Bab 17. Bukan Bantuan Yang Datang

1001 Kata
Sudah dua hari Melvin tidak berani datang ke kantornya. Ia jadi diburu utang oleh beberapa orang. Memang tak sebanyak yang ia peroleh dari Sebastian, tapi tetap saja mereka adalah rentenir yang biasa menyewa kelompok preman terkenal di Jakarta. Setelah Cindy pergi tiga hari lalu, Melvin nyaris mengunci rumahnya. Ia hanya memesan makanan lewat jasa online karena sudah tidak ada lagi pembantu di rumah. Para pengantar makanan pun hanya menyangkutkan pesanan makanan di pagar. Hidup Melvin seperti dikejar hantu sekarang. Ia stres dan bisa terkena depresi jika terlalu lama begini. Akhirnya tak tahan lagi, Melvin meminta bantuan orang tuanya. Tidak mudah meyakinkan mereka terlebih karena kedua orang tua Melvin tak menyukai Cindy sebagai menantu. “Tolonglah, Pa. Aku benar-benar butuh bantuan Papa sekarang. Papa bisa kan jual mobil klasik itu dulu. nanti aku beneran ganti deh kalau semuanya kembali normal,” ujar Melvin memelas pada ayahnya melalui sambungan telepon. “Kenapa kamu gak jual mobil kamu saja kalau begitu?” sahut sang Papa dengan nada ketus. “Ah, Papa. Berapa duit sih jadinya? Mobilku kan hanya laku beberapa ratus juta. Sedangkan mobil Papa bisa milyaran, Pa. Setidaknya itu orang-orang gak neror aku lagi!” rengek Melvin meremas rambut dengan sebelah tangannya. Ayahnya memang sangat pelit jika berurusan dengan mobil klasik koleksi kesayangannya. “Huh, kamu itu. Kalau begitu ambil saja perhiasan-perhiasan istri kamu untuk dijual. Selama ini kan kamu sudah banyak memberikan buat dia. Masa dia gak mau membantu kamu?” pungkas si ayah mertua lagi. Melvin memejamkan matanya. Selama ini ia memang mengatakan pada orang tuanya telah membelikan banyak hal untuk Cindy. Meski nyatanya tidak seperti itu. Cindy adalah wanita yang sederhana dan tidak mata duitan sama sekali. Ia menerima apa pun yang dibelikan Melvin dan tidak pernah menuntut suaminya membelikan apa pun apalagi perhiasan. “Itu ... iya, Pa. Aku sudah menjualnya kok, tapi gak cukup.” Melvin beralasan. “Ini gara-gara kamu doyan berjudi. Salah kamu sendiri, pas giliran susah, kamu gak bisa bertanggung jawab!” Melvin diam saja mengeraskan rahangnya mendengarkan omelan sang ayah. Melvin harus sabar menerimanya meski ia kesal bukan main. Asalkan sang orang tua akan membantu, Melvin bersedia. “Papa gak bisa janji akan bantu. Papa liat dulu, soalnya itu salah satu koleksi kesayangan Papa,” pungkas sang Papa menolak secara halus membantu Melvin. Melvin mencebik kesal. Sudahlah ia diomeli tetap tak diberikan bantuan juga. “Papa dan Mama benar-benar sudah gak sayang sama aku lagi ya? Aku sedang kesusahan dan akan dibunuh kalau gak bisa bayar utang, Pa. Kok Papa tega sih begitu sama aku?” sahut Melvin mulai meninggikan suara dan marah. “Kamu jangan bawa-bawa kasih sayang kami terhadap kamu. Kamu sudah kaya dan mendapatkan warisan dari Opa kamu juga, Papa gak pernah minta bagian. Harusnya kamu bertanggung jawab dengan perusahaan itu. Bukan malah membuatnya bangkrut.” “Ah, Papa cuma tahu ngomel saja. Papa mau bantu atau tidak?” desak Melvin sudah kehilangan kesabaran. “Kasih Papa waktu tiga hari ....” “Aku gak punya waktu selama itu, Pa!” potong Melvin menggeram kesal