4. Krisis Mental

1790 Kata
Sekadar informasi, tawa yang keluar dari Alam Semesta bukanlah jenis merasa lucu atas sosok Ancala yang disebut unik oleh Galaksi, melainkan tawa yang tak habis pikir dengan sosok putranya. Hingga kini di malam itu .... "Sejak kapan?" Galaksi menoleh. Papi menuangkan air dari botol ke gelasnya. "Pasti udah lama banget, ya, mendem?" Sejujurnya Galaksi belum paham. Dia meneguk air langsung dari mulut botolnya. Papi bilang, "Kamu emang agak nggak bisa ditebak, tapi sedikitnya Papi masih inget gimana kamu waktu pertama kali naksir cewek dulu." Oh, itu .... Papi berlalu. Meninggalkan Galaksi yang masih larut dalam diamnya, menatap punggung tua papi yang sudah luput ditelan daun pintu. Lantas, Galaksi pun kembali menenggak air minumnya. Sedangkan, di lain tempat. Ancala uring-uringan. Orang tua Galaksi sepertinya tak ada tanda-tanda mau menyalakan lampu merah, sampai akhir pertemuan tadi pun tetap ramah, Ancala bahkan dipeluk Mami Rana saat pamitan. Sebetulnya apa yang salah, ya? Diingatnya lagi obrolan pada pertemuan pagi tadi .... "Jadi, Cala ini putrinya bos Galaksi, ya? Duh, pantas aja Gala betah banget kerja di sana, naksir anaknya bos ternyata." Seraya haha-hihi. "Padahal abangnya udah minta Gala buat gabung di perusahaan keluarga, lho." Mami Rana berkata. "Terus, udah berapa lama pacarannya, nih?" Ancala nyaris tersedak, lalu dia meringis sungkan dan bilang, "Sebetulnya kami dijodohkan, Tan--" "Mami." "Ah, iya, Mami ...." Ancala berdeham. "Kami dijodohkan." Yang tampaknya tentang itu tidak Pak Galak sampaikan. Detik di mana Ancala melirik sosok tersebut, sama sekali tidak ada reaksi berarti, tak juga membalas ucapan Ancala, justru masih asyik memakan kuenya. Hei! "Oalah ...." Mami Rana terdengar agak kecewa. Bagus, bagus. Ancala senyum manis kemudian. Dia hanya tinggal mengadu bahwa sebetulnya ... "Cala--" "Cemburu. Ancala sering lihat Gala ngobrol sama Sally." Eh, bentar. Galaksi nyeletuk, "Karena itu Ancala hari ini bikin siasat supaya niat baik Gala yang nerima perjodohannya, dibatalkan." Hell, niat baik? Mereka bertatapan, Ancala dan Galaksi. Di tengah sorot mata mami dan papi gerangan yang sedang memahami dalam diam. "Gitu, kan, Cal?" Sudut bibir pria itu tersungging. Ancala merinding. Sejatinya, Cala yakin orang tua Pak Galaksi memahami kondisi yang tersaji. Tentang Ancala yang tidak berkenan atas hubungan itu, juga pertentangannya terkait ucapan putra mereka. Ancala ingat betul bahwa dia menunjukkan ketidaktertarikan, bahkan sempat dilihat sorot kecewa di mata Mami Rana, meski tidak sampai pada Papi Alam--yang kelihatan biasa saja. Atau pura-pura biasa? Di mana setelah itu obrolannya mengalir jauh dari persoalan hubungan, perjodohan, dan apalah itu. Tiba-tiba Ancala diajak ngobrol soal hobi, pendidikan, bidang apa yang sedang digeluti, lalu kabar orang tua, berikut impian-impian. Mengalir saja begitu. Kemudian saat pamitan, Mami Rana memeluk. Di situ Ancala merasa sangat bersalah, entah mengapa. Juga tak tampak di wajah-wajah orang tua Pak Galak tentang penolakan serupa dengannya, nolak Ancala gitu maksudnya. Nihil. Ah, sudahlah. Ancala tidur saja. Di mana pada kediaman Semesta, Galaksi baru saja mau masuk kamar, eh, ada mami ternyata. Menahannya untuk sekadar berucap, "Mami sama papi nggak akan ikut campur, kamu udah gede, udah mateng, pasti bisa ngurus urusan kamu sendiri. Cuma mau bilang, apa pun itu nanti, jangan ngulang kesalahan yang sama." Ditepuknya pundak Galaksi, mami agak mendongak, dengan senyum paling teduh yang beliau berikan. *** Tentang di sebelum hari pernikahan berlangsung, sudah usai. Kini saat mata Ancala terbuka, yang kemarin itu dirasa mimpi belaka, tetapi patah arang di saat kepalanya menoleh pada sisi kanan kasur, seorang laki-laki tampan sedang terpejam, adalah sosok yang ke depannya akan selalu jadi pemandangan pertama di detik Ancala bangun tidur. Oke, ini nyata. Ancala memejam sekali lagi dan membuka mata berulang, pemandangannya tetap sama. Sialan! "Jam berapa?" Allahu! Kaget. Ancala terkesiap. Takut kepergok sedang memandang wajah itu. "Liat jam aja sendiri," ketusnya. Ancala pun berlalu, mengucir rambut, lalu masuk kamar mandi. Oke, Galaksi menggeliat. Menoleh kiri dan kanan mencari letak jam. Rupanya sudah pukul lima pagi. Galaksi tak ke mana-mana, dia duduk bersandar di kepala ranjang, memainkan ponselnya. Terdapat beberapa panggilan tidak terjawab di notifikasi, ada pula pesan singkat dari kontak serupa yang menyertai. Sally: Perasaan aku nggak enak, Gal. Sally: Ngebayangin bahwa itu bukan aku. Sally: Sorry. Galaksi meletakkan lagi ponselnya di nakas, tepat saat itu Ancala keluar dari kamar mandi. "Kamu salat?" Mendengarnya, Ancala praktis mendelik. Maksudnya apa, tuh? "Aku muslim, ya, salatlah!" Kok, bawa-bawa religi? Dan sejatinya Ancala salah memahami. "Tunggu." Galaksi lekas beranjak. "Saya imamin." Persetan. Mood Cala sudah telanjur terjun perkara ditanyai 'kamu salat?' Itu sensitif, khususnya bagi Ancala yang kurang menyenangi Galaksi. Begini, nadanya pun terdengar tidak sedap, jadi tersinggung saja bawaannya. Bukan karena lebay, lho, ya! Dahlah. Pakai mukena dulu. Yang anehnya, malah berdesir di detik kumandang takbir Ancala dengar saat di depannya Galaksi sudah berposisi sebagai imam salat. Apakah boleh ibadah sambil deg-deg-ser begini? Lantunan ayat sucinya .... Ancala malah fokus ke sana. Bukannya apa, tetapi sosok Galaksi sama sekali tak tampak ada tampang-tampang religi. Oke, sekarang pikiran Ancala pun bukanya khusyuk kepada Allah, malah traveling pada segala hal soal pria di depannya. Kalian pernah? Ancala sedang berada di fase itu. Sampai akhirnya, tiba di bagian salam. Lepas itu, Galaksi berbalik memberikan juluran tangan yang hanya Ancala tatap dalam geming. Apa, nih? Tangan Ancala diraih seketika, digerakkan oleh suami--argh! Sampai punggung tangan Galaksi menempel di bibir. "Oh, ya, hari ini saya tetep ke kantor." Ancala mendongak. Masing-masing sudah berdiri. "Kalau kamu cuti?" Itu pertanyaan, tetapi sebetulnya lebih terdengar bagai pernyataan. "Iya." "Berapa hari?" "Satu." Yang satu singkat, satunya jutek. Bedanya, yang satu tabiat, satu lagi disengaja. "Ya sudah, akhir pekan aja kita ke rumah papi." Diletakkannya peralatan salat di atas mukena Ancala, lalu Galaksi ngeluyur ambil handuk. Paham, kok. Cuti di sini adalah absen kuliah. Galaksi menikahi Ancala bukan di hari liburnya. Seperti itu. Ancala menghela napas panjang. Sadar bahwa diri ini sudah melewati rangkaian pernikahan dengan seseorang yang pernah dia saksikan betapa panasnya sebuah ciuman bersama sang mantan. Sekali lagi, sialan! Namun, itu belum seberapa ternyata. Belum sesialan saat selepas sarapan papa dan Galaksi meluncur ke ruang kerja, lalu menit demi menitnya berlalu, Ancala hendak lewati area depan ruangan itu dan tak sengaja mendengar papanya bicara .... "Bumantara Group dan Ancala adalah dua hal yang sangat berharga bagi saya, dan sekarang sudah kamu miliki. Jadi ...." Ancala mematung di sisi pintu yang terbuka sedikit, keningnya agak mengernyit, yang kedengaran walau samar papa lanjut berkata, "Tepati janji kamu, Galaksi." Adalah hal yang membuat tangan Ancala mengepal. Erat sekali. Pun, tatapannya menajam, menelisik. Apa maksudnya? Dia sampai urung meneruskan langkah, memilih putar balik, lalu kembali duduk di kursi makannya. Detik itu, tatapan Ancala untuk Galaksi jadi bukan sekadar tidak menyukai, tetapi bertabur waspada. Jangan-jangan sebenarnya papa punya utang dan Ancala berikut BM Group adalah bayarannya? Begitu? Makanya papa nggak masalah putri semata wayangnya dinikah oleh seorang duda? Kawin cerai pula. Wah .... Negosiasi apa yang sudah Ancala lewati? "Saya berangkat dulu," katanya, dan itu Galaksi. Menghampiri Ancala. "Lho, masih saya-sayaan bahasanya?" Disusul suara papa. Ancala menoleh. Papa tersenyum geli, seakan meledek wajar pasangan pengantin baru yang Ancala ketahui akibat negosiasi berkedok perjodohan ini. Lantas, tatapan Ancala dan Galaksi bertemu. Pun, hanya itu. Ancala berlalu. Sontak saja sorot mata Galaksi alih kepada mertua, di sana papa Ancala mendengkus. "Gimanapun Cala masih anak-anak, ya?" decaknya. Papa Ancala mendekati Galaksi dan lanjut bertutur, "Seperti apa yang Papa ucapkan tadi ...." Oh, bahkan sudah tidak saya-sayaan lagi. Papa Ancala menyebut diri sendiri sebagai papa kepada Galaksi. Berarti ada banyak hal yang dibicarakan pagi ini di ruang kerja itu. "Sabar." *** Galaksi melonggarkan dasi, di ruang kerja perusahaan Bumantara pada jam istirahat. Seperti biasa dia selalu mengecek ponselnya. Seperti biasa pula ada pesan masuk dari Sally, si mantan istri. Sally: Ketemu di tempat biasa, ya. Dan lagi-lagi seperti biasa, tak selalu Galaksi balas. Dia letakkan ponsel itu di meja, tetapi diraihnya kembali. Menghubungi .... Rasanya ada banyak hal yang ingin dia bagi dengan Ancala, tetapi sudah kadung janji. Telanjur. "Kalo cuma mau diem, aku matiin." Ah, iya. Sudah diangkat sejak tadi, suara Ancala mengudara, di sini Galaksi tertawa, berupa dengkus geli saja jenis tawanya. Iya, aku. Ancala memang pernah tanpa sadar bicara 'aku-akuan', tetapi pada kalimat yang sama dia lanjut dengan 'saya-sayaan'. Dasar. Tapi sepertinya sekarang sudah fix jadi 'aku'. "Nggak usah video call!" Oh, betul. Galaksi mengalihkan jenis panggilannya, lalu Ancala mempersoalkan itu. "Kayaknya saya lembur hari ini." "Lembur selamanya juga boleh!" "Kalau kejadian, nanti kamu nangis." "Dih, sorry." Dengan nada 'excuse me?' Galaksi terkekeh. Detik itu di seberang sana Ancala mematikan sambungan nirkabelnya. Yang mana di rumah, Ancala sedang menyusun rencana buat hidupnya yang abu-abu sejak papa mencetuskan Galaksi sebagai calon suaminya. Hati ini agaknya terombang-ambing juga, menyayangkan bahwa seorang Galaksi se-SUS itu. Alias semengerikan itu. Semisterius itu. Jujur, waktu Ancala diajak ke kantor, lalu bertemu Galaksi untuk yang pertama kali, dadanya pernah berdebar. Nggak munafik, Galaksi memang menawan. Sampai kemudian .... "Pernikahan itu udah kayak cuaca, ya? Nggak bisa diprediksi, nggak bisa diasumsi. Pernikahan dari cewek cantik, mapan, dan seberkualitas bos kita aja bisa kandas, tuh, sama lakinya yang menawan, mempesona, dan mapan juga. Padahal mereka kurang apa coba?" "Iya, ya? Padahal mereka kayak yang masih saling suka. Tuh, liat aja tatapan dan bahasa tubuhnya. Bu Sally keciri banget." "Karena mereka orang baik, saya doain rujuk, deh." Obrolan yang mau tak mau Ancala dengar, dia ada di situ soalnya sebagai anak baru di perusahaan Bu Sally. No comment juga. Hanya saja ... seperti ada yang retak, tetapi bukan tanah liat. Hatinya. Melihat sosok-sosok yang baru saja dibicarakan mereka, pun menjadi detik di mana tatapan Ancala dengan Galaksi Bumi Semesta kembali berjumpa. Tenang, ini cerita komedi romansa. "Ada yang bisa saya bantu?" Oh, astaga! Ancala terkejut. Hari itu. Sore bahkan belum datang, tetapi yang katanya mau lembur, kok, sudah pulang? "Bisa, nggak, sih, jalannya pake suara?!" Itu karena Ancala terlalu sibuk menggeledah isi laptop suami, yang tidak dibawa Galaksi hari ini. Di mana Ancala baru selesai melihat-lihat sebagian file di data C, mau buka w******p web, mana tahu terhubung di situ, kemudian mau beranjak ke data D. Eh ... laptop itu sampai Ancala tutup dengan brutal tanpa mematikannya lebih dulu, tahu-tahu sang empu ada di belakang punggungnya, salah-salah Ancala memunggungi pintu. Galaksi senyum detik itu. "Apa?!" Ancala jadi terus-terusan mengeluarkan jurus elpiji, ngegasnya ugal-ugalan. Efek panik kepergok. Sekarang saja jantungnya berdetak hebat. "Nih." Tatapan Ancala auto waspada. Detik di mana Galaksi menyodorkan ponselnya. "Kamu cuma perlu bilang, pengin geledah aplikasi chating suami, ya, daripada effort begini ... capek, kan?" Ponsel itu Galaksi letakkan di telapak tangan Ancala yang dia raih dengan tangan lainnya, lalu dari yang semula pegang ponsel kini sudah nempel di d**a Ancala, merasakan degup jantungnya. Ngebut. "Pasti capek." Sampai ketika pelipis Ancala diusap, mungkin berkeringat? Ancala masih membeku, sedang Galaksi sudah berlalu. Argh! Kasih tahu Ancala, sebenarnya ... LAKI-LAKI JENIS APA YANG PAPA PILIHKAN UNTUKNYA INI?! Dan, di antara mereka ... ADA TRANSAKSI MACAM APA YANG TIDAK ANCALA KETAHUI?! Fix, kewarasannya digerus halus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN