BB. 7

2081 Kata
Renata tepat sudah sebulan bekerja, seperti janjinya ia akan resign dari perusahaan sangat di sayangkan, namun ia harus memikirkan juga sang bayi yang di dalam kandungannya. Cuaca yang cerah seolah mendukung keputusannya untuk risegn, ia terus mengelus perutnya yang kini memasuki usia kehamilan 3 bulan. Senyum yang bahagia seolah menandakan ia sangat bahagia. Surat risegn yang ia genggam dengan bibir yang membentuk senyuman manisnya, ia masukkan kedalam tas nya. "Hari ini , hari terakhir kerja kamu harus bantu mama yak nak," gumam Renata, tak selang berapa lama Ghea mengetuk pintu kama untuk memastikan kalau sahabatnya telah siap untuk bekerja. Tok Tok "Ren udah belom?" tanya Ghea, seperti biasa selalu Ghea yang rapih duluan jika bepergian. Renata tersenyum singkat dan berkaya, "Iya Ghe udah. Sebentar." Tak lupa ia mengoleskan lip cream dengan warna nude ke bibir mungilnya, pancaran dirinya di cermin benar-benar terlihat sempurna. Ghea bertanya ketika wanita tersebut keluar dari kamar. "Lu yakin hari ini?" Renata hanya mengangguk lalu tersenyum keputusannya benar-benar bulat dan tepat, ia sudah yakini itu sejak semalem. "Udah deh Ghe, kan kita ketemu di rumah," ucap Renata sambil memegang pundak sang sahabat, raut wajah sedih jelas terpapar di Ghea. Ghea membalas, "Tapi sama aja kayanya bakal sepi nanti di kantor, enggak ada yang nemenin di kantin, enggak ada yang nemenin jalan pulang." Renata hanya mengernyitkan dahi lalu berkata, "Asli lebay banget lu. Gue kan di kontrakan lu jadi lu bisa ketemu gue setiap hari." Ghea hanya menghembuskan nafasnya dengan gusar, entahlah namun itu keputusan dari sang sahabat ia jelas harus menghargainya. "Ya udah yuk berangkat." Renata mengangguk dengan bahagia, mereka berdua lalu melangkah menuju mobil Kini Ghea melajukan mobilnya dengan kecepatan standar, sesekali ia melihat raut wajah sang sahabat yang benar-benar memancarkan kebahagiaan, tanpa sadar ia juga tersenyum. "Kenapa si Ren bahagia banget kayanya?" tanya Ghea. Renata menyahut, "Gak tahu bahagia aja gue rasanya." Ia mengelus perutnya yang belum terlalu kelihatan besarnya, yaps Renata juga perawakan badannya kecil. "Berapa bulan si?" tanya Ghea sambil melirik ke arah sang sahabat. Renata menjawab, "3 bulan." Dengan antusias. "Lu bahagia ya Ren?" tanya Ghea sekali lagi, Renata jelas langsung menatap sahabatnya dengan senyuman tulus seolah ia tahu bahwa sahabatnya khawatir akan dirinya. Renata menjawab, "Selama ada lu, gue bakal bahagia terus Ghe. Lu sahabat gue yang tahu soal ini, lu yang enggak ninggalin gue padahal kalau orang lain tahu pasti anggap ini aib." Raut wajah Renata sendu, ia mengelus perutnya sambil tersenyum getir. "Ren plis, jangan anggap aib. Selama ini lu wanita yang kuat selama gue kenal, lu bisa hadapin semuanya walau lu tahu resikonya, lu hebat, lu ibu yang hebat, gue yakin anak lu bangga," jelas Ghea. Renata tersentuh dengan perkataan dari sang sahabat, tanpa sadar ia menitihkan air mata di sudut matanya. "Ghe, makasih banyak ya. Gue yakin anak gue bangga punya ante sebaik lu," ungkap Renata. Tak lama kemudian mereka telah sampai di kantor, Ghea lalu memarkirkan mobilnya. Sapa'an demi sapa'an mereka berdua tanggapi, Renata bukanlah wanita yang sombong atau pelit untuk menyapa, walau karyawan biasa Renata memang sangat terkenal di perusahaan karena kerja kerasnya, tak jarang perusahaan memperkenalkan dengan bangga hasil kerja keras Renata yang terkadang bisa mengambil hati para investor dan pemegang saham. "Selamat bekerja Renaku," ucap Ghea sambil menaikkan kedua alisnya dan tersenyum centil, Renata hanya tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya. Renata berjalan ke arah meja kerjanya, baru saja ia singgah dan duduk di bangku kerjanya Mbak Yuna selaku seniornya bertanya, "Ren kamu bener mau risegn?" "Iya mbak, mau istirahat," ucap Renata, Mbak Yuna yang mendengar tertunduk lesu, Renata termasuk orang yang di sayangi untuk karyawan lainnya karena kebaikannya dan sopan terhadap siapapun. Selain cantik, atitudenya juga bagus itu kata mereka yang mengenal Renata. "Yah Ren, nanti enggak ada yang traktir aku lagi dong," ucap Mbak Yuna tertunduk lesu. Renata yang mendengar lalu tersenyum tipis. "Aku enggak bakal lupa ko traktir Mbak Yuna nanti, kan aku cuman risegn kita masih bisa ketemu kok," jelas Renata. Sela menyela, "Lagi Ren kenapa si mendadak banget?" "Mau istirahat Sel, capek nyari duit mulu," ujar Renata sambil tertawa pelan yang membuat mereka juga ikut tertawa. Kini Renata kembali berkutik untuk menyelesaikan pekerjaan nya, agar nanti kalo ia risegn orang yang menggantikan nya tak usah mengerjakan pekerjaan yang belum ia selesaikan. "Resiko mau keluar gini nih," gumam Renata sambil merentangkan tangannya karena pegal. Renata termasuk orang yang cekatan, dan cepat dalam menyelesaikan pekerjaannya. Sesekali wanita tersebut melirik jam di tangannya, perutnya sudah mulai berbunyi, sepertinya sang bayi juga ikut protes karena ingin segara makan. "Lima menit lagi, sabar ya sayang." Renata berbisik, seolah berbicara kepada sang bayi yang ada di perutnga. Ghea menghampiri sang sahabat dengan senyuman yang melebar. "Ren ayuk istirahat, gue laper nih," ucap Ghea ketika sudah sampai di hadapan sang sahabat. "Dikit lagi," ucap Renata. Ghea berkata, "Mau keluar masih aja rajin Ren, Ren." Ia menggelemgkan kepalanya ketika melihat sang sahabat masih berkutik dengan komputernya. Renata tidak menggubris ia masih sibuk dengan jari jemarinya yang menari di atas keyboard, Ghea kini hanya mendengus kesal karena di cuekin oleh Renata. Ghea lalu menarik paksa Renata. "Iya bentar lagi Ghe, tanggung," ujar Renata, namun Ghea terus menariknya mau tak mau wanita tersebut menerima ajakan sahabatnya, ia mengklik tombol save untuk menyimpan semua data-data yang hampir ia selesaikan. "Lu kalau enggak di paksa bakal terus duduk di depan komputer," cetus Ghea. Renata hanya tersenyum tipis. "Ayuk ayuk," ucap Renata, jelas Ghea tersenyum lebar sedangkan Renata hanya menggelengkan kepala ketika sang sahabat dengan antusias menarik lengannya. "Mbak yuna ayuk bareng," ucap Renata ketika melihat sang senior yang baru saja menyelesaikan pekerjaannya. "Eh iya Ren, ayuk," balas Mbak Yuna. Mereka bertiga kini menuju kantin perusahaan dengan bareng, memasuki area kantin mereka malah bingung memilih menu makanan yang akan di santap. Mbak Yuna berkata, "Makan apa ya yang enak." "Semua terlihat menggiurkan tapi perut tidak memungkinkan makan semua," cetus Ghea, Mbak Yuna tanpa sadar mengangguk seraya mengiyakan perkataan Ghea. Sedangkan Renata terdiam melihat kedai-kedai yang berada di hadapannya. Namun matanya tertuju oleh kedai bakso yang menggiurkan, ia sampai menelan ludah tanpa sadar. "Aku mau bakso deh, yang pedes banget," ujar Renata, sedangkan Mbak Yuna dan Ghea langsung menatap tak percaya pasalnya wanita tersebut bukan pecinta pedas, satu sendok saja sudah membuat ia banjir keringat. Ghea dan Mbak Yuna saling menatap satu sama lain. "Serius kamu Ren?" tanya Mbak Yuna, sedangkan wanita tersebut hanya mengangguk dengan antusis. "Enggak usah pedas lah, lu kan enggak biasa pedas," ujar Ghea, Renata langsung menatap cemberut ke arah sang sahabat, dengan mata puppy eyes seolah memohon namun Ghea menggelengkan kepalanya. "Sekali aja," ucap Renata. "Enggak!" seru Ghea. Mbak Yuna menimbrung, "Udah Ghe turutin aja. Ya hitung-hitung biar dia belajar makan pedas." "Dia kalau ngeluh repot mbak," ketus Ghea "Yaudah enggak mau makan!" seru Renata dengan kedua tangan bersidikap ke dadanya, jelas ia menghentakkan kedua kakinya. "Eishh udah jangan ribut kalian ini, kamu juga kaya orang ngidam," cetus Mbak Yuna, Renata jelas terkejut atas perkataan seniornya namun ia tidak bisa menampilkan semuanya, kini ia hanya memanyunkan bibirnya ke arah Ghea. Ghea berkata, "Oke, sekali aja." Finally! Itu jelas membuat Renata langsung menubruk Ghea untuk memeluknya. Kalau bukan karena ia mengetahui soal kehamilan Renata, terlebih Mbak Yuna yang bilang soal ngidam jadi terpaksa ia menuruti demi keponakan yang masih di dalam perut sang sahabat. "Ahhh makasih Ghea, terbaik banget deh." Ghea hanya berdehem saja mendengar perkataan Renata. "Mbak Yuna aku traktir," ujar Renata. Mbak Yuna jelas menatap binar ke arah Renata seolah meyakinkan perkataan yang ia dengar tadi. "Wah bener nih Ren? Serius enggak?" Renata hanya mengangguk yang bertanda 'Iya'. Mereka memesan makanan masing-masing, Renata melangkah ke arah kedai bakso sedangkan kedua temannya mengarah ke kedai lainnya. "Bang bakso satu dong, urat ya, pakai bihun sama sayur aja," jelas Renata memesan. "Siap neng, di tunggu ya." Renata lalu mengangguk, ia menunggu di depan kedai baksonya. Renata kini datang dengan membawa semangkok bakso ya sudah ia pesan tentunya dengan sambel yang melimpah Ghea yang melihat hanya melotot tak percaya. "Lu yakin mau makan tuh bakso? Jangan belajar gila dah," cetus Ghea. Wanita tersebut hanya menyinyir lewat gerak mulut tanpa suara yang membuat Ghea menatap kesal. "Ya Allah Ren aku lihatnya aja udah mules," ucap Mbak Yuna sambil memegang perutnya seolah ia merasa melilit melihat mangkuk Renata sudah terbanjiri oleh sambel. Renata langsung melahapnya, membuat Ghea dan Mbak Yuna saling menatap satu sama lain. Mereka berdua kini hanya menelan ludah karena keberanian wanita tersebit yang memakan bakso penuh sambel tersebut. Menggiurkan memang, namun juga mematikan! Itu bukan bakso dengan sambel, tapi kebalikan nya sambel dengan bakso. "Ya Allah selamatkan keponalan hamba dari pedasnya sambel," batin Ghea. "Huaa pedess!" Renata kini sudah banjir keringet padahal baru dua suap saja. Ghea melahap makanannya lalu berkata, "Rasain. Di bilangin ngeyel." "Minum Ren," ujar Mbak Yuna lalu memberikan sebotol air mineral dingin. Tria yang baru gabung duduk dengan mereka bertiga langsung menatap wanita yang mukanya di penuhi oleh keringat. "Renata lu gila ya, itu mah makan sambel bukan makan bakso, " ujar Tria yang melihat mangkok bakso milik Renata. Laki-laki tersebut menggelengkan kepala. Renata meminum air mineral yang di berikan Mbak Yuna, ia mengatur nafasnya untuk kembali makan bakso tersebut. Ketiga orang tersebut hanya menatap sambil menggelengkan kepala melihat Renata. Tria bertanya, "Dia lagi kesurupan atau gimana si?" "Iya lagi kesurupan tetangga julid," cetus Ghea. Tria dan Mbak Yuna jelas mengalihkan pandangannya kini ke arah Ghea. Mbak Yuna menyela, "Lah apa nyambungnya Ghe?" "Nyambung Mbak, kan mulut tetangga pedas kaya bakso yang di makan Rena," jelas