"Ngambek?"
Galaksi melirik Ancala yang sejak tadi melengoskan wajah ke sisi jendela mobil, bahkan menolak untuk berjalan bersisian.
Ya, jelaslah ngambek. Gimana nggak ngambek coba di saat Ancala semalaman tidur tanpa tenang sebab takut tali bathrobe-nya kelolosan, terus tersibak, lalu terpampang area tubuh yang Ancala lindungi. Sedangkan semalam, Ancala sudah bahas tentang baju tidur agar meminta tolong pegawai hotel bawakan, eh, bilangnya ngantuk. Padahal usut punya usut, berdasarkan pengakuan Galaksi sendiri setelah Ancala ancam, rupanya baju tidur itu sudah ada sejak Ancala masih mandi, diantarakan bersamaan kotak P3K dan makanan, tetapi sengaja tak difungsikan sebab ... selebihnya hanya dilanjut dengan senyuman.
Mesum gilak!
Ancala keki badai.
Tahu, kan, hari ini dia mesti kerja? Pagi-pagi. Dan perkara baju tidur yang disembunyikan--ralat, tidak diberitahukan keberadaannya--membuat Ancala tidur ayam-ayaman. Alias nggak nyenyak! Waswas.
Ya Tuhan.
"Ancala."
Bodoh amat, ya. Nggak dengar, tuh!
"Cal." Diraihnya tangan itu, membuat Ancala menoleh mau tak mau. Mobil henti di lampu merah, ini masih sangat pagi. Tujuan mereka adalah rumah, lalu berangkat lagi untuk pergi ke tempat kerja masing-masing. "Yang penting semalam kamu nggak sendirian, kan, tidur pakai jubah handuknya?"
Oh, ofcourse!
"Tapi cuma aku yang tidurnya nggak tenang!"
Galaksi tampak diam, lalu melepaskan tangan Ancala dan kembali fokus pada kemudinya. Namun, dia sempat bilang, "Setidaknya kamu bisa tidur."
Ya, tidak ada setidaknyalah, kecuali kalau--wait! Mata Ancala memicing, menerjemahkan kembali apa hal yang dia dengar barusan.
Maksudnya, Galaksi tidak bisa tidur, begitu?
Konteksnya sama-sama tidak bisa tidur.
"m***m," ketusnya, Ancala menyimpulkan. Tiba-tiba terkenang di jam-jam sebelun ini ....
Tadi.
Detik di mana Ancala menemukan dua set pakaian tidur, yang lalu dia hempaskan ke pangkuan Galaksi. Mereka bertatapan. Galaksi bahkan sampai meletakkan ponselnya dan meraih baju-baju tidur itu.
"Ini apa?!" Dan Ancala kelihatan geram sekali.
"Baju."
Semakin geram saja. Ancala naik pitam. "Ya, aku tau ini baju. Tapi, kenapa nggak bilang kalo ada baju?"
Tak lantas dijawab, Ancala jadi gemas. "Gini, deh. Sejak kapan baju itu ada di sana?" Menunjuk lemari.
Galaksi alihkan tatapnya secara otomatis ke lokasi tunjukan Ancala. "Semalam."
Astaga.
Bisa nggak, sih, ngomongnya jangan sekata-sekata?! Ancala pun berkacak pinggang. "Jawab aku yang bener, panjang, dan rinci! Maksudnya apa semua ini, hm? Kalau perlu aku ingetin lagi, pas semalem aku bahas tentang baju tidur, terus--"
"Saya pengin kamu pakai bathrobe."
Dipangkas, Ancala auto mingkem.
"Sampai pagi." Sorot mata Galaksi tak ubahnya teka-teki, perlu dipecahkan dulu, tetapi hati tak mau kompromi.
Ya, dalam hati Ancala sudah seenaknya mengambil praduga sendiri. Bahwa Galaksi ....
"Sampai saya nekat buat nelanjangin kamu di sini."
Mesum sekali.
Ancala terperangah, sedangkan Galaksi senyum tipis di dua pojokan bibirnya. "Tapi itu nggak terjadi."
Aman.
Galaksi lantas berdiri, membuat Ancala mundur beberapa pijakan sebab tubuh tinggi itu telah turun dari ranjang. Menghadap Ancala.
"Ngetes aja." Yang lalu melenggang, melewati Ancala tanpa penjelasan.
"Ngetes, maksudnya?" Ancala berbalik, melihat Galaksi yang kian jauh darinya, tetapi lebih dekat dengan kamar mandi. "Jawab! Ngetes apa, huh? Ngetes sejauh mana ketahanan diri atau ngetes seberapa menariknya aku buat bikin ...." Argh!
Pintu kamar mandinya ditutup. Ancala tak didengar. Padahal dia serius nanya, apanya yang dites? Pertahanan diri sendiri atau ... seperti yang Ancala bilang tadi: Ngetes seberapa menarik diri ini buat bikin bangun burungnya? Lalu dibandingkan dengan dulu saat masih bersama Bu Sally. Gitu, ya?
Apa pun itu, Ancala bete sejak pagi. Sebab yang paling penting, semalam tidurnya tidak tenang, ditambah pikiran-pikiran menyebalkan yang datang. Sialan!
Itulah serangkaian kilas balik menari-nari dalam benaknya, membuat Ancala menolak beramah-tamah pada sosok bungsunya Alam Semesta.
"Normal, bukan mesum."
Oh, celetukan Ancala ditanggapi.
Terserah, deh, ah. Toh, tidak membuat pikiran Ancala menjadi tenteram.
Sadar nggak sadar, diakui atau tidak, sebetulnya Ancala sudah jatuh ... mencemburui hubungan masa lalu suami pilihan papanya ini dengan segala drama di dalam kepalanya sendiri.
***
"Cie ... pengantin baru. Spill, dong. Duda itu speknya kayak gimana? Siapa tahu bisa aku pertimbangkan." Sambil haha-hihi, teman sedivisinya Ancala. Yang membedakan, Ancala bukan kartap--karyawan tetap.
Nah, itu, tuh. Begitu. Sebagaimana ekspektasi Ancala, minimal kehadirannya pasti diledek oleh satu atau dua orang di sana.
"Heli nggak, Cal?"
"Heli? Apa heli?" Ancala duduk di kursinya. Dia baru saja datang di saat yang lain sudah nyaris lengkap.
"Hebat dan lincah." Diiringi tawa gelinya, pun tawa dari yang lain.
Yang membuat Ancala paham ke mana arah bicaranya adalah sorot mata sang pengucap, astagfirullah. Ini obrolan orang dewasa.
"Betewe, kamu nggak diminta langsung 'ngulek', kan, Cal?"
Ngulek?
"Nggak, tuh. Lagian yang masak ART, Mbak."
Eh, ditertawakan.
"Udah, Guys ... jangan dicemari dedek emesh kita. Haha!"
Ancala baru mau menanggapi, tetapi didahului oleh seseorang yang berkata, "Bagga gitu nikah sama duda? Bekasnya bos sendiri pula. Ya, nanti juga kedapetan momen dibanding-bandingke kayak lagu viral pada masanya."
"Okta!"
"Apa?" Oktavia namanya. "Lagian bener, toh? Kapan hari juga dia sendiri yang bilang pernah mergokin Bu Sally sama Pak Galak cip--"
"Ta, udah, Ta."
Ancala menatap mereka.
"Terus ending-nya, dia sendiri juga yang nikah sama Pak Galak! Heran, deh, sama kalian ... yang tadinya nge-ship Bu Sally sama mantannya biar rujuk, mana? Cepet amat berubah haluan."
Dan salah satu dari orang yang mendukung hubungan bos mereka dengan sang mantan itu, ya, Ancala. Benar kata Oktavia. Tapi Ancala tidak merasa salah juga.
"Jangan diambil hati, ya, Cal. Okta emang gitu mulutnya." Yang kemudian mendekat dan berbisik, "Maklum, sepupunya Bu Sally."
Ah, iya ... Ancala senyum menanggapi. Tahu, kok.
