Yeona tersenyum lebar dan menghampiri Kian. "Kenapa kau ke sini?"
"Apa lagi, tentu saja menemuimu."
"Tapi, bukankah kau sedang berpesta?" Saat mengatakan itu, Yeona menghindari tatapan Kian dengan pipi yang sedikit menggembung. "Wanita-wanita di sana juga sangat banyak."
Kian menyentuh pipi Yeona. "Apa kau sedang cemburu sekarang?"
"Bagaimana mungkin aku berani." Yeona menatap lantai dengan raut sedih. "Lagipula, aku tidak punya hak."
"Kau punya jika kau mau berjanji hanya mau jadi milikku."
Yeona mengangkat kepala. "Apakah benar tidak apa-apa?" Matanya mulai berkaca-kaca.
"Tentu saja."
"Tapi Silas ...
"Jangan pedulikan dia." Kian menarik Yeona semakin dekat padanya dan membelai rambutnya lembut. "Aku akan membunuhnya untukmu."
Bibir Yeona bergetar, dia mencengkeram tangan Kian dengan erat dan berterima kasih beberapa kali. "Aku tahu kau adalah satu-satunya yang baik padaku."
Kian tersenyum dan menuntun Yeona ke tempat tidur langkah demi langkah. "Tapi sebenarnya aku masih sedikit kesal, bagaimana bisa kau membuat kue sebanyak itu khusus untuk menyenangkan Silas?"
Yeona mendongak, tersenyum tipis dan memperlihatkan lengkungan matanya yang cantik. "Aku tidak mungkin mengatakan membuat kue itu khusus untukmu di depan wajah Silas kan?"
"Jadi, apakah itu kue untukku?"
Yeona mengangguk tanpa memberi jeda. "Semuanya untukmu, apa kau suka?"
"Aku belum makan satupun."
Yeona kehilangan senyumnya. "Kenapa?"
"Karena kau mengatakan kue itu untuk Silas, jadi aku tidak mau memakannya, aku lebih suka hidangan khusus yang kau hidangkan secara pribadi." Dia mengangkat pinggang Yeona dan menjatuhkannya ke tempat tidur. "Bagaimana?"
Diantara bayang-bayang tirai yang menutupi setengah wajah Yeona, gadis itu memberikan senyum yang sangat lebar sebelum bangkit dan memeluknya leher Kian. "Tentu, aku akan memberikan layanan khusus."
Kian terlena, menutup mata juga telinga dan menerima semua pelayanan Yeona sepenuhnya. Peluh, desahan dan deritan tempat tidur menemaninya menuju puncak. Hingga tepat ketika pria itu masih melenguh pada puncak kenikmatan yang baru saja dia gapai.
Yeona membuka mata dan menggali pisau di bawah bantal pria itu.
Kilatan mata pisau di bawah cahaya tamaram tidak berhasil Kian lihat sampai benda itu dengan tajam membuka jalur darah di lehernya.
Napas pria itu tercekat, dengan mata yang terbuka lebar-lebar, dia menatap Yeona tak percaya sembari menutupi luka menganga di bawah telinganya.
"Na-na ...
"Ya?" Yeona masih mempertahankan suara manisnya, namun tatapannya bukan lagi tatapan polos yang sering dia perlihatkan. Ada berbagai macam emosi di sana. "Apakah kau suka dengan hadiah khusus yang aku berikan?"
Mulut Kian terbuka lebar, namun hanya suara tercekat yang mampu dia keluarkan.
Yeona tersenyum hingga lesung pipinya muncul. "Jangan menatapku seperti itu, kau tidak mungkin berpikir aku akan benar-benar menyukaimu setelah apa yang kau lakukan padaku kan?" Dia mengangkat pisaunya yang masih berdarah dengan kedua tangan. "Tidak sehari pun aku pernah berhenti membayangkan bagaimana caranya membunuhmu!"
Mata Kian mulai kehilangan fokus, namun raut terkejutnya sudah tergantikan oleh raut kebingungan, bibirnya terus bergetar ingin mengatakan sesuatu namun tidak pernah berhasil.
Seperti ucapan Qiu Shen, luka di tempat yang dia ajarkan merupakan luka yang sangat fatal, bahkan jika Yeona tidak melakukan apa-apa lagi, tanpa pertolongan siapapun, Kian akan mati kehabisan darah.
Tapi dendam di hati Yeona tidak semudah itu diredakan.
"Kau harusnya berterima kasih karena aku memberimu kematian yang cukup mudah." Yeona tidak lagi memakai topengnya, ruat tanpa emosinya sedingin musim salju. "Selamat tinggal, Kian." Lalu tanpa ragu, dia menekan pisau dengan keras ke dadaa pria itu.
Kian tidak mampu mengeluarkan suara bahkan hanya untuk mengerang kesakitan. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menatap Yeona dalam sebelum napasnya benar-benar berhenti.
Saat Yeona turun dari ranjang, tubuh tanpa busananya dipenuhi percikan darah. Bulan palsupun menyaksikan bagaimana seorang gadis yang bersih dari kejahatan saat naik kereta melakukan pembunuhan pertamanya.