Ghea. Mbak Yuna sempat terdiam begitu juga dengan Tria, beberapa detik kemudian mereka tertawa bersama. Renata menimbrung, "Julid'an juga mulut lu Ghe." Setelahnya ia lalu tertawa pelan. - - Kini mereka telah selesai dengan istirahatnya, sebagian karyawan juga bergegas kembali ke ruang kerja atau meja kerjanya. Renata terus memegang perutnya. "Aduh Ghe perut gue," ucap Renata mengeluh, ia menyuruh Ghea untuk menggunakan lift saja karena perutnya kini panas akibat kebanyakan sambel. "Makanya jangan sok, di bilangin susah banget si," ketus Ghea. Renata hanya cemberut saja. "Kalau nanti keponakan lu ngiler mau emang?" tanya Renata berbisik, ia masih menahan sakit perutnya. Wanita itu selalu benar, apalagi jika wanita sedang ngidam di tambah selalu benar. Ting! Bruk! "Aww maaf ya, perut gue sakit nih buru-buru," ucap Renata tanpa melihat siapa yang ia tubruk , ia langsung berlari ke arah toilet sedangkan Ghea masih terdiam karena kelakukan Renata, ia bahkan sempat menatap orang yang tadi di tubruk oleh sang sahabat. Ghea sempat terdiam seolah mengingat sosok orang yang kini ada di hadapannya. "Astaga ini kan anaknya bos," batin Ghea. "Maaf pak atas kelancangan teman saya," ujar Ghea sambil menunduk hormat, sedangkan sosok tampan berjas hitam masih memperhatikan Renata walau ia hanya melihat punggungnya saja. Ghea berkata, "Pak, sekali lagi mohon maaf." "Gila ganteng banget kalo senyum," batin Ghea, ia terpana melihat senyum simpul dari sosok tersebut. Laki-laki tersebut langsung memasuki lift tanpa memperdulikan Ghea yang masih terdiam terpana. Ghea lalu tersadar dan sedikit berteriak, "Renataaaa!" Ia lalu berlari ke arah toilet untuk mencubit Renata, ia sungguh ceroboh tak melihat siapa yang ia tubruk. "Rena bisa mati lu kalau tahu siapa yang lu tubruk, ceroboh banget," gumam Ghea sambil berjalan cepat mengarah ke toilet. Sedangkan di sisi lain, David tersenyum ketika memasuki lift. Ia memegang bahunya yang tadi tertubruk seorang wanita ceroboh di kantor papahnya. Ya hari ini kunjungan untuk ketiga kalinya ia ke kantor sang ayah, untuk sekedar minum teh bersama. Itu hanya bualannya, tebar pesona menjadi tujuan utamanya. "Pasti dia gadis yang cantik, dan menggoda," gumam David, ia lalu meng-ngendorkan dasi nya seolah sesak setelah memikirkannya. "Tapi rasanya kaya kenal, apa cuman perasaan gue," lanjut David bermonolog. Senyum yang menyeringai, seolah memikirkan siapa gadis tersebut. Untuk pertama kalinya David memperdulikan karyawan sang ayah yang bahkan ia tidak tahu menjawab sebagai apa wanita tersebut. "Apa gue harus nanya Papah?" David tersenyun, namun setelahnya ia langsung menggelengkan kepala dengan perlahan. David melangkahkan kakinya menuju parkiran, jelas semua mata tertuju kepadanya. Selain tampan, David juga terkenal sebagai selebgram yang sudah banyak pengikutnya, namun ia tidak ambil pusing soal itu. "Kenapa gue jadi kepikiran sama tuh cewek ceroboh," ujar David. Tanpa pikir panjang dan tidak mau lagi menambah beban pikirannya, ia langsung tancap gas melajukan mobilnya. Laju mobilnya sudah jauh, namun pikirannya masih tertuju ke perusahaan sang ayah. "Siyalan!" seru David sambil memukul stirnya dengan pelan. Renata masih berada di dalam toilet, ia berusaha mengeluarkan yang melilit di dalam perutnya akibat sambel. "Kapok gue makan sambel, mules banget," keluh Renata. "Maaf ya nak, besok-besok enggak lagi melebihi batas," ucap Renata sambil mengelus perutnya dengan lembut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN