Lima Belas

1039 Kata
Hari dan teman-temannya tak sabar mengunjungi rumah Adam. Begitu mendengar bahwa sahabatnya itu sudah datang. Beruntung tanpa sengaja ia mendengar ayahnya yang menelpon seseorang dan membicarakan kepulangan Adam. Ia segera menyebarkan berita itu di grub Medsos. Teman-temannya langsung menyambutnya dengan antusias. Dan sesuai kesepakatan kini mereka telah tiba di rumah Adam dan di sambut Frans. "Oh. Kalian," sapa Frans dengan wajah terkejut menyambut tamunya. " Maaf Om. Kami langsung datang begitu mendengar kedatangan Adam," ucap Rani. "Ah. Tidak apa koq. Tapi sebelum ketemu Adam kalian harus berjanji kepadaku," sahut Frans membuat keempatnya saling pandang. Heran. "Janji apa?" tanya Dika agak ragu. Ia merasakan firasat akan mendengar kabar buruk. "Sebenarnya selama di luar negeri Adam kecelakaan dan dia amnesia," terang Frans jujur sekaligus bohong. Ia tak mungkin kan memberitahu kejadian sebenarnya kepada keempat anak dihadapannya. "Apa?!?" teriak ketiganya kecuali Hari. Ya. Hari tahu kejadian sebenarnya tapi ia tidak tahu jika Adam amnesia. "Jadi. Kalian bisa mengerti kan jika sikapnya aneh. Tidak mengenal kalian dan sebagainya." "Ya om. Kami mengerti" sahut mereka serempak. "Adam ada di halaman belakang. Ia baru selesai mandi. Tapi ingat kan peraturan husus untuk cewek. Jaga jarak," tekan Frans. "Siap Om," sahut Rani dengan menaruh sebelah tangannya di dahi mirip petugas upacara bendera. Tiara hanya tersenyum kecil melihat tingkah sahabatnya itu. Setelah Frans pergi. Keempatnya langsung menuju ke halaman belakang. Hal pertama yang mereka lihat adalah punggung Adam. Ia hanya mengenakan singlet. Rambutnya sedikit basah. Mungkin ia baru saja selesai mandi. Tatapannya lurus ke depan. Kaku. Dan kosong. Sejenak keempatnya terpaku memandang sosok yang sangat mereka rindukan. Namun mereka juga bingung harus bersikap bagaimana jika memang Adam lupa pada mereka. "Eh, kalau gak salah kalian teman sekelas Adam kan." Suara tersebut membuat mereka kompak menoleh. "Jayadi cornelis? Bukannya lu siswa yang hilang itu. Bagaimana kau ada di sini?" tanya Dika terkejut. Ia masih ingat dengan jelas arahan guru di sekolah saat seluruh ketua kelas dikumpulkan. Ya tak salah lagi dia siswa yang hilang. Dan pihak sekolah meminta untuk tidak membocorkan kehilangan siswa itu sampai ada kabar yang jelas. Peristiwa penculikannya tergolong di luar nalar. Jadi kepolisian juga setuju dengan kebijakan sekolah. Berhubung Jayadi di Indonesia hanya tinggal sendiri. Jadi keluarganya sama sekali tidak tahu kejadian ini. Keputusan tersebut memang kurang bertanggung jawab bagi Dika. Tapi sekolah bilang orang tuanya selalu sibuk dan susah dihubungi. "Apa, jadi dia yang diculik?" tanya Hari heran. Dika hanya mengangguk. "Benarkah, bagaimana kau ada di sini?" Tanya Rani. "Aih, tampaknya penculikan itu membuatku terkenal ya. Sampai kalian kepo banget. Hehehe," tawanya. "Nih, minuman dari kak Frans. Pegal dari tadi megangnya." Ia menaruh minuman itu di meja tak jauh dari Adam. "Dam, nengok dikit kek, tuh teman-teman lu dateng. Jangan kaku gitu. Ini dunia yang luas kau harus fleksibel," tegur Jay sambil menepuk bahu Adam. Hari memandang Jay dengan alis bertaut. Sejak kapan mereka dekat. Tidak. Sejak kapan mereka saling kenal. Rasanya semuanya membingungkan. Tidak hanya Hari teman yang lain juga berpikir demikian. Kecuali Tiara. Bisa melihat kondisi Adam baik saja. Ia sudah sangat bersyukur. "Teman?" tanya Adam bangkit. Ia menoleh dan memandang Hari, Dika, Tiara dan Rani dengan tatapan dingin. "Ya. Mereka teman sekolahmu di sekolah. Kalian gak begitu dekat sih," kelakar Jay. "Oyyy bacot lu. Kita ini teman baik. Kita sahabat. Bahkan kita punya grub sendiri. Kecuali cecunguk ini. Yang mengaku sahabat. Padahal kenal dekat aja belum." Hari tak terima. "Lu jangan sok tahu ya. Kita ini best friend banget." Jay jauh tak terima. Mereka takkan pernah tahu jika Adam tidak akan pernah bisa hidup tanpanya. Adam melangkah mendekat. Menempelkan telunjuknya ke kening Hari. Kemudian ke arah Dika. Setelah itu ke Tiara. Namun gadis itu mundur beberapa langkah. Tentu saja ia ingat apa kata Frans. Jaga jarak. "Ma-maaf. Mungkin kamu lupa jika kamu alergi cewek," ucap Tiara terbata-bata. "Apa,  Alergi cewek. Pffftttttt. Wakwakwakwak." Jay tertawa terpingkal-pingkal. "s****n lu," sungut Rani sambil melempar salah satu sandalnya ke arah Jay. Sayang, tidak mengenai sasaran. Tiara menatap Adam dengan perasaan malu dan jantung yang berdebar tak karuan. Suara degubnya terdengar begitu cepat di telinga Adam. "Kalian mengenalku?" tanya Adam. "Tentu saja Dam. Kau ini," ucap Dika seraya meninju Adam. "Kalau begitu, aku siapa?" Pertanyaan yang meluncur dengan nada datar dari mulut Adam. Membuat suasana hening sejenak. Hanya terdengar desiran angin di tempat mereka berdiri. Dan wajah pias yang menatap Adam tak percaya. "Tumben sepi. Ada apa ini. Ayo kalian ke dapur dulu. Cicipi makananku yang enak banget. Resep terbaru. Gimana?!?" teriak Frans. "Siap Om," ucap mereka berempat. "Oh iya. Biar Adam dibawa Jayadi ke kamarnya untuk istirahat," ucap frans lagi. Meski agak kecewa. Mereka pun menuju ruang makan tanpa Adam. Sedangkan Jay membawa Adam ke kamarnya. "Bukannya kamu sudah melihat kisah masa lalumu diingatan mereka," ucap Jay sesampainya di atas. "Aku hanya bingung. Bagaimana aku berbaur dengan manusia. Aku merasa menjadi orang yang berbeda. Jika sebelumnya aku seperti itu. Mengapa aku seperti ini sekarang. Apa wajar manusia sepertiku hidup di dunia manusia," ucap Adam seraya merebahkan tubuhnya. "Yang jelas, kau itu bukan monster. Kau manusia yang berbeda. Menurut ajaran agama tuhan itu hanya menciptakan jin dan manusia yang menghuni bumi ini. Selain itu ada malaikat. Tapi mereka tak ada hubungan apapun dengan duniawi. Jelas kau bukan jin, bukan pula malaikat, Jadi fix kau manusia, hanya sedikit berbeda. " "Jin?" Tanya Adam. "Mereka sebangsa iblis. Tapi yang baik ada dan yang jahat disebut iblis. Dan vampir bukan sebangsa mereka. Tapi memang memiliki kelebihan dibanding manusia. Itu yang dulu dikatakan ayahmu padaku," terang Jay. "Ayah," gumam Adam. Kemudian ia memejamkan mata. Jay menarik napas panjang. Ia mengingat tuan Druf, ayah Adam yang ada di London. Dan perkataannya waktu itu. 'Mungkin dia terlahir sebagai anakku. Tapi sebenarnya dia junjunganku. Dia itu berbeda. Jadi kumohon jadilah kaki tangannya sementara. Jika dia bergantung pada darah. Maka berikanlah darahmu. Hanya darahmu. Peliharalah kesucian darahmu. Itu pintaku. Sampai ada pengganti baru sebagai abdinya dan bersedia memberikan darahnya seumur hidup. ' Jay menemui teman Adam di ruang makan. Ia melihat tingkah mereka. Tersenyum riang dan bercanda. Berbeda sekali dengan Adam yang kaku. Adam harus kembali bisa tersenyum. Ia harus hidup layaknya manusia. Itu yang diinginkan Druf. Dan itu janjinya kepada Druf. Sebagai balas budinya kepada Druf ia harus menjaga Adam sementara waktu. Sampai Druf bangkit kembali dan berkumpul dengan anak dan isterinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN