Kesepuluh kandidat selir ratu siluman mulai melangkahkan kembali menelusuri hutan. Tak ada yang mencurigakan setelah pertemuan mereka dnegan siluman salju. Perjalanan itu berjalan sangat lancar.
Orion, dan Ren bahkan tak bersuara sama sekali. Disini, James memiliki sedikit kecurigaan pada kedua siluman yang terus saja mengejek Eden. Kalau si rubah putih salju jangan ditanya, sebab dia hanya acuh tak perlu menanggapi hal yang tidak penting.
“Apakah kau tak curiga pada mereka berdua/” Mata James mengkode ke arah Orion, dan Ren. Eden mengangkat bahu, “Selama mereka tak berulah, aku tak mempermasalahkannya.”
“Hais...! kau ini, kau lupa kalau tak punya kekuatan sama sekali.”
Pola pikir seperti inilah yang sangat merugikan. Eden selalu saja meremehkan kondisi tenang, dan selalu menurunkan kewaspadaannya. “Dengar... kau harus berhati-hati dengan mereka kedepannya.”
Meskipun James melindunginya, tapi ia hanya manusia biasa yang tak punya daya dan upaya. Apalagi, Eden melarangnya menggunakan kekuatan bila tak terdesak. ‘Jiah..., aku ingin melubangi otak licik mereka dengan rantai tajam ku,’ batinnya dengan kesal.
Merasa di awasi, Ren mendelik tajam. Matanya memicing tanda tak suka. Dalam menjalankan rencana brilian, dia harus disingkirkan. Jimmy menyebalkan itu, sedari awal ia tak suka sama sekali dengan keberadaanya.
“Ada apa?” Orion ikut menatap arah pandang Ren.
“Aku membencinya, pria lemah kedua itu.”
“Sepertinya, dia bukan lawan yang mudah.” Orion mengingat ketika panahnya ditangkap oleh James saat diarahkan ke siluman salju.
“Itu hanya keberuntungan!”
“Kau terlihat kesal. Tapi, feeling ku tak pernah salah. Dia lebih berbahaya dari pada Eden rubah lemah itu.”
“Jangan mengajakku bicara kalau kau membahas Eden.” Ren berjalan mendahului Orion begitu saja, mencoba akrab dengan siluman berpakaian serba hitam. Sementara yang ditinggal terlihat kesal.
“Aku melihat kau hanya diam saja?” Terlihat jelas bahwa Ren sedang mendekati siluman tanpa nama itu.
“Leonardo, panggil Ardo.” Wajahnya dingin dengan bibir hitam pekat. Ren suka dengan kepribadian Leonardo yang terlihat misterius.
“Ren,” jawabnya singkat. “Jadi, kita sekarang adalah teman. Karena aku sudah mengetahui namun.”
Langkah kaki Leonardo berhenti seketika, “Teman tak akan menghasut teman lain. Jangan memprovokasi ku. Karena aku tak suka.” Pria itu berdecih meninggalkan Ren yang menganga lebar. Baru kali ini, ia tak diminati oleh siluman lain ketika melakukan pendekatan. Suer... apa yang salah coba!
“Ada apa?” sela James sedikit tersenyum. “Bagaimana rasanya diabaikan?” ejeknya dnegan terus terang.
Ren langsung meradang, “Berhenti mengolok-olokku.” Keduanya langsung bertatap satu sama lain dengan pendangan penuh kebencian.
‘Mulai lagi,’ batin Eden dan Derek bersama.
“Bisa tidak kalian berhenti?” Derek mencoba menengahi mereka.
“Tak akan.” Ren menghempaskan tubuh Derek dengan cepat, sampai mundur beberapa langkah. Untung saja Eden segera menopangnya.
Ren mengangkat tangannya di udara, lalu mengayunkan sehingga membentuk lingkaran. Pelindung transparan berwarna putih terlihat jelas di mata semua siluman.
“Di situasi seperti ini, mengapa mereka bertengkar?” tanya siluman lain. “Lebih baik kita pergi, tinggalkan mereka, buang-buang waktu.” Kelima siluman itu beranjak pergi dari tempat itu.
“Hentikan Ren, kalau tidak Jimmy bisa terluka.” Derek berusaha membujuk Orion yang kelihatan acuh dengan pertengkaran keduanya.
“Bukan urusanku, aku tak peduli.” Tatapan itu beralih pada Eden yang terus mengamati mereka berdua.
“Eden!” panggil Derek meminta bantuan.
“James tak akan kalah.”
“Siapa yang kau maksud? James? Bukankah dia Jimmy.”
Eden menoleh, “Kedepannya kau panggil dia James.”
Derek mengacak rambutnya frustasi tak sebab tak ingin melihat pertengkaran mereka berdua. Bahkan ia mencoba menembus penghalang itu tapi gagal total.
Sedangkan kedua pria yang masih tatap menatap di dalam sebuah lingkaran transparan itu masih berdiam diri. Hingga akhirnya James buka suara. “jadi, kau ingin mengalahkan ku detik ini juga.”
Pandangan mata pria itu mengarah pada satu mata yang mengambang di udara. Kenapa ia bodoh, tak menyadari sesuatu kalau segala pergerakan telah di awasi oleh ratu menyebalkan itu.
“Apakah kau benar-benar ingin melakukan sesuatu padaku?” James terus menatap ke bola mata tersebut.
“Apa yang kau lihat?” Ia juga ikut menatap, dan langsung terkejut melihatnya. “Sial!” geramnya tertahan. Ren tak menyangka, jika ratu Irene ternyata tahu apa yang telah dilakukan. Besar kemungkinan ia di diskualifikasi sebagai kandidat selir.. dan itu tak baik untuknya.
Dengan penuh pertimbangan, Ren akhirnya menghilangkan pelindung itu-bergegas menuju ke tempat Orion berada. “Kita diawasi oleh sang ratu,” bisik nya dengan pelan.
Orion mengambil nafas panjang, “Pura-pura tak tahu saja.” Bukan hal sulit memainkan peran dalam opera. “Jadi, kita melakukan perjalanan seperti biasa. Jangan sampai ratu curiga.”
Ren mengangguk patuh, “Untung si bodoh itu tahu lebih dulu. Sepertinya, semua perkataan mu benar adanya, kalau dia lawan yang sulit.” Ia terlalu meremehkan James dengan segala kekonyolan yang dimiliki siluman itu.
“Sekarang, diam adalah hal yang baik. Kita lanjutkan perjalanan.” Orion berjalan terlebih dahulu, diikuti Ren dari belakang, begitu juga Derek. Leonardo menatap lurus ke arah bola mata yang ada di udara itu. Ia mengambil batu, lalu melemparnya tepat mengenai sasaran. Tak lama kemudian, bola itu lenyap seperti debu.
“Kau hebat kawan!” puji James terus terang. “Maukah kau berteman denganku?”
“Aku tak butuh teman konyol sepertimu.” Leonardo meninggalkan James begitu saja tanpa memandang kembali kearahnya. Bisa dipastikan kalau dia benar-benar mengabaikannya.
Tawa Eden pun pecah seketika. “Kau tak layak menjadi temannya, Jam.” Bahunya dirangkul pelan. “Kau hanya bisa jad temanku.”
“Berhenti mengejekku!” sentak James kesal. Eden hanya tersenyum melihat tingkah laku pria itu. Begitulah James, sibuk mencari perhatian agar dipedulikan. Wajar saja, dia yatim piatu, seperti dirinya juga yatim piatu. Terkadang, Eden bingung dengan statusnya yang tak punya orang tua. Jujur saja, ia juga ingin merasakan kasih sayang dari ayah dan ibunya yang tega membuang bayi mungil tak berdosa.
Diwaktu yang sama, setelah Mike mendapatkan kabar dari Eden. Ia memanggil Gallio untuk menyusun rencana. Secepat kilat, sang adik pun datang menemui kakaknya. “Jadi, apakah benar Gilbert ada di istana?” Pasalnya selama ia menyamar, tak mendengar kabar satu pun dari para prajurit di sana.
“Eden sudah memastikannya.”
“Kau benar-benar percaya dengan Eden, Mike.” Gallio tak mengerti, kenapa Mike begitu mempercayai omong kosong dari Eden.
“Pikirkan lagi, Gal. Posisimu menyamar sebagai prajurit, dan pastinya ratu kejam itu memiliki prajurit khusus untuk menangani hal ini.” Mike mengeluarkan peta istana. “Kita berdua harus pergi ke istana.”
“Ini sangat beresiko, Mike.” Akhir-akhir ini, pengamanan istana sangat ketat, bahkan Alan selalu saja keluar malam untuk menyelidiki sesuatu.
“Alan sudah kembali. Jika dia mengetahui keberadaan kita, pasti dia akan mencari kelly.” Ketakutan terbesar kedua saudara itu adalah munculnya Alan yang terobsesi dengan Kelly.
“Jangan khawatir. Dia tak akan mengenali kita.” Banyak perubahan yang terjadi antara mereka, pasti Alan lupa dengan segala perkataan tak masuk akal seratus tahun lalu.
Mengingat moment itu membuat Mike merasa bersalah. Jika bukan karena pertolongan Alan, Kelly pasti sudah tak bersama mereka lagi.
“Dia tak bodoh. Aku takut kalau dia akan mengejar kita kembali.” Gallio merasakan firasat aneh tentang Alan kali ini. Dan ketika melihatnya dari jauh, ia tahu bahwa siluman itu bukanlah siluman yang dulu.
“Aku punya rencana, agar Alan tak menyadari kedatangan kita.” Mike mengeluarkan sebuah kota yang sudah lama tersimpan dilacinya.
“Apa isinya.” Gallio penasaran, tapi ketika tangannya henda menyentuh kotak misterius itu, Mike memukulnya dnegan cepat.
“Jangan terburu-buru! Hanya aku yang bisa membukanya.” Mike tersenyum lebar menatap aneh ke arah Gallio.
‘Gawat! Aku merasakan ada yang aneh dnegan senyuman mengerikan itu,’ batinnya bergidik ngeri.
Bersambung