BRAK !
Kali ini suara pintu hancur seperti ditinju dan Selena yakin Warren telah berhasil menghancurkan pintu dapur. Bunyi kenop pintu yang dibuka pun terdengar dan jantung Selena semakin berdebar kencang. Ia memejamkan mata dan bahkan takut untuk bernapas karena bisa saja Warren mendengar deru napasnya yang memburu.
Tidak terdengar langkah kaki sama sekali dan Selena semakin merasa takut. Ia tidak bisa menghentikan gemetar yang sedang dirasakannya. Ia hanya bisa melihat siluet orang yang berlalu lalang di dapur luas itu. Nampaknya Warren berjalan ke arah jendela dan melongok ke luar untuk melihat apakah Selena kabur dari sana. Ia kembali ke dalam dapur dan mondar-mandir di sana. Selena sudah tidak mendengar bunyi dobrakan dari luar lagi dan semakin berharap cemas apakah Ian bisa menyelamatkannya.
Selena tidak melihat siluet Warren lagi dan mulai berpikir dimana dia berada. Apakah lelaki itu sudah pergi ?
Terdengar bunyi pintu menutup dan Selena menghela napas lega. Sepertinya Warren meninggalkan dapur itu. Pelan-pelan, Selena membuka pintu kabinet tanpa bersuara. Ia melongokkan kepalanya keluar dan memandang ke arah pintu yang menutup. Jantungnya masih berdegup kencang.
Ia memandang sekeliling dan tidak melihat Warren sama sekali. Selena langsung menghela napas lega dan mengusap keningnya yang berkeringat.
Sshhh.... ssshhh... ssshhh...
Suara napas seseorang berada tepat di belakang Selena hingga membuat gadis itu terdiam. Ia mulai mencelos ketakutan. Gadis itu tidak berani menoleh ke belakang dan memejamkan mata selama sedetik.
Selena langsung melompat keluar dari kabinet menjauhi suara napas itu. Ia terjatuh seketika karena ada yang menarik kakinya dari belakang. Gadis itu kembali menjerit dan Selena akhirnya melihat Warren menggenggam kakinya dengan tangan yang berwarna hitam seperti tangan yang dijumpainya di lembah misterius itu. Wajahnya pun pucat mengerikan dan tidak terlihat tampan lagi.
Warren kembali mengacungkan pisaunya ke arah Selena yang tergeletak di lantai. Selena menjerit dan mengelak hingga pisau itu menancap di lantai kayu. Warren mencabut pisaunya dan kembali mengayunkannya ke arah Selena.
DUAAK !
Sebuah tendangan mendarat di bahu Warren hingga lelaki itu terjungkang ke belakang. Ian menarik Selena berdiri dan menjauhi Warren yang kembali bangkit.
Warren menggeram dan menyerang Ian yang menahan tusukan pisau itu dengan tangannya. Ia nampaknya tidak peduli tangannya berdarah sama sekali dan memberikan tatapan benci serta amarah ke arah Warren.
Warren yang dari tadi menggeram seperti seekor serigala pun membalas tatapan Ian. Tidak berapa lama, geramannya berkurang dan secara tiba-tiba Warren terjatuh pingsan tanpa sebab apapun.
Selena masih memelototi semua kejadian itu dengan terkejut. Ia tidak melepaskan pandangannya dari Warren yang tergeletak tak bergerak sama sekali.
“A... apa yang kau lakukan... padanya...?” tanya Selena dengan suara yang terdengar seperti berbisik. Ian tidak menoleh sama sekali dan masih memfokuskan tatapannya pada Warren.
“Tidak ada. Dia pingsan sendiri. Mungkin kelelahan.” jawabnya singkat.
Pandangan Selena beralih ke tangan Ian yang berdarah. Ia langsung membelalak.
“Ian ! Tanganmu berdarah !!!” paniknya. Ian hanya mengibaskan tangannya seakan itu bukan masalah yang besar padahal raut wajahnya menunjukkan kemarahan yang cukup menakutkan.
Selena tidak tahu apa yang menyebabkan pria itu marah seperti itu. Bahkan saat Ian menahan pisau yang dihujam oleh Warren, tangan itu meremas pisau sekuat tenaga hingga tusukannya lebih dalam.
Selena hanya diam memperhatikan Ian dan Warren dengan tatapan cemas. Ian masih mengepalkan tangannya seakan berusaha menahan amarahnya dan Selena semakin bingung akan hal itu.
“ISABELLE !!!” teriak Ian tiba-tiba hingga mengagetkan Selena. Baru kali ini Selena melihat pria itu murka seperti itu.
Tidak berapa lama, Isabelle datang tergopoh-gopoh ke arah mereka dan menunduk ke arah Ian. Selena semakin heran dengan hal ini. Ada yang tidak beres saat melihat ekspresi Isabelle terhadap Ian.
“Y... ya tuan ?” Isabelle tidak berani menatap Ian sama sekali hingga membuat Selena semakin mengernyit.
Ian tidak berkata apa-apa dan hanya menunjuk ke arah Warren hingga Isabelle memperhatikan sosok yang tergeletak di lantai dengan keadaan berantakan dimana-mana. Pecahan kaca berserakan dan pintu dapur yang hancur berlubang-lubang.
“Astaga... ada apa ini...?” Isabelle membelalak sambil berjalan memperhatikan sekelilingnya.
“Dia 'kerasukan' dan ini semua ulahnya. Bawa dia ke kamarnya dan bersihkan semua kekacauan ini.” kata Ian dengan nada memerintah yang semakin membuat Selena penasaran.
“Ba... baik, tuan...” Isabelle menunduk kembali dan segera menghampiri Warren. Ia berusaha menyeret Warren hingga Selena iba melihatnya. Gadis itu menawarkan bantuan padanya.
“Tidak, tidak apa-apa nona. Saya bisa melakukannya sendiri.” jawab Isabelle tanpa memandang Selena sama sekali dan masih berusaha menarik Warren.
“Ayo, Selena. Kita ke atas. Aku perlu membersihkan lukaku dan perlu bantuanmu.” ajak Ian tanpa memandangnya juga dan ia langsung berjalan meninggalkan tempat itu.
Selena terlihat ragu dan ia akhirnya mengikuti Ian ke ruang bersantai. Ada banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya dan ia sama sekali tidak berani menanyai Ian yang masih dalam keadaan marah. Mungkin lebih baik jika ia menunggu sampai kemarahan Ian mereda.
Ian mengambil kotak obat dan menyerahkannya pada Selena. Gadis itu membukanya dan membantunya membersihkan semua darah yang masih menetes-netes dari tadi. Sebuah guratan panjang yang memerah membuat Selena bergidik membayangkan seberapa dalamnya tusukan tadi.
Gadis itu selesai membantu membalut tangan Ian dan mencuri pandang ke arahnya. Ian masih diam saja dan membiarkan Selena menyelesaikan pekerjaannya.
“Apa... kau marah tadi ? Ekspresimu seram.” kata Selena akhirnya memecah keheningan karena penghuni lainnya telah berada di kamar masing-masing.
Ian tidak berkata apa-apa dan menghela napas pendek. Ia memejamkan mata beberapa saat sebelum akhirnya membuka mulutnya.
“Tentu saja aku marah. Dia menyerangmu membabi-buta seperti itu. Entah apa yang dipikirkannya...” jawab Ian memandang ke arah lain. Selena tertegun mendengarnya.
“Terima kasih kau mengkhawatirkanku... aku benar-benar bersyukur karena waktu itu kau yang menyadari aku sedang dalam bahaya...” senyum Selena. Ian memandangnya dan menyunggingkan senyum tipis.
“Apa kau merasa kalau tindakan Warren tadi aneh ?” Selena mengernyit ke arahnya dan merasa ini sudah waktunya membahas hal penting karena suasana hati Ian sepertinya telah membaik.
“Ya... dia seperti kerasukan... matanya tidak fokus saat itu.” kata Ian menopang dagunya dan terlihat berpikir.
“Apa kau melihat sesuatu yang aneh padanya tadi ?” Ian memandang gadis itu tiba-tiba. Selena berusaha mengingat-ingat.
“Dia... ah ! Tangannya ! Tangan yang menarik kakiku tadi berwarna hitam seperti terbakar ! Dan um... sejujurnya aku pernah melihat tangan itu...” Selena yang terlihat ragu untuk menceritakan hal itu pun merasa bahwa ia bisa mempercayai Ian.
