Survival 13

1074 Kata
"Kian, akui saja. Selama beberapa hari ini kau masih menemui Yeona kan?" Kian menoleh, terlebih dahulu melihat Silas yang masih menyiksa seorang wanita di bawahnya sebelum menatap Luwis. "Lalu kenapa? Keberatan?" Luwis menghembuskan asap rokok dari mulut dan hidungnya kemudian tertawa pelan. "Sebaliknya, aku ingin menawarkan kerjasama." Kian mengangkat alis. "Apa?" Luwis mematikan rokoknya dan mendekat. "Pak tua itu, aku sudah muak dengannya. Dia selalu bersikap seenaknya dan merendahkan kita setiap saat. Bukankah itu sangat menyebalkan?" Kian tidak menjawab, karena diapun merasa demikian. Melihatnya tidak langsung menolak, Luwis menyeringai dan merendahkan suaranya. "Sebelum mencapai distrik seratus satu, kita harus membunuhnya, hanya dengan cara itu kita bisa memonopoli Yeona." Kian menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" "Kau tidak tahu?" Luwis melirik ke arah Silas dan berkata, "dia memberitahu orang-orang bahwa setibanya di distrik satu kosong satu, dia akan memasukkan Yeona ke rumah bordil dan menjualnya dengan harga tinggi." Kian membelalak lebar, yang kemudian berkilat tajam penuh niat membunuh. Luwis menepuk bahunya. "Kendalikan emosimu, dia lebih kuat dari kita, jadi kita perlu rencana yang matang untuk menyerangnya." Tok ... Tok ... Tok Luwis dan Kian saling memandang dan menoleh ke pintu. Biasanya, saat mereka berpesta, tidak akan ada nara pidana yang berani mengganggu mereka, jadi yang muncul di pikiran mereka saat ini adalah pengawas. Keduanya berpikir seperti itu, maka hampir semua orang di ruangan juga berpikir yang sama. Silas memakai celananya. "Kian, buka pintunya." Kian mengeluarkan geraman tertahan yang hanya bisa dia dan Luwis dengar di tenggorokannya, namun tetap melakukan perintah Silas. Tapi, tidak ada yang menyangka, yang berdiri di balik pintu bukanlah pengawas kereta, namun seorang gadis yang sedang mendorong troli makanan. "Nana?" Yeona tersenyum lebar. "Hay Kian, selamat malam. Maaf karena mengganggu." Kian tidak senang dengan kedatangan Yeona dan langsung menyembunyikan sosok gadis itu dengan tubuhnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" bisiknya. "Aku hanya membawa ... "Nana?" Sebenarnya sudah terlambat bagi Kian untuk menyembunyikan Yeona, karena sejak awal Silas sudah melihatnya dengan jelas. "Kenapa kau kemari?" Silas menggeser Kian dan menggantikannya berdiri di depan gadis itu. Yeona menyematkan rambutnya ke belakang telinga dan memperlihatkan troli yang dia bawa. "Akhir-akhir ini aku jarang melihatmu, jadi kupikir aku pasti membuat kesalahan yang membuatmu marah. Jadi aku ... Aku ... " Yeona menundukkan kepala semakin dalam. "Aku berupaya untuk membuat ini agar kau tidak marah lagi." Silas mengangkat alis dan menatap kue dan jus yang ada di atas troli. "Kau membuatnya?" Yeona mengangguk cepat. "Ini dessert kesukaanku, juga dessert yang cukup populer dua ratus tahun yang lalu, aku yakin kalian akan suka." "Kalian?" Luwis juga menghampiri. "Berapa banyak yang kau buat?" Kian memberikan Luwis jawaban dengan membuka tirai yang menutup bagian bawah troli. "Kau membuat semua ini sendirian?" Yeona mengangguk cepat hingga beberapa anak rambutnya jatuh ke dahi. Rautnya yang gugup dan malu disaat yang sama menyebabkan hati dari tiga pria di hadapannya gatal. Silas membuka pintu lebar-lebar. "Masuk." Yeona mendongak lalu menatap ruangan dengan ragu-ragu. Meskipun tidak ada suara-suara aneh yang terdengar, tapi beberapa tubuh tanpa busana masih bisa dia lihat dari luar. "Tidak mau masuk?" "A-aku hanya mengantar makanan." Silas bersedekap. "Kau bilang membawanya dessert itu untukku, bukankah kau seharusnya menghidangkannya juga?" Yeona mencengkeram pegangan troli dengan erat. "Tapi ... "Aku hanya akan menyuruhmu menghidangkan, tidak ada yang lain." Yeona mendongak, menatap Silas penuh harap. "Benarkah?" Silas tidak menjawab dan langsung berbalik kembali ke ruangan. "Ayo,"ajaknya. Melihat Kian dan Luwis masih menunggunya, Yeona menghembuskan napas pelan dan mendorong trolinya masuk. "Makanan ini, bagaimana aku bisa percaya kau tidak memasukkan hal aneh di dalamnya?" Begitu tiba di dalam, Silas tiba-tiba bertanya. "Apa?" Silas duduk dan menopang sisi kepalanya dengan kepalan tangan. "Bagaimanapun, awalnya kau menolak dengan sangat keras disentuh olehku, jadi jika kau tiba-tiba menawarkan makanan buatan sepeti ini, bukankah wajar jika aku merasa curiga?" Kedua tangan Yeona yang bertaut saling meremas satu sama lain. "Memangnya apa yang bisa aku masukkan ke dalam makanan?" "Racun misalnya?" jawab Silas. Yeona menarik napas terkejut. "Bagaimana mungkin, di sini adalah kereta napi, sejak naik aku belum sekalipun pernah turun, dari mana aku bisa mendapatkan racun?" "Karena kau bisa menyewa dapur untuk membuat kue, bukankah itu artinya kau punya uang untuk membelinya?" "Tidak, aku tidak punya uang." Yeona memperlihatkan telinganya yang kosong. "Aku menyewa kantin menggunakan satu-satunya perhiasan di tubuhku." Silas, Kian dan Luwis berasal dari distrik satu, jadi segala macam batu mulia cukup familiar di mata mereka, dan batu permata di anting yang selama ini dipakai Yeona memang batu mulia. "Baiklah, aku akan percaya padamu." Silas menuangkan jus dan menyodorkan satu kue untuk Yeona. "Hanya jika kau membuktikan ini tidak beracun." Yeona menatap gelas dan kue itu untuk sejenak sebelum menyanggupi. Dia menegak habis minumannya dan makan sepotong kue. Baru saat itulah Silas terlihat senang. "Baiklah, hey kau kemari dan bantu dia membagi kuenya." Yang Silas panggil adalah seorang gadis mungil dengan pakaian yang hanya menggantung rapuh di tubuhnya, sedang rambut dan penampilannya sangat berantakan. Yeona mendorong troli itu ke arah gadis itu karena melihatnya kesulitan berjalan, kemudian dalam diam keduanya menyiapkan hidangan. Selama waktu itu, hampir semua mata pria mematai Yeona penuh dengan keinginan yang membara, hingga Yeona sendiri merasa punggungnya panas. Yeona menoleh, melihat Silas sedang merokok dan memperhatikan asap rokoknya yang mengudara selagi bercakap-cakap dengan Luwis. Untuk Kian, sejak awal dia tidak pernah menanggalkan pandangan dari Yeona, jadi pandangan mereka bertemu sejenak sebelum Yeona memutuskan pandangan dengan senyum malu. Pada tuangan terakhir jus, Yeona menyenggol tangan gadis dihadapannya dan menyebabkan beberapa tetes jus tumpah. "Maaf." Yeona meraihnya tissue dan membersihkan tangan gadis itu. Selagi menunduk, dia berbisik, "pastikan tidak ada wanita yang makan kuenya." Wanita itu mematung, lalu matanya yang sejak tadi tidak memancarkan semangat hidup sedikit melebar. Yeona menyipitkan mata. "Lakukan saja jika mau selamat." Gadis itu menunduk lagi dan menarik tangannya kembali. "Terima kasih, aku akan lebih berhati-hati lain kali." Yeona tersenyum lebar. "Yang menyenggol jusnya kan aku, jadi aku yang seharusnya minta maaf." Dia menoleh dan melihat Kian menghampirinya. "Sudah selesai?" tanya pria itu. "Ya, gadis ini berkata bahwa dia yang akan membaginya." Gadis itu berkompromi dengan mengangguk. "Bagus, lebih baik jika kau pergi secepatnya dari sini." Yeona tersenyum manis dan menurutinya. Untungnya, Silas sama sekali tidak berniat untuk menahan Yeona di sana dan hanya menatapnya tak peduli saat pergi. Begitu sampai di kamar, Yeona langsung mengeluarkan pil dari sakunya dan menelannya. Kemudian duduk di atas ranjang, menatap bulan purnama di balik jendela, menghitung waktu juga menunggu hasil rencananya. "Yeona." Yeona mengangkat kepalanya dan tersenyum. "Kian." Satu yang dia tunggu akhirnya datang. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN