Delapan Belas

1046 Kata
Hari terbangun. Napasnya memburu ia melihat teman-temannya dan para paman Adam terkapar tak sadarkan diri. Termasuk ibu Adam. Namun ia sama sekali tak menemukan sosok temannya itu. Dengan agak tergesa ia bangkit dan berlari menaiki tangga. Tanpa berpikir panjang ia langsung mendobrak pintu kamar Adam. Saat itu hujan pertama turun ke bumi. Bau has tanah terkena air langsung menguar di kamar itu. Tirai berkibar terkena hembusan angin. Sejauh mata memandang tak ada seorang pun di situ. Hari mulai merasa cemas. Hampir saja ia berteriak panik kalau saja tak dilihatnya sepasang kaki berselonjor di balik meja bufet. Hari mendekat perlahan. Dan dilihatnya Adam terlelap dengan bersender ke jendela. Saat itulah untuk pertama kalinya sejak ia tersadar dari pengaruh bius, ia bisa bernapas lega. Adam tertidur dengan tenang. Wajahnya terlihat damai. Hari tak mengerti mengapa ia begitu menghawatirkan makhluk yang satu ini. Padahal harusnya ia menghawatirkan dirinya yang lemah dibanding sobat vampirnya ini. Yah mau bagaimana lagi. Bagi Hari siapapun Adam dia tetaplah manusia meski berbeda. Dan tentu saja sesama teman harus saling melindungi. Hari menghela napas kemudian ia hendak bangkit meninggalkan Adam. Sampai gerakannya tertahan karena seseorang menahan lengannya. "Tetaplah di sini," ucap suara dingin itu. Suara yang sangat Hari rindukan. Hari menghentikan gerakannya, kemudian memilih duduk dan bersender ke dipan di belakangnya. Hari pikir Adam akan bicara banyak. Tapi sepertinya ia salah mengira. Menit-menit berlalu hanya keheningan yang menyelimuti mereka berdua. Hari benci suasana kaku ini. "Tau tidak, besok sekolah sudah masuk lagi. Apa kau akan masuk?" tanya Hari. Kemudian Ia terdiam. Dilihatnya Adam masih memejamkan mata. Tapi Hari yakin temannya itu masih mendengarkan. "Kau ini tega banget ya, gara-gara kau aku kesulitan di sekolah. Banyak cewek-cewek yang ngirim surat buat lo. Koq ya di jaman ini masih ada musim surat-suratan. Awalnya mereka sering merayuku. Menanyakan nomer hp-mu, alamat rumah sampai email segala. Bahkan ada yang mengancamku dan mengurungku di gudang, padahal saat itu aku lagi butuh kamar mandi. Aku sampai pipis di celana saking kebeletnya." Hari ngakak sendiri. Sementara Adam tetap tak merespon. "Akhirnya mereka menulis surat dan menitipkannya padaku. Aku manfaatkan semua itu dengan berkata akan menyampaikan suratnya jika mereka bersedia mentraktirku. Dan tentu saja mereka mau. Alhasil aku jadi gemuk sekarang. Hahahaha. Dan buruknya tentu saja mereka menanyakan balasan suratnya. Namun bukan Hari namanya jika aku kehilangan akal. Aku balas mereka surat mereka semua. Dengan menyuruh sepupu perempuanku membalas surat mereka menggantikan kau. " Hari tertawa lagi. "Ya sudah, kau pindahlah tidur ke kasur. Aku akan turun melihat yang lain. Hari bergegas. Ia bangkit dan berjalan menuju pintu. "Apa kau tidak takut padaku? " Pertanyaan itu menghentikan langkah Hari. Ia menoleh dan mendapati Adam sudah berdiri tengah menatapnya dingin. "Kau tahu siapa aku bukan?!?" ucap Adam masih dengan ekspresi gunung esnya. Mata tajamnya seolah membuat sekujur tubuh Hari mendadak beku. Memang Hari akui. Adam yang sekarang sudah jauh berbeda dari yang dulu. Ia jauh lebih tampan. Lebih berkarisma dan tentu saja lebih kaku dan mengerikan. Semua bercampur jadi satu. Dan hal terakhir yang tak pernah berubah dari dulu. Adam yang sekarang terlalu memikat. Seolah ia terlahir memang untuk menaklukkan siapa saja. Tak peduli laki-laki atau perempuan. Tapi siapapun Adam dan bagaimanapun ia, bagi Hari Adam adalah sahabatnya. "Kau ini bicara apa. Mana ada seorang teman takut pada temannya sendiri. Kurasa sebaiknya kau tidur saja. Sekali bicara kau sungguh mengesalkan. Ngawur, aneh..... Bla. Bla. Bla... " Hari terus mengoceh. Ocehannya itu masih terdengar meski pintu kamar sudah tertutup.   *** Adam melihat bayangan wanita itu mengintip dari balik sebuah ruangan yang tak pernah ia datangi. Langkahnya tergerak. Ia bergerak lebih cepat dari bayangan. Tanpa wanita itu sadari ia telah berdiri dibelakangnya. Wanita itu masih mengintip kebingungan. Mungkin ia heran kemana perginya orang yang diawasinya. "Apa kau, mencariku?" ucap Adam santai. Ia berdiri sambil bersender ke dinding. Sementara kedua tangannya bersembunyi dibalik saku celana. Ia menatap tajam melalui sudut matanya. Mata Elena tak berkedip menatapnya. Sejenak ia lupa jika lelaki tampan dihadapannya adalah bayi yang ia lahirkan ke dunia ini dengan pengorbanan besar. "Siapa kau?" tanya Adam tanpa ekspresi pada wanita yang mengaku ibunya. "A... Aku Elena," pertahanan Elena goyah. Ia tak mampu mengakui dirinya sebagai ibunya. Ia melangkah sedikit demi sedikit ke arah Adam. Matanya sama sekali tak berkedip. Fokusnya hanya pada sosok Adam. Napasnya terdengar memburu. Adam menarik nafas panjang. Bukankah katanya wanita ini ibunya. Tapi kenapa wanita yang kini terus mendekatinya itu menatapnya dengan penuh nafsu. Nafas yang memburu, mata yang mengunci dan sikap diluar kebiasaan adalah ciri khas vampire ketika libidonya naik. Apa yang harus ia lakukan. Membiarkan wanita di depannya menyentuhnya atau...... Adam yang masih berpikir tanpa ia sadari tangan Elena sudah menyentuhnya. Kedua tangannya menangkup wajah Adam. Mata Elena mencoba mempengaruhi kesadaran Adam. Sayang, Elena tidak sadar jika Adam bukanlah vampire sekelas dirinya. Yang dengan sekali tatapan ia bisa menguasai orang tersebut. "A... Adam," suara Elena bergetar. Andaikan Adam mau ia bisa saja melempar wanita itu menjauh darinya. Nalurinya memang mengatakan ia benci disentuh-sentuh. Namun nuraninya menahannya. Walau bagaimanapun wanita dihadapannya yang mulai bersikap aneh terhubung dengannya. Bahkan ia ingat, saat orang lain menyakiti wanita itu maka Adam pun merasakan sakit yang sama. Adam dalam kebingungan besar. Ia semakin dalam situasi sulit saat Elena mendekatkan wajahnya.                 “Sadarlah, kau bilang kau ibuku,” tegur Adam mendorong Elena. Namun wanita tersebut kembali mencengkram kaus Adam. "Berhentiiiii!" teriak Samuel. Dengan cepat ia menjauhkan Elena dari Adam. "Tuan, kumohon pergilah. Ini bukan waktu yang tepat baginya bertemu denganmu." Pinta Samuel dan Adam langsung menurutinya. Elena meronta-ronta. Ia tak terima dijauhkan dari vampire yang wangi tubuhnya saja mampu menguasai hatinya. Plak. Sebuah tamparan keras ia terima dari Samuel. "Apa yang kau lakukan, Hahhhhh. Aku ini masih ratumu!" bentak Elena. "Saya mengerti. Tapi dia anakmu. Anakmu!!" balas Samuel. "Apa kau mau membuat tragedi yang menimpa tuan Druf juga harus menimpa anakmu itu!! " ucap Samuel lagi. Elena terkesiap. Ia masih mengingat peristiwa itu. Sebab dari kesengsaraan hidupnya kini adalah tragedi dimana Druf harus membunuh ibunya sendiri yang tergila-gila padanya. Elena menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia telah membuat kesalahan. Bagaimana mungkin ia bisa kehilangan kesadaran saat berada di dekat Adam. Kutukan Cezar sepertinya menurun pada Adam. "Sebaiknya kembalilah ke kamarmu. Maaf jika sejak kejadian ini. Kami kembali mengurungmu dan menjauhkanmu dari anakmu. " Ucapan Samuel membuat Elena sedih dan terpukul. Namun semua itu memang kesalahannya.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN