"Jadi kalian nikah muda?"
"Iya, lulus SMA saya langsung menikahi Sally."
Tatapan Ancala lalu bergulir menyisir tiap detail ruang apartemen itu, yang mana dia dan Galaksi masih di sana, belum melakukan apa pun yang disebut 'beres-beres' karena entah bagaimana alurnya jadi mengalir ke sini selepas ciuman brutal tadi.
Ehm.
Demikian itu, detak jantung Ancala masih hebat berdegup. Dag-dig-dug-nya tidak biasa. Membuat Ancala kehabisan kepercayaan bahwa dirinya tidak jatuh cinta.
Bilapun sudah jatuh dan cinta kepada Galaksi, bukan berarti prosesnya ekspres. Perasaan ini seolah cepat hadir bukan karena 'cepat.' Namun, ada kisah di masa lalu yang Ancala pikir hanya dia yang tahu, perihal bagaimana hati ini pernah terbang dan jatuh hingga patah ....
Tapi nggak sedrama itu, sih.
Ini hanya tentang perasaan yang timbul tenggelam, timbul lagi.
"Dan di sini tempat kalian dulu?" Sambil menoleh menatap Galaksi.
Di detik yang sama Galaksi juga menoleh. Mereka bertatapan.
"Iya."
Hening menjadi jeda dan hanya mata yang bicara.
"Oh ...." Ancala mengalihkan tatapannya. Mendadak hatinya seperti dicubit, padahal wajar, kan? Bu Sally dan Galaksi tinggal di sini itu pun dulu saat mereka masih suami istri.
"Dan saya masih tinggal di sini sampai saat kita menikah."
Rupanya masih berlanjut, kali ini bukan karena Ancala yang bertanya, tetapi Galaksi sendiri yang bicara memberitahukan kisahnya. Dia menyandarkan punggung ke sandaran sofa, menatap jam dinding menuju magrib tiba.
"Kita itu ...."
"Saya sama kamu," jelas Galaksi.
Bertatapan lagi.
Ancala mengangguk-angguk sambil mengalihkan pandangannya kembali.
Satu hal yang pasti dan ini sangat mengganggu, Ancala kedapatan sebuah tanya di kepala; kalau begitu, kenapa setelah menikah dengannya Galaksi tidak ada obrolan atau sekadar basa basi buat ngajak dia tinggal di sini?
Dan katanya, mau beres-beres?
Apanya yang dibereskan? Atau setelah itu nanti akan ada ajakan tinggal bersama di apartemen ini? Atau jangan-jangan dibereskan agar tempatnya bisa Galaksi hibahkan total kepada sang mantan?
Ancala melirik Galaksi lagi, ternyata masih awet memandangnya.
"Saya lagi coba baca pikiran kamu."
Oh, well ....
"Terus apa yang aku pikirin?"
Galaksi malah berdiri. "Ayo."
Ancala tidak mengerti. Rasanya di sini yang harus punya keterampilan membaca pikiran orang lain adalah dirinya sendiri, bukan Galaksi.
"Cal, ayo."
Diulangi, dijak beranjak. Ancala lantas berdiri dan mengikuti, sambil matanya lurus-lurus memandang punggung lebar itu. Yang pernah jadi sandaran Bu Sally, eh?
Ancala berdecak samar. Nasib nikah sama duda cerai, pikirannya jadi negatif teruskah? Ditambah dengan tidak adanya obrolan soal hati, pernikahan ini terjadi karena negosiasi papa dan Galaksi, berkedok perjodohan.
Fix, Ancala korban.
"Kalau ada yang ingin ditanyakan, tanyakan saja."
Tepat di depan sebuah pintu yang Ancala yakini bahwa itu adalah kamar utama apartemen ini. Kamar yang mungkin dulu merupakan tempat malam penuh gairah antara Galaksi dan Bu Sally. Bisa jadi. Yang katanya ganas kalau di ranjang. Ancala mendecih.
Hal yang membuat Galaksi berbalik, menatap Ancala di sebelum dia buka handel pintunya.
"Apa?" tanya Ancala.
"Ini nggak seperti yang kamu pikirkan."
Oh, hell ....
"Emang apa yang aku pikirin?" Dari tadi Ancala diajak bicara yang penuh teka-teki.
Tuh, kan, nggak dijawab lagi. Triple sialan. Fernando selalu saja membuat Rosalinda merana dengan tutur kata penuh tanda tanyanya.
Pintu dibuka.
Belum selesai kekesalan itu hinggapi Ancala, sekarang dia ... mematung di helaan napas tercekatnya, dengan sorot mata lurus pada sebuah bingkai keluarga bahagia.
"Saya mau beresin tempat ini." Sambil berbalik, Galaksi lantas dihadapkan pada sosok Ancala yang bergeming. Sontak dia alihkan pandangan pada apa yang jadi pusat perhatian Ancala. "Itu ... harusnya udah nggak di situ."
Sorot mata Ancala bergulir pada Galaksi. Putri Bumantara yang saat ini berusia 21 tahun itu pun bereaksi.
"Ini salah aku yang nggak nanya, entah papa aku udah tau apa belum ...." Dan Ancala ingin marah, tetapi marah kepada siapa? Galaksi? Yang ngebet di perjodohan ini, kan, papa Ancala. Terus kalaupun boleh dia marah kepada Galaksi, salah sendiri nggak menyeriusi hubungan pernikahan yang diawali dengan perjodohan ini sehingga apa-apa yang tersaji, Ancala seakan tak punya hak untuk memarahi.
Ibarat kata gini; kalau saja saat hari H menikah, lalu esok hari Ancala mau menerima perubahan statusnya, termasuk menerima Galaksi terlepas dari siapa mantannya, habis itu dibuatlah perjanjian lisan--atau sekadar obrolan--bila kelak Ancala berhak marah atas apa pun hal yang membuatnya sakit hati sebagai istri--jika malu mengakui bahwa hatinya sudah jatuh dan cinta--minimal nggak perlu gengsi untuk berkata bahwa dia tersinggung, dia tidak suka, dan dia marah melihat masih adanya barang berharga Galaksi dengan Bu Sally. Kalaupun mau memiliki itu, harusnya disimpan di tempat paling tersembunyi, bukan dipajang di sini ....
Dan tentang foto itu, foto keluarga. Ada sosok ayah, ibu, dan anak mereka. Minimal kalau Ancala berpasrah sejak awal menikah, tidak menentang dan tidak berlagak tak mau tahu, mungkin dia akan mengorek masa lalu Galaksi--minimal tidak akan kaget lagi saat melihat foto keluarga kecil itu di sini, kemudian tak akan terasa pahit ketika akhirnya tahu bahwa lelaki itu seorang duda anak satu ... hingga kini tidak akan merasa tertipu.
Masih tercekat, Ancala bertanya, "Sekarang di mana anaknya?"
Ya, Galaksi duda anak satu.
Sebagaimana di foto itu.
Demikian isi pikiran Ancala.
Dan Ancala tidak tahu apa papa melewatkan ini atau memang tak ambil peduli? Kriteria suami untuk sang putri sebebas ini. Atau apa?
Kian rumit benang kusut di kepala Ancala, ditambah sekarang hatinya berdebar semrawut.
Cemburu.
Ancala akui. Foto di sana adalah gambaran dari keluarga bahagia, ada Galaksi sebagai sosok ayah dan Sally sebagai ibu, lalu di tengah mereka duduk seorang anak laki-laki yang masih balita. Paling penting, fotonya apik dipajang di kamar yang dulu pernah menjadi saksi bisu kisah cinta mereka, juga apartemen ini merupakan tempat Galaksi tinggal bahkan di setelah perceraian. Itu berarti--
"Saya belum punya anak."
Kening Ancala kontan mengerut, jelas-jelas foto itu ... Galaksi beranjak dan tampak tetap tenang walau Ancala sudah terlihat mengetatkan geraham. Diambilnya oleh Galaksi, foto dia dan Sally beserta balita di dalamnya, Galaksi pandangi.
"Ini keponakannya Sally, waktu itu dititipkan kepada kami."
Ancala masih mematung berdiri, menatap Galaksi yang meletakkan foto tersebut di laci.
"Fotonya bukan saya yang simpan, dan bukan saya yang majang di situ. Ini sering terjadi," katanya, agak menggumam di bagian akhir kalimat.
Galaksi lantas mendekat. "Pikiran kamu belum terlalu jauh, kan?"
Gila.
Ancala bisa gila kalau begini ceritanya.
Tambah gila karena dia telanjur cinta kepada laki-laki yang penuh misteri, hingga nanti entah dia sanggup atau tidak mendengarkan kisahnya, demi meleburkan sisi misterius itu. Pada dasarnya, Ancala dengan Galaksi memang belum saling mengenal, kan?
Wajar kalau dirasa sangat penuh teka-teki.
Sejatinya ini bukan tentang misteri, tetapi tentang seberapa jauh suami-istri mengenali sosok masing-masing diri, dan mereka baru akan memulai sesi pengenalan itu di waktu yang terlalu 'tua' pada sebuah hubungan yang teramat 'dini.'
Saat tangan Galaksi terjulur, sebab tanpa sadar air mata Ancala jatuh basahi pipi, lalu dia mundur teratur, Galaksi senyum dan berhenti.
See!
Bisa-bisanya cowok itu senyum di saat Ancala terpukul begini?
"Maaf kalau semua ini bikin kamu sakit hati, tapi saya pengin kamu tahu semuanya dan kita mulai dari sini ...."
Semuanya.
Ancala mengerjap.
Apa ada lagi selain foto itu?
Galaksi berlalu, seolah yakin Ancala tidak akan kabur, dia merasa telah membuat Ancala penasaran dan itulah yang membuat Ancala menetap sekarang. Memandang lurus pada Galaksi yang mulai membuka pintu lemari, hati Ancala dibuat kebat-kebit lagi.
Dan kini, mencelus hati itu. Ancala menggigit bibir bagian dalamnya ....
"Sally nggak mau bawa barang-barangnya setelah perceraian kami."
Dan itu lama sekali.
Tentang isi lemari ....
"Sedang saya nggak ada waktu untuk mendebatnya, barang-barang ini tetap kembali, seperti foto tadi."
Ada begitu banyak pakaian perempuan di sana, sudah dipastikan milik Bu Sally, sang mantan Galaksi. Yang itu artinya, kamar ini, apartemen ini ....
"Dan nggak mudah untuk saya meninggalkan tempat ini."
Mata itu, sorotannya, jenis tatap yang Galaksi beri, dengan sorot mata Ancala di sini, dalam jarak yang dipertipis oleh Galaksi.
"Maaf. Belum apa-apa sudah bikin kamu kecewa."
Ancala menelan kelat saliva.
Kecewa, ya?
Dan bila memang iya, lantas ....
"Apa tujuan Bapak ngajak aku ke sini dan memperlihatkan semua itu? Jadi, beres-beresnya cuma alibi, ya?"
"Supaya nggak keduluan sama Sally."
Well ....
"Kayak yang kamu bilang, di hotel kemarin Sally sudah melebih-lebihkan. Soal beres-beres, saya serius. Ayo, atau jadi nggak mood?"
"Beres-beres barangnya Bu Sally?" Agak sinis nada suara Ancala, pun dengan tatapannya. "Yang berantakan itu kalian, kenapa jadi aku yang harus bantu beresin? Dan kenapa baru sekarang diberesinnya? Pak, sembilan tahunnya ngapain aja?" Ancala yang terguncang tadi telah berganti dengan sosok Ancala yang berani maju melempar intimidasi.
Membuat Galaksi geming di di tempat. Walau tak sampai mundur karena Ancala bergerak maju, tetapi Ancala cukup puas dengan keterdiaman lelaki itu saat ini.
"Beresin sendiri, atau sana ajak Bu Sally. Dari apa yang terjadi hari ini, aku justru makin mikir ... kalian, kok, cocok banget pake segala gagal move on sedalem ini. Sialannya, aku jadi rugi banyak."
Dada Ancala kembang kempis emosi. Mendongak menatap Galaksi.
"Oh, ya ... jangan salah paham sama air mata aku yang tadi. Bukannya kecewa atau gimana, tapi kesel aja karena aku bener-bener rugi. RU-GI."
Geraham Ancala mengetat lagi, saling menekan atas dan bawah, terlebih saat raut Galaksi tampak setenang ini ....
Hei!
"Itu saja?"
Ancala mendelik.
"Kesimpulannya di luar ekspektasi saya." Galaksi meraih lengan Ancala, alis gadis itu sampai menukik. "Salah saya yang kurang mahir berkomunikasi."
"Lepas."
"Dan kalau dilepas, kamu mau pergi?" Galaksi senyum lagi. "Bantu saya dulu, ada banyak barang yang harus saya pindahin ke rumah kamu."
Ancala berdecih. "Sebaiknya nggak perlu. Dan lagi, jangan menuh-menuhin rumah aku dengan barang Bapak di saat Bapak, tuh, cuma numpang di sana!"
Paham?
Cekalan itu mengendur.
Meski raut Galaksi tak terlihat banyak ekspresi.
Oh, argh!
Ancala keki dan ... kenapa sekarang malah jadi nggak enak hati?
Perkara tempat tinggal, sejak ijab sah dilaksana, Galaksi memang tinggal di rumah Bumantara yang Ancala bilang 'cuma numpang.'
Ah, terserah, deh!
"Ancala."
Langkah itu terhenti.
Masih di area apartemen Galaksi.
Mendadak jadi beku dan menakutkan untuk Ancala yang dirasa salah bicara, dia menggigit lidahnya. Kelu. Baru saja mau pergi dari tempat itu, peduli setan atas apa yang terjadi di waktu menuju azan magrib tiba.
"Ada barang kamu juga di sini."
Oh ....
Ya?