berkali-kali. “Ya kamu harus sabar dong. Papa harus cari pembeli yang pas dan benar. Papa gak mau koleksi mobil klasik itu malah dijual sama orang yang gak bisa jaga barang.” Melvin menggerutu diam seraya mengepalkan tangannya mendengar hal itu. Ayahnya benar-benar sudah kehilangan akal sehat. Ia lebih menyayangi koleksi mobil klasiknya daripada anaknya sendiri. “Dua hari deh, Pa. Please, aku akan ganti, aku janji!” Melvin kembali bernegosiasi. “Oke.” Melvin memutuskan sambungan tersebut seraya mendengkus kesal bukan main. Ia sudah lelah dengan kondisi seperti ini. Saat melihat meja di ruang tamu malah penuh dengan sisa sampah makanan cepat saji semalam dan tidak ada yang membersihkan, ia makin kesal. Jika Cindy ada di rumah, ia akan menjaga rumah tetap bersih meski pembantu tidak ada. Sudah tiga hari, Cindy tidak pulang dan Melvin tidak punya pikiran untuk mencarinya. “Ah dari pada gue pusing, mending gue pergi aja ke klub. Siapa tahu malam ini beruntung!” ucap Melvin setelah mondar-mandir di dekat sofa ruang tamu. Jika ia pergi entah ke mana, kans untuk menemukannya setidaknya lebih sedikit. Melvin pun dengan cepat mengambil kunci mobilnya dan bergegas ke pintu depan. Ia membuka pintu dan hendak mengintip tapi tiba-tiba terjungkal ke belakang. “Ahhk!” Melvin memegang hidungnya karena sakit terbentur pintu. Ia membuka mata dan terbelalak melihat Sebastian Arson masuk bersama Lefrant Emir dan beberapa orang pria berjas yang merupakan pengawalnya. Melvin beringsut dengan cepat ke belakang mencoba kabur. Dengan cepat salah satu pengawal Sebastian mengejar menarik kerah kaos Melvin sampai ia kembali terpelanting ke lantai. Pengawal itu juga menendang Melvin di perut sehingga ia kesakitan. “Ahhh ....” Melvin meringis kesakitan seraya meringkuk. Sebastian terus masuk ke dalam dan melemparkan lirikan pada seisi rumah. Ia sedikit memicingkan matanya lalu menaikkan dagunya. “Rumah ini lumayan ... kenapa gak dijual buat bayarin utang lo?” pungkas Sebastian berjalan memutar lalu mengarah ke Melvin yang masih meringkuk kesakitan di lantai. “Ugh, uhuk ... uhuk .... “ Melvin terbatuk cukup keras karena perutnya yang masih sakit. “Panggil Cindy!” ucap Sebastian lagi dengan dingin memerintahkan pada Melvin. Melvin sedikit menengadah dan menggeleng. Sebastian yang kesal langsung menendang wajah Melvin sampai hidungnya berdarah. “Akh ... gue gak tahu ... akh!” Melvin mengerang kesakitan sekaligus mengaku. Sebastian masih bersikap dingin lalu melirik pada Lefrant. “Cari dia dan bongkar seisi rumah!” Lefrant memerintahkan dengan sikap dingin yang sama seperti Sebastian. “Baik, Pak.” Kelima pria yang menjadi bodyguard Sebastian pun menyebar masuk ke dalam rumah mencari Cindy. Sebastian masih diam memperhatikan. Ia mendengus sinis pada kondisi rumah saat Cindy tiada. “Cindy belum pulang. Bukannya dia sama lo? Uhuk ... uhuk!” Melvin kembali bicara untuk membela dirinya. Sebastian mengeraskan rahangnya menatap Melvin yang masih terduduk. Ia kemudian duduk di salah satu sofa di depan Melvin yang masih di lantai dengan sebelah kaki terlipat. “Kalau gue gak ketemu Cindy, gue akan bakar rumah ini dengan lo di dalamnya!”.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN