5. Hotel

1377 Kata
Gengsi. Satu kata yang membuat Ancala menolak menerima ponsel suami untuk dia geledah sendiri. Tahulah, ya, alasannya kenapa. Selain karena takut dikira tertarik, Ancala juga malu jikalau dia yang tak menyenangi gagasan perjodohan itu malah jadi pro aktif, sampai-sampai mau tahu banyak hal tentang Galaksi. Hingga tiba di mana ponsel dalam genggaman Ancala itu bergetar, yang semula hendak dia kembalikan kepada empunya, di depan Galaksi, sama-sama menatap layar ponselnya, tertera nama Sally di sana. Praktis sudut bibir Ancala tersungging miring. "Akrab bener sama mantan. Nih!" Dia kembalikan. Lantas, ponsel itu sudah fix beralih tangan. Yang Galaksi angkat panggilannya, dengan tanpa menatap Ancala, Galaksi pun melenggang keluar kamar. Oh .... Bisa disebut berengsek, nggak, tuh? Ancala menggigit bibir bawahnya, tatapan lurus ke daun pintu yang Galaksi tutup dari sana. Rasanya, pasokan udara mulai menipis. Sungguh, Ancala tidak suka. Tapi, ya ... ngapain juga? Ini bukan karena cinta, kok. Hanya sebuah rasa dari ketersinggungan seorang wanita yang statusnya adalah istri, tetapi levelnya di bawah mantan. Iya, Ancala cuma tersinggung. Makanya dia manyun. "Cal." Sudah selesai? Galaksi masuk lagi. Di sini, Ancala menoleh dengan raut yang diatur sebiasa mungkin. "Saya mau ke luar dulu bentar--" "Lama juga nggak masalah," pangkasnya. Mata sebening telaga mereka bersua. Kilatnya berbeda. Sorotan Galaksi tampak menelisik, sedang Ancala seperti tidak tertarik. Detik itu, Galaksi ambil kunci mobilnya. Dompet. Oh, dia benar-benar mau keluar. Ancala melengos di waktu Galaksi mendekat, seperti hendak melintasinya, tetapi rupanya Galaksi berhenti tepat di depan Ancala. Bukan sekadar mau lewat. "Ap--" Bibir itu rapat serapat-rapatnya, padahal huruf terakhir dari satu kata yang mau Ancala ucapkan adalah A. Ya, jelas! Galaksi mencuri kecupannya tepat di bibir. Yang tanpa perlu dia ingatkan, perihal Galaksi adalah sosok yang kurang sopan. Dan, pencuri yang andal. "Nggak mau ikut?" Baru juga mau meledak-ledak memprotes perihal kecup, tetapi ... ikut? Ketemu Bu Sally? Mengingat di sebelum hari H pernikahan, Ancala pernah mengultimatum agar hubungan ini dirahasiakan, tetapi bila sekarang sudah tak ada rahasia itu lagi, waktu hari H menikah saja Bu Sally diundang, jadi? Well, besok Ancala sudah harus kembali bekerja di perusahaan beliau, masa cutinya hanya sebentar, toh ini pernikahan yang tidak diinginkan, wajar kalau nggak mau cuti lama-lama, di rumah pun bosan sebab mau itu berduaan dengan orang yang sudah jadi suami, bukannya menyenangkan malah membagongkan. "Sepuluh menit." Dalam arti, ikut. Galaksi mengangguk-angguk. "Saya tunggu di luar." Ya, jadi ... ikut saja. Penasaran juga. Di samping itu, Ancala tertantang. Perihal mantan istri Bapak Galaksi. Ini bukan karena sudah cinta, lho! *** Dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi, gerak mata Galaksi membuat Ancala risi, seperti sedang men-scan penampilannya. Iya, sih. Ancala sengaja tampil maksimal. Kan, yang mau ditemui itu mantannya suami, jadi dia pikir harus lebih oke. Mana tahu nanti Bu Sally juga dandan, kan? Oh, ya, ini bukan karena sudah jatuh cinta. Tolong dicatat lagi. "Cantik betul anak Papa. Mau kencankah?" Nah, tuh. Di-notice papa. Ancala menoleh. Baru mau mangap, eh, sudah ada yang menjawab. "Kami pergi dulu, ya, Pa." Sambil menghampiri dan mencium tangan orang tua Cala dengan takzim, lalu bilang salam sebagai akhiran. Tentu, Ancala mengikuti jejaknya. Sementara itu, papa mesem-mesem. Eh, eh, kok, berasa diledek, ya? "Jangan kegeeran, aku dandan cantik gini bukan buat nyenengin Bapak." Di tengah sunyi, di dalam mobil, Ancala salah tingkah sebab dari tadi sepertinya ada yang curi-curi pandang. Atau justru Ancala yang kegeeran? Makanya itu dia nyeletuk yang bukan-bukan. Argh! "Oh." Apa itu 'oh'? "Iya." Gitu doang lanjutannya? Ancala mau mendelik, tetapi malaslah. Nanti dikira tidak terima dengan responsnya, terus dicap salah tingkah, meskipun iya. Saat ini Ancala memakai dress selutut, motifnya bunga-bunga kecil, dominan warna pastel. Yang membuatnya maksimal adalah riasan di wajah, Ancala agak ber-make up. Biasanya kalau ke mana-mana paling lipstik dan bedak. Kali ini diukir alisnya, makanya tadi menghabiskan waktu lebih dari sepuluh menit. Ehm. "Udah nyampe?" Ancala tengok kiri dan kanan, mobil berhenti di sebuah restoran. "Iya." Sambil membuka sabuk pengaman, lalu turun duluan, yang Ancala susul dan hendak buka pintu mobil bagiannya, ternyata didahului oleh Pak Galak dari luar. Seakan berkata 'silakan.' Ancala kini berjalan di sisi lelaki itu, menyetarainya. Oh, atau Galaksi yang melangkah menyejajarkan pijakan Ancala? Oke, sudah sampai di dalam resto tersebut. Mana, tuh, bu mantan? By the way, kalau ikut gini, terus Ancala ngapain, ya? Salah tidak, sih, dia ikut? Namun, sebentar .... "Maaf saya terlambat." Itu suara Galaksi, teruntuk mereka. Dan mereka itu ... siapa? Ancala dipersilakan duduk oleh gerak tangan Galaksi yang menarikkan kursi untuknya, tepat di sisi gerangan. Ah, iya .... "Ini istri saya. Ancala." Tanpa basa-basi, langsung diperkenalkan di detik Ancala telah duduk di antara para lelaki berdasi. Oh, well .... "Ancala ...." Kikuk, memperkenalkan dirinya kepada mereka, sebagai sosok perempuan satu-satunya di sana. Ancala melirik Galaksi, dari sorot matanya ini berarti menuntut sebuah tanya yang perlu dijawab. Bukan mau meet sama Bu Sally, eh? Yang disenyumi amat manis oleh pria di sisinya. Senyuman pertama dari seorang Galaksi yang Ancala lihat 'benar' kali ini. Nah, seperti itu dong kalau senyum. Tapi tetap, rasanya menyebalkan! "Mau pesan apa?" Ancala diam sejenak. Dia diberi buku menu. Yeah, paham, kok. Di depan umum, bagaimanapun dia mesti jaga sikap, se-bad mood apa pun kepada sosok Galaksi. "Milkshake aja." "Strawberry?" Ancala mengangguk. "Makanannya?" "Pancake." "Cokelat?" "Stroberi." Gantian, Galaksi yang mengangguk. "Ada lagi?" "Itu aja." Di mana setelahnya, Galaksi menyebutkan apa hal yang Ancala ingin kepada pelayan, sekaligus pesanannya. Espreso. Sedangkan dua partner kerjanya sudah memesan lebih dulu. Tak lama, pesanan mereka tiba. Pun, sepersekian menit berlangsung, Ancala bosan. Sejak tadi dia hanya diam sebab .... "Saya yakin kerja sama kita akan memberikan dampak baik bagi kedua belah pihak, membangun vila di kawasan desa wisata itu target marketnya luas." Ancala hanya jadi pendengar di sana. Obat nyamuk kali, ya? Sedang ternyata, pertemuan ini adalah jenis temu para pekerja. Ah, tahu begini tadi Ancala tidak usah ikut. Galaksi memang tidak lembur, dia pulang cepat hari itu, tetapi lanjut dengan meeting di luar. Ancala menghela napas samar. Untunglah minuman pesanannya sudah datang dan pancake-nya enak. Walau jadi kurang bernafsu. Iya, Ancala masih belum sampai di level itu kapasitas otaknya. Dia masih begitu awam. Skripsi saja masih belum acc sidang, pekerjaan di perusahaan Bu Sally pun jabatannya bukan yang tinggi, betul-betul masih anak bawang. "Mungkin nanti bikin kayak sejenis home stay gitu, Pak." "Bangunan yang aesthetic atau bergaya klasik, lokasinya pas di pegunungan, kan?" imbuh yang lainnya. "Kira-kira kapan kami bisa survey?" tanya Galaksi, setelah mengangguk-angguk setuju. Demikian itu, Ancala tetap pasang telinga. Penasaran juga. Terlebih yang mereka bicarakan menyangkut proyeknya Bumantara Group. Selain hotel, ternyata bisnis BM sudah menjarah ke vila. Ancala baru tahu. Oh, atau ini bisnis baru? Dan Galaksi yang membuat kolamnya. Menuju area pariwisata. Namun, dari semua itu, satu hal yang baru Ancala sadari sejak tadi dia duduk di sini, yakni gerakan spontan Galaksi di detik Ancala makan pancake dan selainya melenceng keluar garis bibir, tahu-tahu sudah disodorkan tisu. Saat Ancala menerima tisu itu sambil menatap wajah Galaksi, ternyata tatapannya tetap fokus pada lawan bicara, pun obrolan mereka masih aman berlanjut. Itu baru tentang tisu. Belum soal air mineral. Saat Ancala merasa enek dengan perpaduan manis stroberi dari pancake dan milkshake, dia masih celingak-celinguk, masih berpikir untuk mengambil air mineral atau tidak, tetapi Galaksi ... tahu-tahu menjeda obrolan dan pamit sebentar untuk mengambilkan air mineral di showcase, yang diletakkannya di depan Ancala. Tanpa kata. Selain melanjutkan obrolan bersama rekan yang sempat dia tunda. Jadi, sekarang ini ... wajar nggak, sih, kalau pipi Ancala memanas? Di waktu ketiga kali, saat Ancala menyalakan ponsel dan sekadar mau lihat sudah jam berapa, detik itulah Ancala mendengar Galaksi menyudahi rapatnya. Demi Ancala? Iyakah? "Pulang?" Oh, sudah di mobil. Galaksi sudah memasang sabuk pengaman, pun dengan Ancala. "Ada satu pertemuan lagi." Makanya itu dia bilang mau lembur? Tapi karena Ancala mematikan teleponnya saat di kantor, Galaksi lantas pulang. Begitu, ya? Suara batin Ancala yang menduga-duga sendiri, menyimpulkan sendiri, dan ... kok, malah salah tingkah sendiri? Hei! Ancala berdeham. "Aku mau pulang." Yang sebelumnya masih suka terselip 'saya-sayaan' sekarang sudah 'aku-akuan'. Galaksi senyum tipis. Tipis sekali. "Tadi katanya mau ikut?" Menanggapi itu, Ancala mendengkus. "Tanggung juga, ikut saja. Kali ini ketemuannya di hotel, kok." Ancala melirik, sedangkan tatapan Galaksi lurus ke jalanan. Juga mengimbuhkan, "Jadi kamu bisa check in buat istirahat, sementara saya menghadap Sally." Ide bagus. Eh, apa tadi katanya? Sally?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN