Survival 12

1107 Kata
"Nana, lihat apa yang baru saja aku temukan." Saat Silas datang bersama Luwis dan Kian, pria itu langsung memamerkan bahan rampasannya kepada Yeona. Barang yang Silas perlihatkan adalah Smith & Watson 500 magnum, pistol berjenis revolver yang memiliki moncong yang lebih panjang dari pistol sejenisnya. Konon, bahkan dua ratus tahun yang lalu pistol ini juga sangat populer di militer karena akurasi dan daya hancurnya yang tinggi. Yeona tahu banyak karena selain suka mengoleksi buku sejarah, ayahnya juga mengoleksi banyak senjata, jadi pistol sejenis ini sudah sangat lumrah di mata Yeona. Tapi tentu saja Yeona tidak akan menampakkan itu. Dia mendekat dan menatap pistol itu dengan takjub. "Sangat keren, ini pertama kalinya aku melihatnya. Ini barang antik kan?" Silas mengangguk bangga, bahkan membuka tabung pistolnya untuk memperlihatkan bahwa benda itu juga terisi penuh dengan peluru. Yeona ber-wow ria dan bertepuk tangan, tak lupa memberikan beberapa kata pujian padanya. Silas tertawa pelan, mengamati raut Yeona sejenak sebelum tiba-tiba mengeluarkan semua isi pelurunya. "Lalu, bagaimana kalau kita bermain sedikit?" Yeona bertanya penasaran, "Bermain apa?" "Bermain uji keberuntungan." Silas memasukkan satu peluru ke dalam pistol, memutarnya kemudian menutupnya kembali. "Kita lihat, apakah kau cukup beruntung atau justru sebaliknya?" Yeona belum sempat bereaksi ketika moncong pistol itu sudah menempel di dahinya. Dia membelalak lebar. "S-silas." Tampaknya bukan hanya Yeona yang terkejut, bahkan Kian dan Luwis mendadak berdiri siaga dengan wajah was-was. "Silas, apa yang kau lakukan!" "Apa? Bukankah sudah kubilang mau bermain sedikit?" Silas menyeringai dan menatap Yeona dengan tatapan jenaka. "Sekarang, ayo mulai. Nana, coba tebak, apakah jika aku menarik pelatuknya sekarang, pelurunya akan keluar?" Selagi bertanya, Silas bahkan sudah menekan hammernya, sekarang hanya butuh sedikit tarikan di pelatuk, pistolnya akan menembak. Seluruh tubuh Yeona bergetar, matanya yang menatap Silas mulai memerah sedangkan napas saja tidak lagi berani dia tarik. Seolah bermain-main dengan raut ketakutannya, Silas menyingkirkan rambut di dahi Yeona dengan moncong pistol. "Ayo jawab." "Aku ... " Yeona menelan ludah. "Aku tidak tahu." "Teng, bukan jawaban yang aku inginkan." Saat Silas menekan moncong pistolnya, kepala Yeona juga terdorong ke belakang. "Silas, ada apa denganmu huh? Kalau kau dalam suasana hati yang buruk, aku akan carikan orang lain, jangan melampiaskannya pada Nana!" urat kebiruan tampak menonjol di leher Kian ketika dia berusaha sekuat tenaga menahan amarah. Luwis juga sangat gugup hingga beberapa tetes keringat jatuh di pelipisnya. "Benar Silas, aku tadi juga melihat seorang ibu membawa anaknya yang masih remaja, jika kau mau aku akan membawanya ke hadapanmu sekarang." "Kenapa mencari orang lain? Bukankah kita punya satu yang tersedia di sini?" Silas menoleh pada kedua temannya. "Kenapa kalian begitu gugup? Bukannya sejak awal kita memang hanya ingin menjadikannya bahan hiburan?" Dia menoleh pada Yeona kembali. "Sekarang jawab dengan benar! Apakah pelurunya akan keluar atau tidak?" Tapi, alih-alih menjawab sesuai keinginan Silas, tangisan Yeona justru tidak tertahankan, air matanya mulai mengalir sangat deras. "Maafkan aku, maafkan aku jika tidak bisa melayanimu dengan benar." Ketika dia berkedip, air mata yang jatuh seperti butiran mutiara di wajahnya yang bersih. "Aku, aku tidak tahu apakah pelurunya akan keluar, tapi kau bisa menarik pelatuknya untuk memastikan, aku tidak akan bergeser." Yeona merasakan dorongan di dahinya sedikit melemah, jadi dia memejamkan mata, mengulurkan tangan dan menyentuh pergelangan tangan Silas dengan lembut. "Silas ... Kian memasukkan tangannya ke saku, memegang pisau lipat yang disembunyikan olehnya di sana, kemudian menatap setiap gerakan jari Silas di pelatuk, jika dia melihat sedikit pergerakan untuk menekannya, Kian tidak akan ragu untuk menyerang. Di saat ketegangan dalam ruangan itu mencapai puncaknya, Silas tiba-tiba saja terkekeh, lalu mulai tertawa. "Lihatlah raut kalian, sangat lucu." Silas menarik pistolnya dari dahi Yeona dan memandang dua rekannya penuh ejekan. "Rupa-rupanya gosip yang beredar memang benar, kalian berdua sudah dibutakan oleh wanita." 'hanya kami?' Kian dan Luwis membatin, hampir saja mendengus jika tidak mampu mengontrol diri. Silas mengalihkan tatapannya ke Yeona kembali dan menemukan gadis itu masih memejamkan mata dengan wajah sangat tegang, meski air matanya tidak mengalir sederas tadi, tapi wajahnya masih basah. "Aku hanya bercanda, kau bisa buka matamu." Bulu mata yang lentik bergetar sebelum Yeona menuruti ucapan Silas, tapi saat pandangan mereka bertemu, dia dengan cepat menunduk. Silas mengerutkan kening, rasa tak nyaman yang tidak dia inginkan pada akhirnya mulai menguasainya, terlebih ketika melihat bahu gadis itu bergetar. "Luwis, kita adakan pesta malam ini." Silas mengantongi pistolnya dan bangkit. Luwis mengangguk mengerti dan mengikuti Silas keluar bersama Kian setelah terlebih dahulu mencuri pandang pada Yeona. Begitu ruang hanya tersisa dirinya, barulah Yeona mengangkat kepalanya kembali, tapi raut ketakutan yang dia perlihatkan sebelumnya menghilang tanpa jejak, hanya ada tatapan penuh kebencian dan kemarahan. Dia bangkit dan menutup pintu. Kemudian mengeluarkan Mortar dan pestle dari bawah ranjang. Masih dengan tatapan yang dipenuhi kebencian, dia memotong sisa-sisa apel yang masih dia miliki dan memisahkan batu dari dagingnya. Kejadian hari ini mengingatkan Yeona bahwa rencananya harus dilaksanakan secepat mungkin. Karena walaupun ketiga pria itu menyukainya saat ini, tidak ada jaminan hal itu tetap berlangsung hingga rencananya matang. Sepertinya berita yang tersebar tentang dirinya yang dibutakan oleh wanita benar-benar membuat Silas kesal, karena hingga beberapa hari kemudian, dia terus mengadakan pesta tanpa menemui Yeona sekalipun, seolah itu adalah caranya mengatakan pada orang-orang bahwa dia sama sekali tidak menganggap Yeona spesial. Hal baiknya, Yeona tidak perlu melayani mereka lagi, tapi hal buruknya ada beberapa pria yang mulai mencari kesempatan untuk menyerangnya. Untungnya, diantara mereka bertiga, Kian masih cukup memperhatikannya dan beberapa kali mengusir orang yang mengganggu Yeona. Tapi, tentu saja dia tidak melakukannya tanpa meminta imbalan. "Bolehkah aku pinjam dapurnya?" Saat selesai makan siang, Yeona tiba-tiba menghampiri pengawas yang bertugas di kantin. Pengawas itu mematai Yeona dari atas ke bawah dan bertanya, "untuk apa?" Yeona menyelipkan rambutnya ke telinga dan menggoyang-goyangkan kakinya malu. "Aku hanya ingin membuat sesuatu yang spesial untuk seseorang." Yeona tidak hanya terkenal diantara para napi karena berhasil menaklukkan tiga pria teratas di kereta, tapi cukup diketahui juga oleh para pengawas. Jadi saat Yeona menjawab seperti itu, si pengawas langsung tahu siapa yang dia maksud dan mendengus. "Meminjam sesuatu di tempat ini tidak gratis, kau tahu kan?" "Tahu." Yeona mengangguk dan mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Bisakah aku membayarnya dengan ini?" Melihat apa yang Yeona sodorkan, pengawas itu membelalak sebelum menatap Yeona tak percaya. "Ini batu mulia?" Yeona mengangguk. "Ini jasper, meskipun kecil tapi sangat murni dan pasti bernilai tinggi. Apakah ... "Oke." Pengawas itu merebut sepasang anting berpermata merah itu dari tangan Yeona dan menggantinya dengan kunci. "Pakai saja sepuasmu, aku akan memakai dapur yang lain untuk menyiapkan makan malam." Yeona tersenyum cerah. "Terima kasih." Pengawas itu melambaikan tangan dan mengamati tempat itu dengan waspada, berjaga-jaga jika ada yang melihatnya sebelum berlari. Senyum Yeona memudar dengan cepat, digantikan oleh seringai lebar, dia berjalan ke dapur. Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN