7. Malam Panjang

1400 Kata
Galaksi Bumi Semesta, tercatat kawin cerai di status KTP-nya, ada pula akta cerai yang meresmikan status duda lelaki 30 tahunan itu, sebelum hari H pernikahan dilaksana. Dari sana, sebetulnya ada banyak sekali pertanyaan di kepala Ancala, terlepas dari mengapa Pak Galak menerima perjodohannya? Oke, pertanyaan selain hal itu kabur sebab dia pikir, toh nggak cinta, toh ini cuma sementara bila pun jadi menikah, jadi nggak perlulah tahu tentang: Sudah berapa lama masa cerainya? Masih adakah ketertarikan pada mantan istri? Memang bagaimana ceritanya, kok, bisa bercerai? Minimal dari sana bisa menjadi patokan lanjut atau memaksa 'udahan.' Mana tahu cerai karena KDRT, kan? Terakhir, adakah anak dari pernikahan sebelumnya? Sungguh banyak, sebanyak itu tanda tanya besar di kepala Ancala. Normalnya. Andai dia tidak sentimen duluan dengan segala hal yang dirasa amat menyebalkan, mungkin pernikahannya dengan lelaki berstatus duda bisa mengalir damai, dimulai dengan sama-sama saling mengenal, mencoba jadi sosok yang tahu lebih banyak dari obrolan privat. Mengenai hal-hal pribadi di masa lalu itu. Ya, andai .... Andai Galaksi bukan mantan suaminya bu bos Ancala di tempat dia bekerja. Andai Galaksi dan Bu Sally tidak digosipkan pasangan gagal move on sewilayah perusahaan itu. Dan andai Ancala tidak pernah memergoki momen-momen kemesraan dua manusia itu, paling parah di saat ciuman brutal sewaktu sekian minggu lalu. "Besok-besok pakai sandal biasa aja, yang nggak memicu pergesekan sama tumit," katanya. Ancala terkesiap. Oh, ternyata dia sedang melamun. Menatap sosok Galaksi yang duduk bersila di lantai, sedang Ancala di ranjang, dan kakinya dipangkukan di paha Galaksi seraya diteliti lukanya. Pun, di setelah menelepon pegawai hotel untuk membawakan isi P3K. "Ini bakal berbekas," imbuh gerangan, tatapan Galaksi lantas naik menyoroti wajah Ancala. Mereka bertatapan. "Sedikit," katanya lagi. Ancala tak peduli, jujur. Dia bahkan tidak fokus pada lukanya di tumit akibat sepatu hak tinggi. Yang mana kaki Ancala mulai terasa dipijit, dengan mengecualikan tumit yang terluka tentunya. Oh, enak sekali. "Kamu suka alas kaki yang begitu?" Tiba-tiba pembicaraannya berganti. "Heels, maksudnya?" tukas Ancala, menegaskan. "Suka?" "Iya, kenapa?" "Meski bikin kaki jadi luka-luka?" Astaga. Lantas, apa poinnya? Tentang sepatu hak tinggi, Ancala mencerna tutur kata suaminya. Dan tentang suka atau tidak Ancala terhadap sepatu itu, bukankah jawabannya cuma iya dan tidak saja? Namun, Galaksi seperti menuntut jawaban lain. "Ya, iya ... lagian kalo pake heels, aku jadi kelihatan lebih cantik dan dewasa." Itu saja, sih. Menurutnya. Lantas, Galaksi berdiri. Kontan membuat Ancala mendongak demi menatapnya. Namun, tak ada balasan dari bibir lelaki itu, Galaksi justru melenggang. Oh, ternyata ada yang datang. Mungkin pegawai hotel yang sudi direpotkan malam-malam untuk segala jenis permintaan Galaksi? Yang tampaknya ada obrolan lagi di sana, Ancala tak ambil peduli, dia alihkan tatapannya pada kaki yang terluka akibat gesekan di sepatu hak tinggi. Yang membuatnya luka adalah model sepatunya yang bertumit, jadi tergesek-gesek saat dipakai jalan cukup lama. Well, pijatan Galaksi enak juga. "Cal, kamu belum mandi, kan?" Eh? "Atau saya dulu yang mandi?" Mengingat Galaksi memang dari saat pulang kerja sudah langsung meluncur ke sana kemari, itu pun dengan Ancala. Hari ini. Dan benar, Ancala belum mandi ketika dia menggeledah laptop suami. Ehm. "Harus banget mandi?" Agak mencebik, sudah malam soalnya. Sekitar jam setengah sembilan. "Kalau nggak, saya obatin sekarang lukanya." Oh, seperti itu. Oke, Ancala melenggang ke kamar mandi. "Sekalian wudu," imbuh Galaksi di detik Ancala menutup pintu itu. Ngomong-ngomong, Ancala tidak bawa baju ganti, Galaksi juga sama pasti. Sedangkan kalau memakai baju ini, Ancala yakin tak akan nyaman. Sepersekian detik berlalu, akhirnya itulah yang membuat baik Ancala maupun Galaksi memilih memakai bathrobe yang tersedia di lemari hotel. Mereka kelihatan serasi. *** "Duduk sini," kata Galaksi, menepuk sofa di sebelahnya. Ancala baru saja mau rebahan. Selesai mandi dan hanya dengan jubah handukan, rasanya ingin segera masuk selimut. Selain karena kurang PD, Ancala juga merasa tak ada yang perlu dilakukan lagi, terlebih bersama Galaksi. Ya, kan? "Makan dulu." Dan sejujurnya Ancala tidak lapar. "Kamu cuma makan pancake sedikit dan belum makan apa-apa lagi yang saya lihat." Memang, tetapi Ancala sudah makan nasi di rumah saat Galaksi belum pulang. "Sini, Cal." Oh, fine! Ancala pun mendekat, lalu duduk, yang memang sudah ada bungkusan makanan di meja. Entah kapan Galaksi memesan makanan, dan mungkin datangnya saat Ancala masih mandi. Dia akui, di kamar mandi agak lama tadi. Ngomong-ngomong .... "Bapak udah nelepon papa?" Sebutan 'mas'-nya seketika kabur entah ke mana. Mereka kembali ke setelan awal. "Udah." "Apa katanya?" "Nggak masalah selagi yang bawa kamu adalah suaminya." Yeu! Ancala berdecak. Menerima sodoran makanan dari Galaksi, sudah disiapkan, sudah ada sendok, bahkan air minumnya telah dibantu bukakan tutup botol itu. Bilang makasih nggak, ya? Ancala makan dalam diam, pun dengan Galaksi. Yang sesekali Ancala curi-curi pandang. Sementara itu, Galaksi memandang Ancala secara terang-terangan. Hei! Salting, lho, ini. Ancala ambil minum, padahal belum haus. Rasanya dia ingin melakukan pergerakan selain menyuap nasi ke mulut. Mendadak aktivitas itu jadi mengundang malu, padahal cuma makan. Why?! Makin tidak keruan rasa detakan di d**a, detik di mana sudut bibir Ancala dihinggapi ibu jari. Tentu, milik Galaksi. Tatapan mereka kontan bersua, lama. Ancala membeku, degan jatung yang sibuk bertalu-talu. Oh, lembut. Usapan jari Galaksi di bibir Ancala, atau bibir Ancala yang terasa lembut di ibu jari Galaksi. Seketika sadar, Ancala langsung menjauh. Berdeham-deham. Kelihatan jelas bahwa dia yang paling salah tingkah di sini. Sedangkan Galaksi cuma menunduk. Sudah begitu saja. Dan dengan begitu pun rasanya malam berlangsung lebih lama, malam yang panjang. "Suka nonton?" Thank's, God! Akhirnya ada suara dan bukan Ancala yang memulainya. Dia kikuk banget, lho! "Suka." "Mau nonton?" Saling menoleh, masih duduk di sofa, selepas makan malam mereka. "Nggak dulu, deh." Kayaknya lebih baik langsung tidur saja, ya, kan, supaya tahu-tahu matahari sudah terbit saja lagi. "Oh, ya, besok ke kampus dan ke kantor?" "Kantor aja." "Di kampusnya udah beres?" Terkait skripsi. "Belum. Dan belum waktunya bimbingan juga, masih aku garap." Itu pun tinggal bab akhir, sampai nanti Ancala bisa mendapatkan tanda tangan acc lanjut ke sidang skripsi. Galaksi manggut-manggut. "Perlu saya bantu?" "Nggak, makasih." Tentang 'bantu', Galaksi sudah sangat membantu Ancala. Catat! Lelaki itulah yang membuat Ancala dengan mudah mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan perhotelan seperti punya Bu Sally, padahal hanya untuk sementara dia mencari pengalaman dan ilmu dasar sebelum nanti debut di perusahaan keluarga sendiri. Papa yang menyuruh Ancala kerja dulu di perusahaan lain. Dan baru sekarang Ancala bisa menyimpulkan, rupanya sengaja toh memasukkan Ancala ke perusahaan itu. Supaya bisa sering-sering ketemu mantan, dengan alasan anak didiknya ada di sana? Cerdas sekali si Galaksi Galaksi ini. Dasar. Ancala jadi keki. "Cal, coba sini kakinya." Menepuk-nepuk paha. "Saya obatin yang tadi." Oh, iya, belum. Tapi .... "Nggak usah, deh. Luka kecil ini." "Sini." "Nggak usah." "Mau kamu yang letakin kakinya di sini atau saya yang ... pinter." Pemaksaan! Jadi, sebelum Galaksi selesai bertutur, segera saja Ancala melakukan apa yang pria itu mau. Daripada kakinya ditarik paksa, terus jubah handuknya tersibak, itu sangat berbahaya. Argh! Ternyata begini pun terasa bahaya, jantung Ancala tidak pernah tenang detaknya dan itu menyebalkan. Kenapa, sih? Tatapan Ancala fokus di wajah Galaksi, sedang Galaksi fokus pada luka kecil di tumit Ancala. Betul-betul digunakan obat dalam P3K-nya. Ditotol-totol. "Nggak usah diplester, ya, biar cepet kering." "Terserah." Galaksi melirik, Ancala melengos. Pipinya merah padam. Ya Tuhan ... kapan malam ini akan berlalu? Melihat jam, kenapa masih pukul sepuluh? Dan sekali pun itu pukul sebelas, saat sudah naik ke ranjang, kenapa kantuk tak kunjung datang? Malam itu. Ancala dan Galaksi tidur di bawah selimut yang sama seperti biasa. Bedanya, sekarang Ancala lebih gugup. Memegang erat-erat selimut. "Apa ...." Oke, Ancala memulai obrolan. "Apa nggak minta tolong pegawai hotel atau siapa buat bawain baju?" Galaksi menoleh, tubuhnya tetap telentang. Ancala pun begitu. "Menurut kamu?" "Ayo minta tolong aja!" Ancala alih jadi tidur menyamping. Galaksi langsung menutup mata dengan lengannya seraya berkata, "Saya ngantuk." Lho, lho ... memang dasar Galaksi ini tidak pernah 'tidak menyebalkan'. Ancala berdecak. Ya sudah, fine! Dia pun tidur memunggungi. Iya, malam itu. Sampai saat pagi datang, Ancala membuka lemari hendak mengambil pakaian kemarin yang dia ganti dengan bathrobe ini ... terdapat dua pasang piama senada di sana. Hal yang membuat mata Ancala memicing, sebelumnya dia ingat jelas baju-baju itu tak ada. Lantas, Ancala meraih dua setel baju tidur tersebut, kemudian berbalik pada sosok yang masih duduk santai di ranjang sambil bersandar, memainkan ponsel. Gegas saja Ancala mendekat dengan brutal sambil dia hempaskan dua pasang pakaian itu, tepat mengenai pangkuan Galaksi. Ancala bilang, "Ini apa?!" Mereka bertatapan. Tanpa dijelaskan, kalian paham apa yang ada di pikiran Ancala, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN