BB. 6

2233 Kata
Waktu sudah menunjukkan jam pulang kerja, untung saja antara Renata dan Ghea tidak lembur jadi mereka bisa pulang bareng. Mereka berjalan dengan sesekali berbincang hingga menuju parkiran mobil. Lagu terputar Marcel - takkan terganti. "Meski waktu datang dan berlalu sampai kau tiada bertahan, semua takkan mampu mengubah ku hanyalah kau yang ada di relungku..." Mereka kompak bernyanyi di saat bagian reff, membuat mereka juga tertawa pelan ketika menatap satu sama lain. "Gila nih lagu dari dulu favorite banget," ujar Ghea, sedangkan wanita yang duduk di kursi samping hanya mengiyakan dengan mengangguk. "Eh iya Ren lu tadi kenapa di panggil pak Gio." Ghea membuka pembicaraan, ia penasaran atas kejadian di kantor tadi, Renata yang menengok ke arah nya langsung menaikkan kedua alisnya. "Wah kepo ya lu," ungkap Renata, Ghea langsung menatap sengit ke arah sang sahabat yang kini jelas tertawa. "Haha." Ghea berkata, "Gue kan serius nanya." Raut wajahnya cemberut, ia masih fokua untuk menyetir. "Jangan serius-serius, kemaren aja lu di tinggal nikah kan." Renata kembali tertawa meledek, membuat Ghea sedikit mencubit pelan sahabatnya. Ghea memasang muka garang dan mencetus, "Jangan buka aib dah, itukan masa lalu." Renata langsung menghentikan ketawanya. Ia menghembuskan nafas secara perlahan lalu berkata, "Besok gue di suruh nemenin anak bos keliling perusahaan." Ghea mengrem mendadak, membuat kepala Renata sedikit terbentur dashboard. "Aww Ghea! Kenapa si rem mendadak!" Untung saja mereka sudah memasuki jalanan yang sepi, jadi tidak ada kecelakaan atas rem mendadaknya Ghea. Renata mengusap keningnya yang sedikit sakit. "Kenapa si Ghe?" tanya Renaya dengan tatapan heran. Ghea menoleh ke arah sang sahabat dengan tatapan horor. Lalu ia bertanya, "Serius anak bos mau ke perusahaan?"  Sedangkan Renata hanya merespon dengan anggukan saja. Ghea kini kembali menatap lekat ke arah sang sahabat, Renata sedikit mengerutkan kening nya ketika mendapat tatapan seperti itu. Mata yang berbinar dari sang sahabat malah membuat ia sedikit ketakutan. "Lu gak kesurupan kan Ghe?" tanya Renata dengan ragi, Ghea tertawa lepas, membuatnya semakin ketakutan. "Haha kaga lah Renaaa, gue kaget aja anak boss mau ke perusahaan, secara ya kan dia terkenal ganteng banget, selebgram juga, ah model banget dah dia, idaman banget," jelas Ghea memuji, sedangkan Renata hanya menatap jengah ke arah Ghea ia bahkan tidak tertarik soal anak atasannya tersebut. Renata berbisik, "Gimana kalau lu tahu pak Gio bahkan nyuruh gue jadi menantunya." Ghea yang samar mendengar ucapan Renata yang bisik-bisik mengernyitkan dahi bertanya-tanya. "Hah? Apaan Ren?" tanya Ghea. Renata langsung menoleh dan berkata, "Hah apa? Enggak." "Perasaan tadi lu bisik-bisik." Ghea menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Udah jalan, mau berhenti tengah jalan terus nih," ujar Renata, Ghea hanya menyengir lalu melajukan kembali mobilnya. Setelah 20 menit di perjalanan, mengganti dengan beberapa lagu. Mereka telah sampai di kontrakan dan pas banget adzan magrib berkumandang "Alhamdulillah," ucap mereka bersyukur karena telah sampai di rumah dengan selamat. Mereka berdua memasuki kontrakan sederhana tersebut. "Ghe kata nya mau ngomong," ucap Renata, sedangkan Ghea langsung menatap dan mengerutkan keningnya. "Ngomong apaan?" Ghea menatap bingung sambil menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, Renata hanya menepuk jidatnya, apakah sudah sepikun itu sang sahabatnya. "Astaga, yang di kantin kantor Ghe! Lu masih muda lupaan mulu," cetus Renata. Ghea kembali terdiam dan berfikir, beberapa detik kemudian ia ber Oh ria seakan sudah ingat dengan apa yang ia janjikan untuk berbicara di rumah saja. Ghea menyengir dan berkata, "Mandi dulu dah. Enggak betah gue." Tanpa pikir panjang ia lalu menuju kamar untuk mengambil handuk, dan meninggalkan Renata yang terbengong karena sikap sahabatnya. "Ya Allah untung temen." Sebenarnya Renata ingin sekali mengumpat kasar, namun ia memaklumi loading sahabatnya yang terkadang tersumbat. Renata bergumam, "Maafin anteu ya nak, emang dia ngeseliin bikin mama esmosi." Wanitabtersebut langsung menarik nafasnya dan menghembuskannya secara perlahan. Ghea keluar dengan membawa handuk di bahu kanannya,, ia tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya ke arah sang sahabat. "Yeuh gila dasar," ujar Renata. "Eh inget ponakan gue!" seru Ghea, Renata langsung mengelus perutnya perlahan yang membuat Ghea kini tertawa. Tanpa pikir panjang Renata kini bergegas ke kamar untuk menaruh tasnya dan berbaring sebentar. Sedangkan di sisi lain Ghea belum melakukan aktifitas mandinya, ia sudah berada di kamar mandi namun masih mondar-mandir saja. "Gue bilang gak ya." "Tapi, nanti kalo dia marah gimana?" "Bilang aja deh ah, au ah mandi dulu aja gue," gumam Ghea yang akhirnya melakukan aktifitas mandinya. Renata bergegas ke kamar mandi dengan mencantolkan handuk di bahunya. "Ghe! Gece mandinya, gue gerah," ucap Renata sedikit lantang sambil menggedor-gedor pintu kamar mandi. Ghea membuka pintu kamsr mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. "Apaan si Ren, teriak-teriak mulu lu," ujar Ghea. "Lu lama abisnya, udah awas. Gue mau mandi," ungkap Renata sambil sedikit mendorong Ghea keluar dari kamar mandi. Ghea hanya melongo melihat perlakuan sahabatnya. Ghea berkata, "Bumil kelakuan kaya preman." Ia lalu menggelengkan kepalanya perlahan. Renata kini telah bersih, dan wangi ia memakai kaos oversize dan celana pendek, ia lalu keluar untuk ke bale depan. Tenang, dan tentram, tenang saja Renata sudah melaksanakan sholat magrib. "Enak ya kalau tinggal di perkampungan gini, udaranya masih sejuk." Renata lalu menghirup udara malam yang benar-benar menenangkan. Tak lama ia duduk, Ghea datang dengan membawa makanan yang telah ia beli. Renata bertanya, "Lu darimana?" Wanita tersebut lalu melirik ke arah plastik hitam yang di tenteng oleh Ghea. "Abis beli makanan, gue tahu lu laper, dan gue lagi mager banget masak, belum belanja juga si," jelas Ghea. Ia lalu duduk dan menaruh makanan yang ia beli di hadapan Renata. Renata dengan antusiasnya membuka makanan tersebut yang ternyata nasi goreng seafood, matanya membinar, raut wajahnya tersenyum melihat makanan yang begitu menggiurkan. "Ahhh makasih ante, kok lu tahu si gur mau nasi goreng?" tanya Renata. "Gue kan sahabat dan ante yang pengertian." Renata habya bermenye-menye karena mendengar ucapan pede dari sang sahabat, tanpa pikir panjang ia langsung menikmati nasi goreng tersebut. Duduk di bale di bawah pohon rindang, udara yang sejuk, di temani nasi goreng yang menggugah selera dan es teh poci yang segar, nikmat mana lagi yang di dustai oleh dua wanita tersebut. "Ren." Renata hanya menyahut dengan deheman, sedangkan kini raut muka Ghea sudah panas dingin seperti menahan buang air kecil, Renata menoleh ketika sang sahabat tidak kunjung berbicara lagi. "Lu kenapa? Gak bisa boker?" tanya Renata ketika melihat raut wajah Ghea sedikit pucat. Ghea terdiam sejenak lalu berkata, "Ren lu jangan marah ya." Renata jelas bingung kenapa ia harus marah, emang apa yang di perbuat Ghea. "Kenapa si? Jangan bikin penasaran deh." Renata menatap lekat ke arah sang sahabat, seolah mencari apa yang mau di bicarakan. Ghea berkata, "Kemaren bokap lu telepon gue." Kini perkataan Ghea berhasil membuat Renata terdiam bahkan tidak berkutik , sedikit sesak di d**a atas kejadian beberapa minggu lalu, namun ia menyadari kalau itu juga salah dia. "Ren ko diam, lu marah ya." Ghea menatap Renata dengan sendut, wanita tersebut benar-benar terdiam seolah tidak mau mendengarkan apa yang di katakan oleh sang sahabat. Ghea bergumam, "Tuhkan gue bilang apa jangan bilang Ghea, bandel banget si ini bibir." Ia menampar pelan bibir nya seokah telah salah berucap. Renata masih terdiam bahkan ia meninggalkan Ghea begitu saja di bale. Ghea merapihkan bekas makan mereka, ia lalu termenung apa mungkin ia salah telah menyampaikan itu namun ia juga berfikir sahabatnya harus tahu. "Ya Allah kenapa jadi serba salah begini, Ghea." Ia sedikit mengacak rambutnya. Waktu sudah semakin larut, Ghea bergegas masuk. Ia langsung menuju kamar, ia melihat jelas sosok Renata yang tidur di kasurnya namun dengan suara isakan tangis. "Ren, gue minta maaf," ucap Ghea tulus. Sungguh ia tidak bermaksud membuat sang sahabat bersedih. Namun nihil tidak ada jawaban dari sang sahabat. Renata masih menangis dalam diamnya, walau suara isakan tangisnya dapat di dengar sang sahabat. Jujur dari dalam hatinya, ia rindu oleh sosok papahnya namun ia terlalu gengsi untuk mengakuinya, terlebih setelah kejadian yang lalu. Mereka berdua terlelap masing-masing, dengan perasaan bersalah dan rindu. Pagi hari, Seperti biasa Ghea bangun terlebih dahulu untuk menyiapkan sahabatnya ya terlebih untuk meminta maaf atas kejadian semalam. Renata terbangun dan melihat di kasur sebelah sudah tidak ada sang sahabat, ia bergegas keluar sambil mengucek matanya perlahan. "Pagi Ren," sapa Ghea dengan canggung. Renata membalas, "Pagi Ghe, hari ini masak apa?" Ghea tersenyum tipis lalu berkata, "Gue cuman siapin sandwich." Renata lalu mendekat dan menarik bangku. Ada jeda keheningan di antara mereka, Ghea menatap lekat ke arah sang sahabat yang dengan lahap memalan sandwich buatanya. "Ren, soal semalem–" "Lupain aja, gue semalem cuman shock aja dan butuh sendiri. Maaf juga udah ninggalin, lagi pula lu gak perlu minta maaf kok," jelas Renata sambil tersenyum tipis. Ghea tersenyum tipis mendengarnya. "Gak enak Ren di diemin sama lu padahal cuman semalem," ungkap Ghea. Renata menjawab, "Iyakan sekarang enggak di diemin." Mereka lalu tertawa bersama, entah kenapa sesingkat itu mood Renata kembali. Untuk kejadian semalam, Renata memang butuh sendiri. "Gue cuman kaget aja, kenapa bokap gue malah telepon lu padahal ada nomor gue, padahal gue anaknya," ucap Renata dengan getir. Ghea menyahut, "Bokap lu terlalu gengsi, dia kangen sama lu cuman dia gengsi." Renata tersenyum tipis nan kecut. Setelah obrolan singkat dan sarapan, mereka bergantian untuk mandi dan berdandan. Yaps, maklum saja kamar mandi hanya ada satu namanya juga kontrakan sederhana. Renata kini telah berdandan cantik, namun natural bukan untuk terlihat sok cantik apalagi menggoda, pikiran itu jauh dari seorang Renata, dengan mengoleskan lip balm di bibir tipisnya, dan membentuk senyum yang terpantul di cermin perfect!  Itu yang pantas di lontarkan saat melihat wanita tersebut. Seperti biasa Ghea menunggu di depan, ia sudah berulang kali melirik ke arah jam di tangannya. "Ren ayuk udah siang nih," ucap Ghea. Renata yang mendengar langsung buru-buru keluar dari kamar sebelum si semprot oleh ocehan sang sahabat. Seperti kemarin, Ghea kembali di buat takjub dengan tampilan Renata sahabatnya ia benar-benar cantik tidak ada celah. "Kalau di pikir-pikir..." Renata menimbrung, "Kalau di pikir-pikir lu enggak punya pikiran." Ia lalu tertawa yang membuat sang sahabat menatap jengkel. "Siyalan lu. Baru mau gue puji. Enggak jadi dah," cetua Ghea. Renata menyahut, "Enggak butuh pujian butuhnya duit." Ghea mengerutkan keningnya lalu tertawa mendengar perkataan sahabatnya. "Eh tapi benar lu sejak hamil makin cantik aja, kayanya anak lu cowok deh." "Sok tahu lu kaya cenayang," cetus Renata lalu tertawa setelahnya. "Yaudah kita berangkat enggak nih? Malah ngobrol," lanjut Renata. Ghea menjawab, "Lah hayuk." Mereka berdua lalu melangkahkan kaki menuju mobil. "Awww." Perut Renata tiba-tiba merasa kram. "Ren kenapa? Lu kenapa?" Ghea benar-benae khawatir, mimik wajah Renata seolah merasakan bahwa ia sedang benar-benar kesakitan. Renata berkata, "Perut gue kram kaya ya, sakit banget Ghe." Air mata mulai keluar dari sudut mata Renata. Tanpa pikir panjang Ghea langsung membantu sang sahabat duduk di sofa. "Ghe mending lu kerja aja deh, gue enggak papa." Renata tak ingin menyusahkan Ghea kembali, apalagi sampai sahabatnya harus membolos kerja demi dirinya. "Tapi lu gimana?" tanya Ghea, Renata mengelus perutnya dengan lembut, seolah meminta pengertian dari sang bayi. "Gue gak papa, nanti gue telpon pak bondan kalau gue gak bisa hadir." Renata tersenyum tulus, Ghea kembali mengambil tas yang ia letakan tadi. "Kalo ada apa-apa langsung telpon gue," ucap Ghea. Wanita tersebut hanya mengangguk seolah mengiyakan perkataan sahabat nya, Ghea melangkah keluar dengan senyuman dan wajah yang masih khawatir terhadap Renata. Ghea ingin sekali membolos kerja untuk menemani sang sahabat, namun Renata pasti akan marah dan menolak mentah-mentah untuk ditemani. Ghea melajukan mobil dengan perasaan gelisah san kepikiran oleh Renata. "Kenapa nak? Ini mama gak kerja ko, mama istirahat, udah yam" Seolah berdialog dengan sang bayi, Renata bergumam sambil mengelus perutnya , senyum yang terus mengembang di wajahnya. "Gue nelpon pak bondan dulu deh," Gumamnya, ia mengambil handphone dan menelpon nomor yang akan ia tuju. "Halo pak , selamat pagi," ucap Renata. "Pagi juga." "Pak saya renata, mohon maaf hari ini enggak bisa masuk kerja perut saya kram tiba-tiba, dan sebenarnya hari ini saya ada jadwal untuk menemani anak pak Gio keliling perusahaan. Sampaikan maaf saya kepada pak Gio." Ia berjalan ke arah dapur secara perlahan untuk mengambil air minum. "Baik kalau gitu nanti akan saya sampaikan, dan semoga kamu cepat membaik." "Baik pak , terimakasih." Ia lalu mematikan telpon nya. Ia meminum segelas air putih biasa, niscaya banyak meminum air banyak akan meredamkan kram di perut. Renata memutuskan untuk tiduran di kamar. Mungkin memang dengan tiduran ia bisa meredamkan sakit di perutnya. Bolak-balik untuk mencari posisi nyaman, tak kunjung ia temukan namun dengan berbaring ke samping itu agak sedikit membuat nya nyaman dan sedikit tidak sakit, Kipas yang di nyalakan ia putarkan untuk tidak ke satu tujuan saja. Renata bergumam, "Kita istirahat yak anak baik." Ia kembali mengelus perutnya dengan perlahan dan lembut. "Semoga nanti sudah enakan." Tanpa sadar Renata kini tertidur lelap. Kini Renata sudah terbangun dari tidurnya, dan benar saja perutnya kini membaik, ia melihat ke arah jam dinding. "Beli belanjaan dulu deh buat masak, kali-kali gue yang masak," gumam Renata. Sebelum beranjak keluar tentu ia mengganti baju dulu, ia masih mengenakan baju kantor bahkan tertidur tadipun ia masih mengenakannya. Setelah beberapa menit kemudian, Renata keluar dengan senyuman manisnya. "Eh neng mau kemana?" tanya ibu-ibu. Renata menJawab, "Ini bu mau belanja." "Tumben kok siang belanjanya." "Iya bu tadi perut saya kram dan saya istirahat dulu," jelas Renata. "Ya Allah neng kalau ada apa-apa jangan sungkan buat minta bantuan sama ibu atau sama warga sini," jelas ibu-ibu. Renata tersenyum tipis lalu menjawab, "Iya bu makasih ya. Kalau gitu saya belanja dulu ya bu." Ibu-ibu tersebut mengangguk sambil tersenyum juga. "Nak kamu dengarkan? Warga di sini baik-baik sama mama," gumam Renata sambil mengelus perutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN