“70 tahun yang lalu ?” kernyit pastur Jeremy. Selena mengangguk kembali.
“Aku tidak ingat kapan kejadian itu berlangsung, nak. Tapi, jika menurutmu 70 tahun yang lalu ada kejadian yang menghebohkan, mungkin saja itu adalah kejadian pembunuhan besar-besaran di mansion yang kalian tempati itu.” pastur Jeremy berusaha mengingat-ingat. Mata Selena membesar dan ia cukup terkejut mendengarnya.
“Pe... pembunuhan besar-besaran ?” kagetnya. Pastur Jeremy mengangguk.
“Rolland Tramonde sebagai penganut aliran setan menjadikan para peserta The Gamers sebagai tumbal untuk ritual gelapnya dan setan yang dipujanya itu memberinya kekayaan yang berlimpah sebagai ganti tumbal yang diberikan. Karena itulah sebenarnya aku tidak setuju permainan ini diadakan. Jika kau ingin mendengar saranku, nak... carilah cara untuk pergi dari pulau ini. Memang sudah lama tidak ada pembunuhan yang terjadi lagi, tapi kita tidak akan tahu apa yang direncanakan oleh Rolland Tramonde pada setiap permainan yang dilakukannya.” pastur Jeremy terlihat cemas.
“Apa dia ada di pulau ini juga ?” tanya Selena dengan takut-takut.
“Sayangnya aku tidak tahu dia ada dimana, nak. Sudah lama aku tidak keluar dari tempat ini dan terakhir kali aku mendengar beritanya hanyalah saat ia mengadakan permainan The Gamers. Setelah itu aku tidak tahu apa-apa lagi.” jawab pastur Jeremy.
“Kalau begitu, apa anda mengenal Isabelle ?” Selena terlihat berminat sekali mendengar hal ini.
“Tentu saja aku mengenalnya, Selena. Dialah yang rajin mengantarkan bahan-bahan makanan ke sini karena aku tidak keluar dari tempat ini sama sekali. Dia banyak menyumbang untuk gereja ini.” jawab pastur Jeremy.
“Oh, kalau begitu bisa saja dia yang membuang papan penutup jalan itu bukan ?” celetuk Selena. Pastur Jeremy menggeleng.
“Itu tidak mungkin, nak. Isabelle tidak bisa melanggar perintah dari Rolland Tramonde sama sekali. Dia wanita yang malang...” raut wajah pastur Jeremy terlihat sangat sedih.
“Apa yang terjadi padanya ? Kenapa dia tidak bisa melanggar perintah ?” rasa penasaran Selena kembali terbangkitkan. Pastur Jeremy tersenyum padanya.
“Sayang sekali aku tidak bisa memberitahukan hal itu padamu, nak. Aku telah berjanji pada Isabelle untuk tidak mengatakan apapun tentang dirinya.” jawab pastur Jeremy dan Selena tahu ia tidak bisa memaksa pastur Jeremy untuk mengatakannya. Ia hanya bisa mengangguk pelan.
“Ini hampir sore nak. Kau harus kembali secepatnya. Jika malam, kau akan sulit keluar dari hutan-hutan ini.” saran pastur Jeremy. Selena tersenyum.
“Tidak masalah, Bapa. Saya telah membuat peta hutan ini hingga saya bisa pulang ke mansion dengan mudah.” jawab Selena. Pastur Jeremy langsung menggeleng pelan.
“Tidak nak. Petamu tidak akan berguna di pulau ini saat malam hari. Kau akan kebingungan dengan keanehan jalan-jalan setapak di pulau. Dulu aku sering keluar dari tempat ini dan suatu hari aku terlambat pulang karena hujan lebat. Aku tahu semua jalan di pulau ini karena aku tinggal lebih lama di sini. Tapi, anehnya semua jalan itu berubah arah setiap malam ! Aku tersesat dan hanya bisa tidur di bawah pohon hingga keesokan paginya. Begitu pagi menjelang, semua jalan menjadi normal kembali dan aku bisa pulang.” cerita beliau. Selena tiba-tiba teringat akan malamnya di hutan dan benar-benar bersyukur dia bisa pulang dengan selamat. Ia akhirnya mengerti kenapa Thomas mengatakan ia terus berputar-putar di tempat yang sama dan kenapa semua penanda jalannya menghilang.
“Baiklah, Bapa. Saya akan kembali lagi besok. Selamat sore.” Selena beranjak dari duduknya.
“Selamat sore nak. Semoga Tuhan memberkatimu.” pastur Jeremy ikut berdiri dan mengantarkan Selena keluar gereja.
Gadis itu keluar dari terowongan dan memandang berkeliling. Tidak ada papan yang diceritakan oleh pastur Jeremy tadi dan Selena yakin bahwa ada yang memindahkan papan itu jika memang ada. Ia mulai berjalan cepat keluar dari hutan sebelum matahari tenggelam dan untungnya ia masih bisa pulang ke mansion dengan selamat.
Selena masuk ke dalam mansion dan memandang berkeliling. Seperti biasa, aula itu selalu sepi dan gelap. Gadis itu sampai bertanya-tanya dalam hati untuk apa lampu hias besar di langit-langit aula jika tidak pernah dihidupkan.
Selama seminggu di sana, ia sudah terbiasa dengan kegelapan rumah itu dan tidak separanoid saat ia pertama kali datang. Gadis itu langsung berjalan ke dapur sebelum menaiki tangga. Ia malas jika harus bolak-balik hanya untuk mengambil makan malam.
Selena terkejut saat melihat ada sosok gelap di ruang makan. Sosok itu duduk tegak tanpa menyalakan lampu sedikitpun dan tidak menoleh saat Selena masuk hingga membuat gadis itu mengernyit berusaha melihat siapa yang duduk di sana. Ia menekan sakelar lampu dan melihat Warren duduk sambil menusuk-nusuk makanannya dengan tatapan tegang.
“Kau mengagetkanku saja... kenapa tidak menghidupkan lampu ?” Selena menghela napas lega dan ia langsung berjalan mengambil piring untuk mengisinya.
Warren tidak menjawab dan masih tetap menusuk-nusuk dagingnya. Selena menoleh ke arahnya sesaat dan kembali mengisi piringnya. Dipikirnya Warren tidak berniat bicara dengannya dan itu sudah biasa bagi Selena. Lelaki itu memang terlalu sombong untuk bicara.
Tak...Tak...Tak...TAK...! TAK...! TAK...!
Bunyi tusukan Warren semakin keras hingga membuat Selena bergidik merinding mendengarnya. Gadis itu menoleh lagi ke arahnya dan memandang daging yang ditusuk Warren. Daging itu sudah tidak berbentuk lagi dan bahkan ia tidak menyadari bahwa yang ditusuknya sekarang adalah piringnya sendiri. Pantas saja suaranya menjadi sangat besar. Dagingnya pun berserakan di luar piring makannya hingga Selena mengernyit.
“Warren ? Kau baik-baik saja ?” tanya Selena memandangnya penasaran.
Warren masih tidak menjawab dan memandang kosong ke depan. Tangannya masih saja menusuk-nusuk piringnya sendiri hingga membuat Selena yakin ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi padanya.
Selena berjalan ke arahnya dan melambaikan tangannya di depan Warren untuk melihatnya berkedip atau tidak. Lelaki itu diam saja dan tidak berkedip sama sekali.
TAK !
Warren menusuk keras piringnya sekali dan tangannya langsung berhenti seketika. Selena mengamati wajahnya karena merasa ada yang aneh dengannya. Ia terkejut saat melihat mata Warren berubah putih semua tanpa ada pupil sama sekali !
Selena terhenyak mundur dan yakin sekali kalau Warren memang tidak baik-baik saja. Ia meneguk ludah karena khawatir dengannya.
Secara mendadak, Warren tiba-tiba melempar garpunya ke arah Selena yang terkejut. Pipinya tergores karena ia hanya sempat mengelak sedikit. Garpu itu langsung menancap di dinding. Selena membelalak ke arah garpu itu dan menyadari bahwa tenaga yang dikeluarkan Warren tidak main-main hingga bisa menancap di tembok.
