Bab 18. Karma Yang Dibeli

1007 Kata
“Kita uda lama gak ketemu ya? Aku sempat ke rumah kamu, tapi rumah itu ternyata sudah dijual,” ujar Naomi memulai perbincangannya dengan Cindy. Cindy tersenyum lalu mengangguk. “Iya, suamiku yang menjual.” Cindy sedikit menunduk kala menyebutkan hal tersebut. Kening Naomi mengernyit saat mendengar. Ia meraba tangan Cindy lalu menggenggamnya. Cindy pun menaikkan pandangannya dan tersenyum getir. Memang ada masalah yang terjadi pada Cindy. “Apa kamu mau menceritakan apa yang terjadi, Cin? Kamu keliatan pucat seperti sedang sakit. Apa kamu sedang sakit?” tanya Naomi pada Cindy dengan suara yang lembut. “Aku baru saja sembuh sakit, Nao. Tapi ... apa aku boleh menginap di sini sementara waktu?” tanya Cindy lagi. Ia tengah mencari tempat yang bisa ia percayai. Mungkin Naomi-lah orangnya. “Tentu boleh, cuma ya, harap maklum ya. Kamarku kecil.” Naomi sedikit meringis. Cindy tersenyum lalu menggeleng. “Gak apa.” “Lalu kenapa kamu gak pulang? nanti suami kamu nyariin gimana?” Cindy kembali melepaskan napas panjang dan berat. Ia tidak yakin jika Melvin akan mencarinya. Jika memang benar, Melvin tidak akan memaksa Cindy pergi lagi ke Moulson. “Aku rasa dia ga akan mencariku,” ujar Cindy dengan nada rendah. “Kenapa begitu?” Cindy tampak meringis lalu tersenyum dan menggeleng. Ia tidak mungkin bercerita pada Naomi jika dirinya dijual oleh Melvin untuk menutupi utang. Hal itu sangat memalukan. “Ah, dia sibuk. Dia sedang ke luar kota,” sahut Cindy menjawab dengan berbohong. Naomi sedikit mengernyitkan keningnya. “Aku di rumah sendirian jadi lebih baik aku nginep di sini saja sampai Melvin pulang.” Cindy kembali menyambung menambahkan pada kebohongan yang ia buat. Naomi pun sedikit membulatkan mulutnya lalu mengangguk pelan. Meskipun ia merasa ada yang aneh dengan Cindy, Naomi tidak mau terlalu mendesak. Ia yakin jika Cindy akan bicara saat ia sudah siap. “Ya uda, uhm, kamu mau makan?” Naomi menawarkan lagi. Cindy mengangguk sambil tersenyum. Ia mengambil dompet dari dalam tasnya hendak mengeluarkan uang. “Jangan, biar aku saja yang beli ya. Kamu mau ketoprak gak?” Naomi melarang dengan memegang tangan Cindy. Cindy masih tersenyum dan mengangguk lagi. “Aku mau numpang mandi boleh? Tapi aku gak punya pakaian ganti dan ini ....” Cindy sedikit menunduk melihat tubuhnya. Naomi masih tersenyum dan mengangguk cepat. “Kalau mau mandi, kamar mandinya di situ. Nanti ambil saja bajuku di lemari ya. Pakai itu saja dulu, ukuran kita kan sama.” Cindy tersenyum lagi mendapatkan bantuan sangat banyak dari sahabat lamanya, Naomi. “Makasih, Nao.” “Sama-sama. Kamu mandi dulu ya. Aku mau beli ketoprak dulu.” Naomi dan Cindy pun berpisah. Cindy merasa lebih lega karena ia tidak harus kembali ke Moulson atau pulang ke rumahnya. Mungkin pilihan yang paling tepat saat ini adalah bersembunyi terlebih dahulu. *** “Dia gak ada di mana pun, Pak.” Salah satu pengawal melapor pada Sebastian dan Elfrant. Sebastian menaikkan dagunya lalu memberikan kode dengan jarinya menyuruh Melvin mendekat. Melvin masih terduduk di lantai sedangkan Sebastian di atas sofa. Salah satu pengawal menarik kasar Melvin yang tak bergerak agar mendekat pada Sebastian. “Mana dia?” tanya Sebastian dengan pandangan mata tajam. “Dia belum pulang. Sumpah!” Melvin menjawab dengan napas tersengal dan darah yang masih sedikit mengalir dari hidungnya. “Gue paling gak suka kalo punya gue diambil, Melvin. Cindy itu properti utang.” Melvin tidak menjawab dan malah menelan ludahnya pelan. Sebastian makin geram karena tidak menemukan Cindy. Tetapi ia yakin jika Melvin-lah yang menjemput Cindy. “Kasih tahu di mana lo sembunyiin Cindy sekarang, atau ... gue akan mulai bakar rumah ini.” Melvin melotot dan makin panik. Ia pun kembali memohon pada Sebastian. “Tolong jangan bakar rumah gue. Gue gak punya tempat tinggal lain!” pekik Melvin mengiba. Sebastian lantas menoleh pada Elfrant yang mengangguk lagi. Lefrant menyuruh seluruh pengawal untuk mengambil bensin dari mobil Melvin untuk membakar rumah mewah tersebut. Kelimanya kemudian berpencar. Tiga menarik bensin dari mobil serta merusakkannya setelahnya, dua orang lagi menarik seluruh tirai agar mudah dibakar. Lefrant mengeluarkan pemantik api miliknya lalu mulai membakar bungkusan makanan cepat saji di atas meja. Melvin yang ingin mencegah, dijambak keras oleh Sebastian sampai ia terpelanting lagi ke belakang. Melvin masih melawan tapi Sebastian memukul lalu menyeret tanpa ampun. “Akh, lepaskan! Jangan bakar rumah gue! Ahhkkk!” Melvin terus berontak dan berteriak. Sebastian tak peduli dan terus menarik Melvin ke tengah ruangan. Lefrant kemudian menyuluh api di sofa bekas tempat duduk Sebastian sebelumnya. Seorang pengawal yang berhasil mengambil bensin dari satu-satunya mobil Melvin yang tersisa kemudian menyiramkan bensin ke sofa tersebut sehingga api makin besar. Melvin terengah berdarah dan berteriak-teriak. Ia menyaksikan beberapa anak api berubah jadi lebih luas membakar dari tirai sofa sampai beberapa perabotan mewah dari kayu. “Tolong, jangan bakar rumah gue! Tolong!” teriak Melvin memohon pada Sebastian yang masih berada di ujung ruang tengah. “Lo memang gak berguna, Vin. Kalo gue jadi lo, gue lebih baik mati.” Sebastian berujar lalu berbalik dan pergi. Salah satu anak buah Sebastian sempat memukul Melvin sebelum keluar mengikuti Sebastian. Lefrant mengunci rumah itu dari dalam agar Melvin tak bisa keluar dan mereka pergi begitu saja. Semua ditutup dan dikunci dari luar oleh anak buah Sebastian. Tujuan Sebastian memang akan membakar Melvin hidup-hidup. Melvin tak menyerah. Setelah Sebastian pergi, tertatih-tatih, Melvin mencoba membuka pintu tapi tak berhasil. Ia sudah dikepung api dan asap sehingga harus segera keluar sebelum jadi abu bersama rumah tersebut. Melvin lantas memegang perutnya yang kesakitan sambil terbatuk-batuk karena asap menuju lantai dua. Ia harus meminta tolong pada tetangga. “Tolong! Tolong!” teriak Melvin dari balkon lantai dua dengan asap yang keluar dari semua jendela. Api begitu cepat menyebar membuat Melvin tak punya jalan lain. Para warga mulai berkumpul tapi tak ada yang bisa mereka lakukan. Gerbang digembok dan harus dihancurkan jika ingin masuk. Saat api mulai sampai ke lantai dua, Melvin tidak punya tempat melarikan diri lagi. Ia berada di balkon dan terdesak ke pembatasnya. Setelah tak punya nyali, Melvin mencoba menuruni balkon. Sayangnya, kakinya terpeleset dan ia terjatuh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN