Dengan menumpang sebuah taksi, Cindy pulang ke rumahnya. Hari masih sore tapi bagi Cindy semua telah berubah malam─gelap dan dingin. Matanya terus memandang ke arah luar. pandangan kosong dengan bekas jejak air mata yang sudah mengering di sudut mata. Rasa sesak sudah berganti dengan rasa sakit yang tak bisa diungkapkan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Lantas apa yang akan terjadi besok? Apakah Cindy harus menghadapi hal yang sama. Tidak, dia tidak akan pernah sanggup.
“Bu, sudah sampai.” Teguran sopir taksi online sedikit menyentakkan Cindy dari lamunannya yang sudah menerawang jauh. Cindy mengangguk lalu mengambil dompet untuk menarik dua lembar uang lima puluh ribuan lalu memberikannya pada sopir tersebut. Setelah membayar, Cindy keluar dari mobil dengan rasa sakit yang masih terasa di bawah tubuhnya. Cindy sudah berganti pakaian dengan dress baru karena pakaiannya telah dirusak Sebastian. pandangannya masih kosong kala ia berjalan masuk menuju gerbang.
Di depan rumahnya yang mewah, Cindy melihat mobil Melvin terparkir dengan baik. Cindy mengernyitkan keningnya. Tidak biasanya Melvin pulang cepat. Berjalan secepat mungkin, Cindy masuk ke dalam mencari suaminya. Rasanya ingin menangis meluapkan semuanya.
“Mas! Mas Melvin!” Cindy separuh memekik memanggil Melvin. Sekalipun masih perih di area paha tapi Cindy berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Air matanya sudah menetes bahkan sebelum melihat Melvin sama sekali.
Melvin sedang berada di kamarnya menelepon seseorang. Begitu mendengar suara Cindy, ia buru-buru mematikan sambungan panggilan tersebut.
“Cindy?” panggil Melvin dengan kening mengernyit. Cindy terengah dengan emosi yang terlihat kala menemukan suaminya begitu tenang dan santai di rumah. Dengan kesal, Cindy melempar tas tangannya.
“Apa yang sudah kamu lakukan sama aku, Mas? kenapa kamu tega berbuat seperti ini sama aku!” seru Cindy sambil menangis. Ia lebih terdengar seperti merengek dengan putus asa. Rasanya begitu menyakitkan sudah dijual seperti barang oleh suaminya sendiri.
“Apa maksud kamu?” Melvin menyahut dengan kening mengernyit keheranan.
“Kamu sudah menjual aku sama laki-laki itu. Apa kamu tahu apa yang sudah dia lakukan sama aku?” pekik Cindy makin menangis. Ia ingin mengeluarkan seluruh emosinya pada Melvin.
Melvin terdiam lalu mendengus membuang mukanya. Ia malah menghindar dan malah berkelit.
“Kamu ngomong apa sih? Aku gak ngerti. Kamu pulang marah-marah gak jelas!” Melvin balik memarahi Cindy yang menggeleng tak percaya. Bukannya menolong atau setidaknya marah atas apa yang terjadi pada Cindy, Melvin malah bersikap tak peduli. Ia seperti pura-pura tak mengerti.
“Kenapa kamu tega, Mas? Kamu gak jemput atau menolongku dari laki-laki itu. Kamu ... kamu jahat, Mas.” Cindy menangis tersedu dan terduduk di lantai di depan Melvin begitu saja. Cindy sudah tidak tahu lagi harus bicara seperti apa. Rasa kecewanya makin besar saat melihat Melvin hanya santai saja menghadapi masalah seperti itu. Melvin seperti merasa tidak bersalah.
Melvin menarik napas panjang lalu membuang mukanya ke samping. Ia memang sudah melakukan kesalahan dengan melibatkan Cindy pada pertaruhan judinya. Nasi sudah menjadi bubur dan semua sudah terlanjur terjadi. Rasanya tidak mungkin Melvin mundur. Lagi pula dirinya tidak memiliki uang.
“Ah, kamu terlalu melebih-lebihkan, Cin. Jangan bicara sembarangan sama aku!” sahut Melvin. Melvin menarik napas panjang lalu sedikit berjongkok pada Cindy. Ia tidak tega juga membiarkan Cindy menangis seperti itu.
“Aku bukannya gak mau jemput kamu tapi aku punya meeting yang gak bisa aku tunda. Ini penting banget. Apa lagi kamu tahu kan perusahaanku sedang kesulitan sekarang?” ujar Melvin menjelaskan alasan yang ia buat demi mengelabui Cindy. Cindy menaikkan pandangan dengan mata basah penuh air mata. Sudah terlalu banyak Cindy mengeluarkan air matanya seharian ini. Tubuhnya sakit serta lelah sedangkan hatinya terluka.
“Apa kamu tahu apa yang sudah dilakukan Sebastian Arson padaku? Dia menyakitiku, Mas. Dia melecehkanku ... dia ....” Cindy berhenti tak sanggup meneruskan kalimatnya sendiri. Melvin bergeming seolah tak terpengaruh pada apa yang menjadi pengakuan Cindy baru saja.
“Dia kan bos kamu. kok kamu bisa bicara seperti itu sih?”
Cindy makin tak bisa bernapas. Melvin tidak melindunginya sama sekali. Dari semua luka yang terjadi hari ini, luka dari Melvin-lah yang paling menyakitkan.
“Kenapa kamu seperti ini?” lirih Cindy pelan.
“Aku hanya melakukan yang seharusnya. Kita sedang bangkrut, Cindy. Kita tidak punya pilihan selain melakukan ini.” Cindy terdiam masih menatap Melvin yang tanpa belas kasihan malah menjerumuskannya.
“Kamu tega menjual aku,” gumam Cindy lagi.
“Bukan. Aku ga akan melakukan ini jika aku gak bangkrut. Aku tetap menerima kamu kembali, jadi jangan khawatir. Jika kamu bekerja untuk Sebastian, dia akan mengampuni utang-utangku,” ujar Melvin makin dekat berbicara dengan Cindy. Cindy makin merasakan perih di hatinya. Monster itu juga adalah Melvin Hadinata, suaminya sendiri.
“Bertahanlah untukku. Kamu mencintaiku, kan?” ucapnya lagi lalu memegang kedua pipi Cindy seraya menatap matanya. Cindy hanya diam seperti patung. Haruskah ia masih berjuang demi suami yang tidak mau melindungi kehormatannya?
“Aku gak mau kerja di sana.” Cindy kembali memohon dengan suara nyaris berbisik. Melvin mengeraskan rahangnya masih memegang kedua pipi Cindy lalu menaikkan matanya.
“Jangan pikirkan apa yang dia lakukan, anggap saja itu gak ada.”
Cindy makin merasa sesak. Dengan gampangnya Melvin berbicara seolah Cindy bukanlah manusia. Oh Tuhan, bagaimana Cindy bisa tersesat sejauh ini? Ia makin merasa sendirian tanpa ada seorang pun yang melindunginya.
“Sekarang, kamu ganti baju terus kita makan malam. Kamu mau makan apa? Akan aku belikan.” Melvin tersenyum menawarkan makan malam di tengah tubuh dan hati Cindy yang terluka. Ia tidak menjawab dan hanya menelan ludah dengan berat.
Tak memperoleh jawaban, Melvin lalu membantu Cindy bangun dan mengantarkannya ke kamar ganti. Cindy menatap kosong dinding di depannya. Tubuhnya kotor, ia tak punya lagi kehormatan seorang istri maupun wanita. Setelah cukup lama berdiri sendiri, Cindy perlahan melepaskan dressnya sebelum masuk ke kamar mandi. Kakinya bergetar, lututnya seperti lemas.
Hatinya makin hancur saat melihat bekas merah agak membiru di tulang selangka sampai d**a atas. Kepalanya kembali memutar kejadian menyakitkan di ruang rahasia Sebastian Arson beberapa jam lalu. Cindy kembali meringkuk, kali ini di bawah guyuran shower sembari menangis. Ia berharap jika air itu bisa menghapus dosa-dosanya.