengan cepat. “Katakan..., dimana Louis?” Suaranya berubah menjadi sedikit tinggi membuat kedua pria itu langsung siap bak prajurit TNI. Inilah skenario terburuk yang tak pernah diinginkan oleh mereka, yaitu datangnya seseorang yang dikenal.
Bersambung