Lelaki itu mengernyit mendengarnya, “Tangan hangus ? Dimana ?” tanyanya dengan rasa penasaran yang tidak bisa disembunyikan.
“Apa kau ingat aku pernah bercerita padamu tentang lembah misterius yang dulu kutemukan ?” Selena menatapnya serius. Ian mengangguk.
“Pada hari aku bertengkar dengan Grissham, aku pergi ke hutan untuk mempelajari pola jalannya yang berliku-liku. Aku kembali menemukan lubang itu dan mengintip ke sana hanya untuk melihat apakah sosok hitam yang kuceritakan padamu ada di sana lagi. Tapi, yang kulihat adalah sebuah tangan dari arah rawa-rawa yang berusaha naik ke dek kapal... aku tahu kau mungkin tidak akan percaya dengan hal ini... tapi, saat aku memeriksanya karena kupikir ada orang yang tenggelam di sana, tangan itu mencengkeram kakiku dan ternyata tidak ada orang di sana. Hanya sepotong tangan yang hidup ! Tangan itu bahkan hangus terbakar seperti tangan Warren tadi !” cerita Selena.
Ian terdiam dan tidak menertawakan cerita Selena sama sekali. Lelaki itu terlihat berpikir banyak dan Selena sampai harus menyentuh lengannya untuk membuyarkan lamunannya.
“Kau mendengarku ?” heran Selena.
“Ah, ya... aku hanya sedang berpikir tangan itu cukup misterius juga...” jawab Ian. Selena mengangguk kecil sebelum tiba-tiba ia teringat akan suatu hal.
“Oh, ya... apa aku boleh bertanya satu hal padamu ?” tanya Selena. Ian mengernyit dan mengangguk.
Selena mendekatkan diri pada Ian dan berbicara sepelan mungkin. Ia takut ada yang mencuri-dengar pembicaraan mereka.
“Apa... jangan-jangan kau adalah panitia The Gamers ?” bisiknya.
Pertanyaan ini sudah muncul sejak Selena melihat Isabelle begitu takut dengan Ian. Ia penasaran sekali karena tidak pernah melihat satu orang panitia pun dalam acara besar seperti itu.
Ian mengerjap-kerjap beberapa kali dan ia melongo mendengarnya.
“Bicara apa kau ? Bagaimana mungkin aku panitia The Gamers ???” Ian mendengus hendak tertawa hingga membuat Selena tertegun.
“Soalnya... Isabelle terlihat takut padamu. Kau nampaknya punya peran penting di pulau ini hingga Isabelle bahkan tidak berani memandangmu sama sekali. Aku melihat gerak-geriknya dari tadi.” Selena menebak dengan ekspresi yang sangat serius. Ian malah membelalak ke arahnya.
“Tentu saja dia takut kalau dibentak, Sel. Dia juga manusia biasa. Dan karena suasana panik seperti tadi, tentu saja dia ketakutan. Apalagi waktu itu aku sedang marah jadi itu hal yang wajar jika wanita ketakutan... kau juga takut 'kan waktu itu ?” jawab Ian dengan santai.
“Aku 'kan berbeda. Aku takut karena waktu itu Warren mengejarku. Sedangkan Isabelle ketakutan melihatmu ! Dia bahkan tidak berani melihat wajahmu dan terus menerus menunduk.” Selena membelalak ke arahnya.
“Karena aku yang marah jadi wajar saja dia tidak berani memandangku sama sekali. Pokoknya pertanyaanmu itu tidak masuk akal sama sekali.” Ian menggeleng-geleng tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Selena hanya menghela napas kecewa karena dugaannya salah. Nampaknya Ian memang tidak berkaitan dengan panitia The Gamers melihat gayanya yang cuek seperti itu.
“Jadi, bagaimana menurutmu tentang tangan itu ?” Selena akhirnya mengubah topiknya kembali. Ian kembali terdiam dan berpikir.
“Entahlah... sulit mengatakan tangan itu hanya halusinasi karena aku juga melihatnya...” gumam Ian.
Mereka berdua terdiam dan tidak berapa lama Selena memutuskan lebih baik ia kembali ke kamarnya karena baru dirasakan olehnya seluruh tubuhnya letih sekali. Ia meninggalkan Ian yang masih ingin bersantai di kursi goyang ruang bersantai.