“Warren !!! Apa yang kau lakukan ???” Selena langsung berbalik memandang Warren yang masih tidak menjawab dan malah mengambil sendok makannya.
Ia kembali melempari Selena hingga gadis itu harus menghindar lagi. Sendok itu melenting ke dinding di belakangnya. Warren mengambil piringnya yang masih kotor dengan bekas daging hancurnya dan melemparnya seperti sebuah frisbee ke arah Selena yang langsung menunduk.
PRANG !!!
Piring itu langsung hancur berantakan menabrak dinding sementara Selena memekik ketakutan. Ia langsung berlari ke arah pintu dan berusaha untuk keluar dari sana. Anehnya, pintu itu seperti terkunci dan Selena masih berusaha membukanya. Ia bisa saja mematahkan kenop pintu itu karena panik.
Warren sekarang mengambil pisau makannya dan Selena semakin meneguk ludah. Nampaknya pria itu ingin membunuhnya. Warren menggenggam pisau itu seperti akan menusuknya dan ia berdiri dari kursinya secara mendadak. Selena panik sekarang karena Warren mulai berjalan ke arahnya.
Selena langsung berlari memutari meja makan untuk menghindari Warren dan ia berniat ke arah dapur yang ada di belakang Warren. Di dapur ia bisa mengunci pintunya hingga lebih aman dari serangan membabi-butanya Warren.
Mereka sekarang berputar-putar di sekitar meja makan karena Selena sengaja membuatnya menjauhi pintu dapur. Gadis itu melirik pintu dapur beberapa kali dan ia sudah bersiap akan lari ke sana.
Selena langsung berlari ke arah dapur dan Warren secara tiba-tiba melompat ke atas meja. Ia berlari di atas meja hingga membuat Selena menjerit panik. Lelaki itu mengejarnya dengan kecepatan yang mengerikan hingga membuat gadis itu semakin ketakutan.
BLAM !
Selena langsung membanting pintu dapur dan menguncinya secepat mungkin. Tepat pada saat itu, Warren menabrak pintu dapur hingga menimbulkan bunyi yang cukup kuat. Selena menjerit kembali dan memandang sekelilingnya berusaha mencari jalan keluar untuk menghindari Warren yang nampaknya terus menggedor pintu itu dengan brutal.
Tak...! Tak...! Tak...! TAK !
Ujung pisau yang dipegang oleh Warren menembus pintu kayu itu hingga membuat Selena semakin menjerit. Ia menoleh ke arah jendela yang ada di dapur dan mengambil kursi dapur.
PRANG !
Gadis itu memecahkan jendela dapur dan ia berniat untuk kabur dari sana karena Warren berhasil membuat pintu dapur berlubang-lubang.
Saat ia akan memanjat jendela itu, kepala Ian tiba-tiba melongok dari jendela di atasnya. Ia nampak terkejut melihat Selena yang sedang berusaha keluar dari sana dan ekspresi gadis itu ketakutan luar biasa.
“Selena ! Apa yang kau lakukan di sana ???” kaget Ian. Selena langsung menengadah ke atas dan menyadari kehadiran Ian.
“Ian ! Tolong aku ! Warren tidak waras ! Dia berusaha membunuhku dengan pisau makan ! Sekarang dia berusaha membuka pintu dapur !!!” teriak Selena secepatnya. Ian terkejut mendengarnya.
“Tunggu di sana sebentar ! Aku segera turun !” Ian langsung kembali ke dalam dan Selena kembali merasakan adanya pertolongan. Ia mencari tempat untuk bersembunyi selama menunggu Ian.
Gadis itu membuka salah satu kabinet dan bersembunyi di dalamnya dengan gemetar. Baru kali ini ia merasa sangat ketakutan. Ia masih bisa mendengar usaha Warren menusuk pintu dapur.
BRAK ! BRAK !
Terdengar suara dobrakan dan terasa cukup jauh hingga Selena menajamkan pendengarannya. Ia menebak pastilah Ian sedang berusaha mendobrak pintu ruang makan yang terkunci tadi.
Sementara itu, bunyi tusukan pada pintu dapur semakin cepat dan Selena terus berdoa dalam hati agar Ian segera menyelamatkannya.