Seperti malaikat jatuh yang sayapnya perlahan-lahan berubah warna, Yeona menutup tirai ranjang dan masuk ke kamar mandi, memuntahkan semua makan malamnya, lalu bangkit tanpa menunjukkan perubahan emosi di wajahnya.
Dia mengganti baju, mencuci pisau dan menyembunyikannya kembali, kemudian keluar untuk menunggu racun yang dia buat bereaksi.
Yeona tidak tahu apakah dosis sianida yang dia buat cukup untuk membunuh orang-orang yang sedang berpesta, mengingat dia memajukan rencananya secepat mungkin. Tapi yang pasti malam itu Yeona sudah mempersiapkan diri untuk kondisi terburuk.
Setidaknya, dia berharap racunnya bisa melumpuhkan mereka untuk sesaat.
"Nana?"
Yeona menoleh ke pintu dan mengerutkan kening. Orang yang memanggilnya adalah Silas. Dia dengan cepat menatap ranjang tempat tubuh Kian berada, memastikan tidak ada darah yang merembes sebelum mulai mengacak-acak penampilannya sendiri. Terakhir dia membuat luka sayatan di lengannya sebelum membebatnya asal-asalan.
"Nana!"
Yeona berlari dan membuka pintu.
"Kenapa kau sangat lama ... Ugghh bau darah. Apa yang terjadi?"
Yeona memperlihatkan lukanya. "Aku terluka, jadi agak lama membuka pintu untukmu. Ada apa?" Selagi bicara, Yeona menatap Silas yang terlihat baik-baik saja.
Jadi, apakah racunnya bahkan tidak bisa membuat seseorang pusing?
"Apakah Kian ada di sini tadi?"
Yeona menyembunyikan tangannya yang bergetar. "Tidak."
"Lalu kenapa kau menutup tirai tempat tidurmu?"
"Aku tadinya sudah mau tidur, tapi tidak sengaja melukai tanganku."
Silas mengerutkan kening dan menatap lengan Yeona yang darahnya membasahi keseluruhan kasa hingga berubah warna. Tapi selain bau darah, Silas juga mencium bau Kian dalam ruangan.
Dia menatap Yeona lagi dan semakin curiga. "Minggir." Dia mendorong gadis itu ke samping dan menunju ke tempat tidur.
Mata tanpa riak Yeona langsung panik. "Silas."
Terlambat, Silas sangat cepat dan sudah membuka tirainya.
Jantung Yeona berdegup sangat kencang, dan diamnya pria itu tidak membuat keadaan lebih baik. Di saat Yeona berpikir bahwa Silas akan berbalik menyerangnya, pria itu justru menatapnya bingung. "Dan kau mau bilang Kian tidak pernah ke sini?"
Yeona menggenggam pisaunya dengan erat. "Aku ...
"Apakah dia yang membuat luka di tanganmu?"
Kali ini Yeona yang kebingungan, jadi dia mengintip ke belakang Silas dan akhirnya melihat bahwa tidak ada orang di tempat tidur.
Tubuh Kian kemana?
Yeona menunduk dan menggenggam pisaunya lebih erat.
Dia juga sangat yakin sudah memastikan Kian mati, jadi kenapa tubuhnya hilang?
"Pria itu, tidak kusangka dia menunjukkan sikap yang sangat peduli, tapi saat bersamamu, dia masih sangat kasar." Silas mendekati Yeona dan melihat luka di lengannya dengan khawatir. "Besok kita harus membawanya ke Iris."
Yeona sekuat tenaga menyembunyikan kebingungannya karena mayat Kian yang hilang dan mendongak. "Tidak perlu, lukanya tidak dalam."
"Kalau tidak dalam, lalu bagaimana bisa mengeluarkan darah sebanyak itu di tempat tidur?"
"Tidak apa-apa, aku sudah mengobatinya." Yeona menyentuh lengan Silas. "Apakah pestanya sudah usai?"
"Belum." Silas membelai pipi Yeona dan menunjukkan senyum yang membuat bulu kuduk Yeona meremang. "Semuanya karena kau tiba-tiba datang dan mengatakan hal manis seperti membuat kue khusus untuk meredakan amarahku, jadi aku tidak bisa menikmati pesta sama sekali."
Yeona memiringkan kepala ke arah tangan Silas dan tersenyum. "Benarkah? Apakah itu artinya kau tidak marah lagi?"
"Kita lihat bagaimana nanti. Yang pasti bukankah kau harus melakukan sesuatu untukku sekarang?"
Kilat tajam melintas cepat di mata Yeona dan dia menuntun Silas ke sofa. "Dengan senang hati tuan." Dia duduk di sisi Silas dan melirik kue dan jus yang dia sisakan di dalam kamar. "Kau sudah makan kue nya?"
"Tidak, aku ingin kau menghidangkan secara khusus."
Yeona tersenyum dan menuangkan jus ke dalam mulutnya, lalu mendekat untuk menyuapi Silas.
Yeona tidak tahu kemana dan siapa yang membawa tubuh Kian, tapi sekarang yang menjadi prioritasnya adalah melanjutkan rencana hingga selesai dengan sempurna.
Bersambung ...