Okta itu sebenarnya baik dan asyik, tentu di sebelum Ancala membagikan undangan kepada mereka, itu pun sebetulnya Ancala enggan, tetapi papa memaksa. Jikapun bukan Ancala yang membagikan, sudah pasti Galaksi.
"Kerya, Guys ... kerja." Yang lain memecah tegang dan dimulainya ritme keseharian di sana. Bekerja bagai kuda.
Sibuk.
Ancala pun tidak main-main walau statusnya cuma magang, ada kontrak yang telah dia tanda tangan. Di mana selama enam bulan jikalau kinerjanya bagus maka bisa mendapatkan lebih banyak ilmu dan pengalaman di situ, papa meminta Ancala berkelana dulu minimal dua tahun--sambil dibimbing Galaksi, sih, katanya. Mungkin itu salah satu alasan papa menjodohkan Ancala dengan karyawan yang paling dipercaya oleh gerangan.
Ada simbiosis mutualisme di sini. Tapi bagi Ancala, rasanya dia banyak merugi. Sekarang saja sudah rugi karena dijauhi oleh satu teman baiknya. Pun, rugi lagi saat Bu Sally ... hari itu ... Ancala rasa, ada yang berbeda.
"Saya tahu kamu masih mahasiswa, tapi minimal ilmu dari kampus ada yang bisa kamu bawa ke sini, kan, Ancala?"
Brak!
Begitu suaranya bilamana dinarasikan, sebuah dokumen yang dilemparkan. Wah ....
Ancala menunduk, menatap hasil kinerjanya.
"Revisi."
Sedangkan, dulu tidak begini. Jika perlu diceritakan, Ancala berkenan. Di mana dulu itu apabila memang Ancala melakukan kesalahan, pertama-tama akan disenyumi, lalu diberi tahu dengan lembut dan baik hati, kemudian dipuji: "Segini juga udah bagus, kok. Tapi tingkatkan lagi. Saya yakin kamu briliant." Paling akhir, Ancala dimaklumi.
See!
Beda sekali dengan yang saat ini.
Ancala lantas menghela napas, paham kenapa. Bu Sally ternyata setidak profesional ini, ya?
"Baik, Bu." Ancala pertahankan ketenangannya. Dia ambil dokumen, lalu pamit dan melenggang pergi.
Dasar, menyebalkan!
Jika nanti Ancala sudah bisa pegang perusahaan sendiri, perusahaan Bu Sally-lah yang akan Ancala masukkan ke daftar hitam paling awal. Serius!
Tapi masalahnya, kapan waktu itu tiba?
***
"Es krim?"
Tak terasa, sore tiba. Ancala dijemput, dia mengenali mobil yang tiap hari parkir di garasi. Mobil yang dikendarai oleh Galaksi, Ancala masuki. Kelihatan juga dari kaca depan bahwa sosok di balik pengemudi adalah mas suami.
"Saya denger katanya es krim bisa naikin mood."
Di detik Ancala masuk, saat itulah sebuah es krim kerucut disodorkan kepadanya. Refleks, Ancala terima.
"Saya beli cokelat juga," katanya, mulai menyalakan mesin. "Tapi habisin aja dulu es krimnya biar nggak meleleh."
Mendengarnya, Ancala mencibir. Namun, dia laksanakan. Mulai dibukanya kemasan es krim tersebut. Selebihnya Ancala cukup menjilat sampai pundas.
Sementara itu, Galaksi tersenyum dalam diam.
Hening pun melanda.
Ancala terpikir, Galaksi terlalu hening untuk dia yang suka 'nada dering.' Ibaratnya.
"Kenapa?"
Seakan paham bahwa Ancala tidak nyaman, langsung ditanya.
"Dari pagi mood aku udah rusak," sahutnya. Ancala mencebik. Mungkin itu juga yang menbuat hari Ancala dirasa buruk saat ini.
"Ini cokelatnya, dimakan aja kalau memang es krim nggak cukup membantu naikin mood kamu."
Disodorkan lagi sebatang cokelat yang ternyata tadi disimpan di area dekat pintu kemudi, pantas Ancala tidak melihatnya.
Ancala menghela napas. "Nggak selalu makanan atau yang manis-manis gini bisa naikin mood, ya." Tapi tetap diterima.
"Memang apa yang bisa?"
Bibir Ancala malah mengerucut. "Nggak tau, deh. Capek."
Kening Galaksi jadi mengerut walau samar, sedang tatapan tetap lurus ke jalanan.
"Terjadi sesuatu yang lebih menyebalkan di kantor?"
"Emang semuanya nyebelin, di mana-mana." Ancala menatap ke luar jendela. Saat itulah Galaksi menoleh.
Bentar.
Ancala baru sadar.
"Ini bukan jalan ke rumah, kan?"
Bertatapanlah mereka, sejenak saja.
"Iya."
"Mau ke mana lagi? Aku capek, pengin pulang."
Terlambat.
"Kita sudah sampai."
Hell!
Kapan, sih, seorang Galaksi tidak menyebalkan? Ditambah hari ini mantannya beliau berulah, makin sebal Ancala. Sungguh, mereka cocok dalam memorak-porandakan mood-nya.
Henti di parkiran, sepertinya di kawasan apartemen. Ancala mencebik bibir.
Oh, apartemen.
"Mau ketemuan lagi sama mantan?" Dia nyeletuk.
Galaksi baru saja meloloskan sabuk pengamannya.
"Nggak usah ajak-ajak akulah."
Lalu keduanya keluar dari mobil.
"Sana, masuk aja. Aku mau pesen taksi--Pak!"
Ponsel Ancala dirampas, Galaksi pelakunya. Kemudian dikantongi. Tanpa membiarkan Ancala sempat berusaha menggapai benda itu, Galaksi langsung menggandeng tangannya. Dipaksa ikut.
"Bantu saya beres-beres."
Anj--%@^!&!
Kesal.
Kesal.
Kesalll triple L!
Ancala semrawut. Memang, ya. Mood pagi itu paling berpengaruh untuk berlangsung menyenangkan atau tidaknya seharian itu. Mood pagi harus baik. Kalau dari pagi sudah buruk, ke sananya pun jadi begini ... persis Ancala.
Hingga waktu berlalu dan Galaksi sudah berhasil membawa Ancala masuk ke dalam apartemennya.
So, di situ, ya, Bu Sally dan mantannya ini ketemuan?
Sudah masuk, kan? Ancala melepas diri dari gandengan tangan Galaksi.
Oke, mereka berhadapan.
"Keluarkan."
Apanya yang dikeluarkan?
Memang repot, ya, kalau berhubungan sama manusia irit bicara. Ancala dirasa harus pandai menerjemahkan, dituntut untuk peka, atau ... oke, fine. Dia yang mestinya cerewet di sini.
"Jangan ditahan marahnya, keselnya, emosinya ... keluarkan aja."
Sebab terlihat dari raut wajah Ancala, dia memang sedang menahan banyak hal sekarang, termasuk menahan agar tidak ... terlambat. Ancala maju dan dia sudah menarik cepat kerah kemeja Galaksi, membuat lelaki itu jadi merunduk, sedang Ancala tetap mendongak.
Alhasil, bertatapanlah keduanya dengan jarak jauh lebih dekat.
"Kalau gitu, boleh aku keluarkan semuanya?"
Galaksi tak terlihat gentar, tak tampak terganggu, meski lehernya jadi agak tercekik sekarang. "Silakan."
Senyum miring Ancala terukir, tajam menatap sorot mata Galaksi. Lihat tatapan datar itu saja Ancala sudah kesal.
"Kenapa Bapak nerima perjodohan ini, padahal kalian bahkan masih saling pengin rujuk?"
Itu satu.
"Apa yang Bapak dapat dan korbankan untuk perjodohan kita?" Tentang negosiasi bersama papa.
"Karena poin satu yang aku sebut, aku kena getahnya, tahu! Temen aku ngejauh dan Bu Sally ... inget pas di hotel kemarin? Hari ini lebih parah." Di detik Ancala hempaskan cekalannya pada kerah kemeja Galaksi.
Oh, oke.
Apa itu tak cukup untuk membuat Galaksi bereaksi?
Ancala frustrasi. Dia tunjuk seraut wajah itu. "Aku juga kesel, nggak suka sama muka Bapak yang kayak gitu!"
Argh!
"Kesel banget ... ngeliat sosok yang jadi suami aku ternyata cowok yang sebelumnya aku pergokin pernah ciuman panas di waktu-waktu mepet hari pernikahan!"
Sialan.
Dada Ancala kembang kempis, tetapi Galaksi?
Maju selangkah, lelaki itu lalu melonggarkan dasi, menatap tepat di mata Ancala yang tajam memicing hingga alisnya bertaut.
"Ada yang bilang saya pengin rujuk?" Galaksi maju lagi. "Siapa?"
Ancala jadi mundur.
Makin maju. Fix, Ancala berbalik dan kabur ke sofa. Duduk di bagian paling sudut. Tentu, langkah Galaksi mengekori Ancala dan duduk di sisinya.
"Nggak mau jawab atau nggak bisa jawab?"
Ck, malah Ancala yang merasa diintimidasi.
"Nggak ada yang bilang, tapi keliatan jelas. Dari pertemuan kemarin aja sejelas itu, tuh. Apalagi interaksi kalian sebelum kita dijodohkan, termasuk pas sebelum kita nikah. Udahlah, ngaku aja. Di sini pun jadi tempat ketemuan, kan? Paling penting, aku sendiri, kok, yang liat kalian ci ...." Sejenak henti dan berdeham, Ancala melengos sebelum lanjutkan, "Sama-sama nyosor brutal waktu itu, aku liat. Jadi, nggak bisa ngelak."
Melotot, Ancala tersentak, saat di mana wajahnya diraih dan diarahkan agar menoleh kepada Galaksi.
"Lihat di mana?"
Artinya, benar terjadi. Ya, kan?
Bibir Ancala menyungging penuh permusuhan, meski Galaksi tak kelihatan banyak berekspresi.
"Di depan mata kepala aku sendirilah!"
Tak lantas dijawab, tetapi kedua lensa mereka terus bersua. Mengaitkan benang-benang rasa lewat sorotan mata, sadar atau tidak. Ada jantung yang mendebat dengan detakan gilanya, ada d**a yang berorasi dengan debar hebatnya, pun ... ada waktu yang dirasa seolah henti sesaat. Di mana Ancala pun membeku di tempat.
"Seperti ini?" Pelan dan membisik, menggelitik bibir Ancala dengan gerak bibirnya.
Tak tahu kapan tepatnya Ancala ketempelan bibir Galaksi, hari itu. Ancala kelolosan lagi, kecolongan lagi, dengan sapuan bibir yang bukan sekadar kecup, melainkan ....
Tu-tunggu!
Ancala sadar dan lalu mengambil gerakan menolak, menutup bibir rapat sebisa-bisa di saat ada lidah yang berusaha menginvasi. Namun, terlambat.
Bagaimana bisa ....
Bagaimana awal mulanya ....
Jantung Ancala dirasa mau meledak detik itu juga.
Sadar bahwa ciuman brutal itu sedang terjadi padanya. Sampai saat sekian menit berlalu, bibir Ancala dilepas, dilumat lagi sekilas, dengan sorot mata paling beda yang Galaksi punya, dia pun berkata, "Kalau itu yang kamu maksud ...."
Ada jeda sebab napas yang perlu diambil.
"Kamu lihatnya dari sudut mana?" Wajah Ancala ditangkup, dipegang tiap sisinya, dengan sorot mata yang masih saling bertaut. "Mana tahu bukan saya orangnya."
"Nggak mungkin ...."
"Sekali pun saya bilang ini yang pertama setelah sembilan tahun saya cuti ciuman?"
"Nggak percaya ...." Lirih suara Ancala. Menukik alisnya.
Karena kalau memang cuti 9 tahun, minimal kaku bin kembali amatir, kan? Tapi tadi ... ah, Ancala merah padam.