Nafas Ghea sedikit tersenggal karena sedikit berlari ke arah toilet, ia mengatur nafasnya perlahan.
"Renata," ucap Ghea sedikit berteriak ketika sudah sampai toilet, untung saja toiletnya sedang dalam keadaan sepi.
Renata masih berada di dalam bilik toilet tersebut. "Apasi Ghe, jangan berisik gue lagi diskusi sama alam nih, jangan ganggu konsentrasi gue," cetus Renata.
Sedangkan Ghea menatap dirinya di cermin toilet, dengan senyum yang menawan, dan seketika bergedik jijik ketika mendengarkan perkataan sang sahabat. "Lu tahu enggak yang lu tubruk tadi siapa?" tanya Ghea, Renata hanya mengernyitkan dahi bertanya-tanya dengan muka yang masih konsen mengeluarkan rasa mulesnya.
Renata berkata, "Enggak tahu si. Emang siapa? OB baru palingan." Suara lega dari Renata setelah mengeluarkan rasa mulesnya membuat Ghea hanya menggelengkan kepalanya.
"Mata lu OB, dia anaknya pak Gio yang kemarin harusnya lu temenin. Ya Allah Ren ganteng banget ternyata," ungkap Ghea dengan begitu antusiasnya.
Kini Renata telah selesai dengan urusan alamnya kini ia berdiri sejajar dengan Ghea menatap cermin sambil mencuci tangannya. "Oh yang katanya pengikut sosial medianya banyak itu?"
"Iya yang pernah gue kasih tahu juga kan, gila Ren ternyata seganteng itu." Ghea bersandar di tembok toilet sambil.tersenyum membuat Renata mengerutkan keningnya.
Renata berkata, "Lu gila ya senyum terus." Sedangkan Ghea hanya menatap sambil menaikkan kedua alisnya ke arah sang sahabat. "Benaran sedeng nih temen gue," lanjut Renata. Tanpa pikir panjang ia lalu berjalan meninggalkan Ghea yang masih saja tersenyum.
Beberapa detik kemudian Ghea tersadar karena di tinggal oleh sang sahabat. "Renata, asli lu ninggali mulu. Sabar Ghe, sabar." Ghea bergumam dan melangkah menyusul Renata yang meninggalkannya.
Renata berjalan lalu menoleh ke arah belakang tepat Ghea sedang berlari, ia tertawa kecil melihatnya. "Ren, tungguin astaga," ucap Ghea.
"Siput banget si," cetus Renata lalu tertawa. Ghea jelas memutar bola matanya dengan jengah.
Renata sudah menyelesaikan laporannya untuk di serahkan langsung ke atasannya, sekaligus Renata juga membawa surat pengunduran diri, sepertinya tak sopan saja bila ia mengundurkan diri namun tak langsung menghadap ke atasanya yang sudah begitu baik.
Wanita tersebut berjalan ke arah ruangan atasannya, kini ia sudah ada di depan ruangan Pak Gio tersebut. Ia menarik nafas lalu menghembuskannya secara perlahan sebelum ia mengetuk pintu tersebut.
"Masuk." Tak pikir panjang Renata langsung masuk ketika sudah mendengar sahutan dari atasannya tersebut.
Pak Gio yang sedang sibuk dengan aktifitas mengetiknya menoleh lurus ke depan. "Ada apa Renata?" tanya Pak Gio.
"Saya ingin memberi laporan untuk bulan ini pak, dan sekalian surat pengunduran diri saya," jelas Renata, raut wajah Pak Gio tak dapat di pungkiri kalo ia sangatlah terkejut mendengar penuturan dari karyawannya tersebut. Bagaimana tidak, Renata adalah karyawan yang di andalkan perusahaan.
Pak Gio berkata dan bertanya, "Kenapa? Apa gaji kamu kurang, kalau gitu sekarang juga saya akan tambahkan. Ajukan saja ke Hrd, biar saya langsung konfrimasi, atau kamu mau naik jabatan? Katakan saja kamu ingin menjabat jadi apa?" Yaps sampai segitunya seorang Renata ingin di pertahankan dari perusahaan tersebut itu karena kinerja wanita tersebut.
Renata hampir tidak bisa menelan ludahnya, yang di tawarkan Pak Gio sebenarnya menggiurkan bahkan hampir membuat Renata mengurungkan niatnya untuk resign. "Bukan soal gaji Pak, alhamdulillah gaji di sini sangat cukup dan membantu, bukan juga soal jabatan," jelas Renata, itu kenyataan gaji di perusahaan tersebut sudah lebih dari cukup untuk kehidupannya sehari-hari.
"Lalu karena apa?" tanya Pak Gio, ia benar-benar tak habis pikir oleh karyawan yang satu ini.
Renata tersenyum tipis lalu berkata, "Ada masalah yang tidak bisa saya beri tahu pak, masalah hidup saya dan terpaksa saya harus mengundurkan diri." Pak Gio hanya menatap Renata sendu seolah penuh harap.
Pak Gio menghela nafasnya dengan pasrah tentunya masih dengan tatapan tidak rela. "Baik kalo memang itu sudah keputusan kamu, tapi saya masih berharap kamu akan kembali bekerja di sini kelak," ucap Pak Gio.
"Sebelumnya saya minta maaf pak kalo ada kesalahan," ucap Renata tulus.
Pak Gio membalas, "Makasih Renata. Sebenarnya sangat amat sayang saya kehilangan karyawan berbakat seperti kamu, semoga kamu bisa melewati semuanya dengan bahagia." Terselip doa untuk karyawannya di dalam kata-katanya. Renata jelas tersenyum dengan tulus dan mengaminkan perkataan yang di lontarkan atasannya.
"Saya undur diri Pak, terima kasih sebelumnya," ujar Renata. Sosok laki-laki paruh baya tersebut hanya mengangguk kecil.
Renata keluar dari ruangan Pak Gio dengan hati yang lega, ia menepati janjinya dulu dan tidak tergiur dengan kenaikan gaji atau jabatana tersebut. Wanita tersebut lebih memilih untuk merawat calon anaknya kelak dan menghabiskan waktu di masa kehamilan di banding bekerja. "Mama sudah tepatin janji mama," bisik Renata.
Semua teman-teman kantornya menatap ia dengan sangat serius ketika Renata keluar dari ruangan atasannya dengan raut wajah tersenyum. "Kamu beneran risegn?" tanya Tria.
Mbak Yuna menimbrung, "Loh kamu beneran? Mbak kira kamu cuman bercanda."
"Astaga Renata, seriusan lu keluar," ujar Yudha dengan terkejut.
Renata tersenyum tipis lalu membalasnya, "Iya aku risegn." Semua jelas langsung menatap dengan raut wajah sedih ke arah wanita tersebut.
"Hey, kenapa mukanya pada gitu? Kan kita masih bisa hangout bareng," jelas Renata.
Mbak Yuna berkata, "Sedih aja enggak ada lagi yang nemenin aku ngobrol."
"Kita bisa chat, telepon, atau video call," balas Renata sambil tersenyum.
Tria menimbrung, "Yah nanti enggak ada yang bantuin aku kerja lagi dong." Renata hanya tertawa pelan walau sebenarnya berat meninggalkan perusahaan yang terbaik ini, dan meninggalkan teman-teman yang sudah seperti keluarga namun resign adalah keputusan terbaik
Renata berkata, "Kan bisa nanya-nanya lewat chat."
Setelah berpamitan, Renata melangkah perlahan dengan sesekali menoleh ke arah meja kantornya yang sudah menemaninya selama beberapa tahun belakangan ini. Terlebih, kesedihan dari raut wajah teman-teman nya seolah semakin memberatkan langkah Renata, namun tekat ia sudah bulat ia akan bekerja di rumah entah membuka warung atau online shop.
Ghea berkata, "Ren, tungguin gue. Jangan pulang sendirian."
"Iya, gue mau makan soto dulu." Wanita tersebut lalu sedikit melangkah ke arah Ghea dan berbisik.
"Ponakan lu ngidam, " bisik Renata, membuat yang melihat penasaran apa yang di bisikkan oleh Renata kepada Ghea.
Tria mengerutkan kening lalu bertanya, "Ish kalian bisik-bisik apa si?"
"Kepo amad si lu bambang." Ghea hanya tertawa pelan, mengingat sahabatnya orang yang jarang suka makan banyak dan kehamilannya malah membuat Renata menjadi makan melulu bahkan terkadang Ghea menggelengkan kepalanya ketika sang sahabat sudah makan banyak.
Renata lalu melanjutkan langkahkan kakinya ke arah lift. Jelas semua orang yang melihatnya menyangka kalau ia di pecat, padahal ia keluar dengan sendirinya. "Sabar yak nak, kita nunggu tante Ghe duku. Kita makan soto dulu ya, mama lagi pengen banget nih," ujar Renata seolah berdialog dengan calon anaknya.
Ting!
"ASTAGA!" ucap Renata sedikit lantang, bagaimana tidak ketika pintu lift terbuka ada pasangan yang sedang b******u di dalam lift. Pasangan tersebut juga begitu kaget ketika pekikan Renata menusuk telinga dan menghentikkan aktifitas menggairahkan tersebut.
"Cih!" Renata memandang jijik ke arah mereka berdua seolah-olah tidak ada tempat lain untuk melampiaskan hasrat tersebut, ia memasuki lift dan menekan tombol menuju lobby. Ia berdiri di depan membelakangi pasangan tersebut tentunya dengan terus mengelus perutnya seraya mengucap amit-amit.
Desahan kini seolah mengusik telinga Renata, mereka b******u kembali di dalam lift dan seolah tak menganggap adanya wanita tersebut. Sorot mata dari sosok laki-laki tersebut terus mengarah ke arah Renata walau ia sedang b******u.
Renata mulai terusik karena kelakuan mereka, benar-benar tidak ada etika. Ia membalikkan badan dengan tatapan sinis dan berkata, "Mas dan Mba enggak mampu nyewa hotel atau gimana sampai enggak ada etika melampiaskan di lift."
Cowok tersebut tersenyum menyeringai lalu berbisik, "Apa kamu juga menginginkannya." Renata di buat bergedik merinding ketika mendapat bisikan tepat di telinganya.
"Suara ini?" batin Renata.
"Sayang." Wanita di sebelah laki-laki tersebut kembali menggoda dengan nada manja seolah menginginkan lebih dari sekedar b******u. Renata yang mendengar seolah merasakan sesak di hatinya atau merasa jijik, entah kenapa namun seolah sakit mendengar wanita tersebut memanggil 'Sayang' kepada laki-laki yang bahkan ia tak mengenalnya.
"Bawaan bayi mungkin gue," batina Renata.
Ting!
Renata langsung buru-buru keluar dan berjalan cepat seolah pemandangan tadi yang ia lihat adalah hal yang memuakkan. "Bisa-bisanya mereka kaya gitu di lift," ketus Renata mengomel.
Beberapa detik kemudian wanita tersebut menarik nafas lalu menghembuskannya secara perlahan. "Maafin mama ya nak udah ngomel-ngomel," ujar Renata lembut.
Ia langsung melangkahkan kakinya ke tukang soto yang ada di depan kantor. Cuaca yang sedikit terik, tentunya sangat mendukung makan soto ayam dan minumnya es jeruk. Renata benar-benar tidak sabar untuk menyicipinya.
"Pak soto ayam satu, minumnya es jeruk." Renata duduk untuk menunggu pesanannya datang, ia menyibukkan diri dengan menscroll sosial medianya.
Sedangkan di sisi lain, David menyeringai ketika melihat gadis tersebut seolah ingin cepat-cepat menghindar darinyam Harum rambutnya seolah masih melekat di hidung laki-laki tersebut saat ia membisikkan kalimat yang entah kenapa lancang begitu saja keluar dari bibirnya.
"Kamu pulang sendiri ya, aku masih ada urusan kantor dengan Papah," ucap David, sedangkan wanita tersebut hanya cemberut dan lalu berjalan dengan kesal.
Jelas david berbohong, namun ia ingin menemui ayahnya adalah kebenaran. Ia kembali menaikkan lift untuk keruangan sang papah. Tatapan memuja seolah tertuju kepada David ketika ia melewati ruang kerja karyawan sang papah. Tanpa pikir panjang ia melangkah ke arah ruang kerja Papahnya dan langsung mengetuk.
"Masuk." Setelah ada sahutan dari orang yang ada di dalam, David lalu masuk. Yaps, bagaimanapun ia harus sopan dan penuh etika di kantor sang ayah untuk kejadian lift itu boleh di nomor duakan.
Gio menatap lurus untuk melihat siapa yang datang ke ruangannya, sedikit terkejut karena kini berdiri laki-laki gagah nan tampan. "Loh kok kamu belum balik?" tanya Gio.
"Aku mau menanyakan sesuatu Pah," ujar David
"Sekretaris mu mana?" tanya Gio, yaps! Yang b******u dengan dirinya adalah seketarisnya sendiri, bukan hal aneh untuk seorang David.
David berkata, "Pulang duluan." Gio hanya mengangguk-angguk saja mendengar jawaban dari sang anak.
"Kamu mau menanyakan hal apa? Proyek mall?" tanya Gio.
"No!" Jawaban dari sang anak membuat Gio mengernyitkan dahi bertanya-tanya, sedangkan David hanya senyam-senyum yang semakin membuat Gio menggelengkan kepalanya dengan heran.
David bertanya, "Apa ada karyawan Papah yang baru berhenti kerja?"
"Iya ada," jawab Gio.
Gio melanjutkan bertanya, "Untuk apa kamu menanyakan karyawan yang berhenti?" David hanya tersenyum mendengar pertanyaan sang ayah.
"Siapa namanya?" tanya David.
"Renata," jawab Gio.
David kembali tersenyum namun kini di selingi oleh seringai tipis yang membuat Gio menatap bingung ke sang anak. "Untuk apa memang kamu menanyakan itu nak, tidak biasanya kamu menanyai karyawan Papah," ujar Gio.
"Aku hanya ingin tahu saja Pah, yasudah kalo begitu aku balik ya. Hari ini aku tidak mampir ke rumah, aku langsung ke rumahku," jelas David.
Gio berkata, "Jangan bawa banyak wanita ke rumahmu atau Papah akan jodohkan kamu nanti."
"Ayolah Pah, David masih muda," balas David.
"Cepat cari calon istri David! Agar hidupmu ada aturannya." Gio menasehati.
David hanya tersenyun tipis lalu melangkah menuju pintu. "Baik Pah, David akan menikahi mereka semua," cetua David yang membuat Gio jelas melotot tajam ke arah sang anak yang kini tertawa sambil keluar ruangannya.
"Anak itu!" Gio menggelengkan kepala melihat kelakukan dari sang anak.
Gio lalu berpikir dan bergumam, "Buat apa anak itu menanyakan Renata." Ia kembali melanjutkan pekerjaannya, masih banyak yang harus di tinjau dan di tanda tangani olehnya namun pikirannya masih kepada sang anak yang tiba-tiba saja bertanya soal sosok Renata.
David berjalan ke arah parkiran dengan senyum yang menggoda, dengan memutarkan kunci mobil di telunjuknya.
Deringan telepon membuat ia menghentikan jalannya sejenak, ia melihat siapa yang meneleponnya tak lama kemudian ia melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam mobil dengan telepon di genggamannya.
"Halo."
"Selamat siang Pak, laporan yang kemarin sudah di kirim lewat email dan harus segera di tanda tangan."
"Baik. Ada lagi?"
"Tidak Pak."
"Saya tidak balik ke kantor jadi kalau ada apa-apa hubungin saya atau kirim email ke saya, saya akan pantau dari rumah."
"Baik Pak." David lalu mematikan teleponnya secara sepihak, ia lalu melajukan mobilnya keluar dari perusahaan sang ayah secara perlahan. Tanpa sengaja ia melihat wanita yang baru saja di pertanyakan olehnya kepada sang ayah.
Ia tersenyum di balik mobil, sedangkan wanita itu sedang fokus memainkan handphonenya entah kenapa aura wanita tersebut semakin terpancar ketika sinar matahari menyorot ke arahnya. "Cantik," gumam David tanpa sadar.
Renata sedang menunggu jam pulang kantor, sebenarnya ia ingin sekali pulang duluan namun ia juga tak ingin kena amuk oleh sang sahabat. "Lama banget si tumben," cetus Renata ia sesekali melirik ke arah perusahaan.