Bab 11. Tak Ada Alasan

1002 Kata
Sebastian Arson datang tepat waktu seperti biasa, yaitu pukul 8.30 pagi. Ia berjalan melewati ruangan Cindy dan melirik─tidak ada seorang pun di sana. Pasti Cindy sudah bersiap di ruangannya melapor seperti seharusnya. Dulu Cindy melakukannya dengan sangat baik kala masih bekerja di New York. Maka sekarang pun, harusnya ia demikian. Akan tetapi, saat Sebastian masuk tidak ada siapa pun di ruangannya. Ia mengernyitkan keningnya lalu berbalik ke belakang. Edward Harsa yang menjadi wakil CEO masuk tak lama kemudian setelah mengetahui jika Sebastian sudah datang. “Selamat pagi, Pak.” Edward menyapa dengan wajah tanpa senyum seperti biasa. Sebastian sepenuhnya berbalik dan berjalan beberapa langkah ke hadapan Edward. “Mana Cindy?” tanya Sebastian singkat. Edward melirik ke sudut ruangan kanan dan kiri. Memang tidak ada sosok Cindy sama sekali. “Sepertinya Nona Cindy belum datang, Pak.” Edward menjawab dengan tenang. Sebastian mendengus kesal dengan jawaban yang diberikan Edward. Edward tahu jika Sebastian tidak menyukai ketidakdisplinan. Terlebih yang belum datang ternyata adalah sekretarisnya sendiri. “Kenapa dia terlambat?” Sebastian bertanya lagi dengan sikap arogan. Edward menggeleng sekali. “Aku akan mencari tahu.” Edward berbalik dan berjalan keluar dari ruangan Sebastian. Ia harus mencari tahu ke mana Cindy atau alasan keterlambatannya. Sungguh bukan kewajibannya sama sekali tetapi melihat Sebastian marah bukanlah sebuah pilihan. Sebastian yang kesal terpaksa menunggu di kursi kerjanya. Ia tidak mau memulai pekerjaan apa pun itu sebelum Cindy masuk dan melapor padanya. Jadilah, Sebastian duduk dengan sebelah kaki terlipat elegan dan kedua lengan terlipat di d**a. Matanya mengarah pada pintu masuk, bersiap untuk Cindy jika ia masuk. Ia benar-benar tidak melakukan apa pun selama menunggu. Matanya tidak lepas dari pandangan ke depan menunggu Cindy yang belum datang sama sekali. Lima menit, sepuluh menit dan sampai lima belas menit belum ada tanda-tanda pintu dibuka. Kening Sebastian mengernyit dan ia makin mendengus keras. Kali ini Cindy sudah membuatnya kesal. “Awas saja saat kamu datang, aku akan memberikanmu hukuman yang setimpal,” gerutu Sebastian menggeram sendiri. Posisinya masih belum berubah dan yang bergerak hanya kelopak mata yang berkedip beberapa detik sekali. Setelah tidak ada toleransi, Sebastian hendak bangun dari kursinya. Tiba-tiba pintu ruangannya terbuka. Sebastian kembali menegakkan kepala. Sayangnya yang masuk adalah Edward Harsa, sendirian. “Maaf, Pak. Nona Cindy tidak datang.” Kening Sebastian mengernyit lalu pandangannya pindah ke meja. Di sana terletak ponselnya. Sebastian meraih ponsel itu dan menghubungi Melvin. Besar kemungkinan, Cindy mangkir dari kehadiran untuk datang ke kantor karena ia ketakutan setelah kejadian kemarin. Sebastian memang melepaskan Cindy dan membiarkannya pulang ke rumah suaminya tapi bukan berarti keesokannya dia bisa melarikan diri. “Mana Cindy?” tanya Sebastian tanpa basa-basi begitu panggilan tersambung. Edward Harsa tetap berdiri di depan meja Sebastian sambil melipat kedua tangan di depan tubuhnya. Ia menunggu perintah selanjutnya. “Uhm, Cindy. Dia ....” Melvin seperti sedang mengulur-ulur waktu untuk bicara. “Jangan berbelit-belit, Melvin. Apa kau pikir setelah dia tanda tangan kontrak, dia bisa kabur gitu saja? Jangan lupa, Melvin. Kau uda menjual Cindy sebagai jaminan utang-utangmu padaku,” ujar Sebastian dengan nada rendah dan begitu merendahkan Melvin. Matanya menyiratkan kemarahan yang luar biasa. Melvin bisa saja tidak selamat hari ini jika ia macam-macam. “Gue tahu. Tapi Cindy bukannya kabur. Dia sedang sakit, demam dari tadi pagi.” Kening Sebastian mengernyit lebih dalam. Ia diam karena detak jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Bagaimana Cindy bisa terkena demam? Apa ia sudah terlalu berlebihan kemarin menyakiti Cindy sampai akhirnya ia sakit? “Bagaimana dia bisa sakit? Kamu apain dia?” Sebastian memungkas tanpa menyadari ia seperti sedang memarahi suami sah Cindy. “Gak ada, sumpah. Gue gak mungkin bikin dia sakit. Dia ... dia masuk angin. Jadi, mungkin hari ini Cindy harus cuti sakit. Biar dia istirahat. Kalo besok uda sembuh dia akan masuk kantor lagi.” Melvin kembali memohon pada Sebastian yang menggeram kesal. Sebastian sedikit memicing tak suka. Fokus matanya sudah berada di ujung meja. Ia menarik napas panjang dan mendengus cukup keras sampai terdengar pada Melvin. “Gak usa banyak alasan. Suruh dia berangkat sekarang. Dia baru sehari bekerja belum pantas mengambil cuti!” sahut Sebastian menyudutkan. “Tapi ....” “Jangan banyak bicara, Melvin. Antar Cindy sekarang atau aku akan kirim orang buat bakar rumah mewah kamu itu!” Sebastian dengan tegas mengancam Melvin tanpa mau tahu jika Cindy tak sanggup berangkat ke kantor. Ia tidak akan percaya jika Cindy memang sakit sampai melihatnya sendiri. Sebastian tidak menunggu jawaban Melvin dan langsung mematikan sambungan tersebut. Pandangannya kini kembali pada Edward di depannya. “Kalau Cindy sudah datang, segera bawa dia kemari.” Sebastian memerintahkan pada Edward yang menunggu sedari tadi. Edward hanya mengangguk sekali lalu berbalik pergi. Tentu saja tugas Edward bertambah satu hari ini yakni menunggu kedatangan Cindy. Sedangkan Sebastian memilih menggerutu pelan dari pada memulai pekerjaan yang harus ia lakukan. Di tempat tidurnya, Cindy baru saja meminum obat penurun panas yang dijual bebas. Ia tidak mau ke dokter karena akan membutuhkan biaya banyak. Asuransi Cindy dipegang oleh Melvin dan pria itu makin pelit belakangan ini. Saat mengetahui jika istrinya sakit, Melvin tidak membawa Cindy ke rumah sakit, melainkan memberikannya obat biasa dari kotak persediaan obat. “Cin, bangun Cindy,” ujar Melvin sedikit mengguncangkan tubuh Cindy. Cindy baru saja hendak terlelap karena pengaruh obat. Meskipun demamnya belum turun tetapi ia berharap obatnya membantu. “Iya, Mas.” Cindy berusaha bangun dengan kepala berat luar biasa. “Kamu siap-siap harus berangkat ke kantor. Tadi orang kantor neleponin aku dan minta kamu datang.” Melvin menyampaikan berita itu tanpa rasa bersalah. Cindy mengernyitkan keningnya lalu menggeleng. “Gak, Mas. Aku gak sanggup. Aku masih demam dan kepalaku sakit banget,” jawab Cindy beralasan. Melvin menghela napas panjang dan menggeleng. “Gak bisa, kamu harus berangkat. Biar aku yang panggil taksinya, kamu ganti pakaian sekarang.” Melvin tak peduli dan langsung keluar dari kamar membiarkan Cindy yang sedang sakit dipaksa bekerja. Cindy menatap lirih pada Melvin yang tidak peduli dengan keadaannya. Cindy tak ingin bertemu dengan Sebastian lagi tapi jika ia tak bangun, apa Melvin akan memaksanya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN