6. Ancala, Galaksi, dan Mantannya

1699 Kata
"Pegel, ya?" Ancala menoleh, agak semrawut wajahnya. Namun, dia atur sebaik mungkin agar tidak tersaingi oleh ketenangan Bu Sally, keanggunannya, dan ... itulah pokoknya. "Capek?" Lalu ini suara Galaksi. Menatap sang istri, di mana Ancala kelihatan kurang nyaman berjalan. Oh ... dia memakai sepatu hak tinggi. Sontak Ancala mundur di detik Galaksi maju mendekat, lalu lelaki itu berjongkok, maka secara spontan Ancala merunduk. "Ngapain?" Panik dia. Sekarang kakinya dicekal oleh pria yang sedang ditatap secara penuh sama Bu Sally. Di tengah perjalanan mereka mengelilingi hotel itu. Iya, keliling. Katakanlah demikian. Usut punya usut, pertemuan di hotel ini bukannya bertitik di satu lokasi, resto atau kamar misalnya? Sebab itu Ancala secara impulsif memutuskan untuk ikut saja sampai akhir dengan Galaksi, alih-alih check in dan istirahat sendiri. Habisnya, ada Bu Sally. Ketemuan di hotel. Entah kenapa, Ancala merasa terprovokasi. Aneh, ya? "Coba angkat kakinya, Cal. Kayaknya lecet." Ancala tercekat. Sentuh lembut jemari Galaksi di betisnya terasa, turun perlahan hingga mata kaki, yang seperti itu sukses membuat Ancala melotot tanpa sadar, dengan jantung berdebar. Pun, merinding disko. Tak peduli bahwa di sini isinya tidak hanya dia dan Galaksi saja, melainkan ada Bu Sally juga, meski memang sepi di lorong ini. "Angkat." Galaksi sampai mendongak. O-oke. Ancala tergeragap walau yang bicara adalah batinnya. Diangkatlah kaki itu. Sepersekian detik tatapan Ancala alih kepada sosok wanita super modis dan dewasa, Bu Sally tampak sedang bersedekap d**a. Kemudian pandangan Ancala teralihkan lagi ke arah kakinya, kali ini sambil memegangi bahu Galaksi. "Lepas aja." Bukan tanya, bukan seru, nadanya datar dan konstan. Namun, sukses membuat Ancala menggigit bibirnya pelan tanpa sesiapa pun tahu bahwa dia sedang gugup saat itu. Well, ini tentang mereka bertiga. Yang mana sebelum itu .... Tadi. Waktu Ancala masih di mobil dan mendengar bilamana pertemuan Galaksi selanjutnya adalah dengan wanita bernama Sally. Itu orang yang sama dengan bu bos Ancala di kantor, kan? Tervalidasi pada momen selanjutnya, memasuki kawasan hotel, sambutan akrab khas pasangan terjadi. Lambaian tangannya .... Panggilan merdunya .... Senyum menawan .... Langkah kecilnya ketika berlari pelan .... Menyongsong dengan pelukan .... Wajar kalau Ancala mengetatkan geraham, kan? Dan itu tadi. Tentu bukan karena cinta, meski bicara soal rasa, di awal pertamanya melihat seorang Galaksi si karyawan papa, Ancala terpesona. Namun, tahun berganti dan fakta yang tersaji berhasil membuat rasa itu buyar. Ancala cuma kesal. Apa dia tidak terlihat? Hingga Bu Sally tanpa tedeng aling-aling langsung menyambut dengan pelukan pada Galaksi yang notabene sudah jadi suami orang? "Oh, hai?" Barulah detik selanjutnya, Ancala di-notice. Tatapan Bu Sally tertuju padanya yang berdiri bingung di sisi Galaksi. Peluk itu sudah dilepas, by the way. Dan memang betul Galaksi yang melepas, tetapi tetap Bu Sally tak terlihat merasa ditolak. "Kok, nggak bilang mau bawa anaknya Pak Tara?" imbuh Sally, untuk Galaksi. Menyenggol lengan pria itu dengan sikutnya. Tenang, tenang. Sabar .... Ancala bukannya tipe wanita yang lemah, mudah pasrah, lalu naif. Tapi dia merasa bahwa sekali pun mau ngereog, bukan sekarang saatnya. Jadi, Ancala balas dengan senyum saja. "Iya, sudah seharusnya Ancala ikut," sahut Galaksi, menanggapi mantannya. "Selain karena dia adalah orang yang sepatutnya tahu banyak tentang bisnis kita, Bumantara Gorup, juga merupakan istri saya." Digenggamnya tangan Ancala oleh Galaksi, membuat sorot mata Ancala mampir di wajahnya. Eh, berbalas. Jadi saling memandang saat ini, dengan ulasan senyum tipis bin manis di bibir Galaksi. "Mau check in sekarang? Mas check in-kan dulu kalau mau." Oh, what? Mas?! Seketika itu bola mata Ancala bergulir pada sosok selain Galaksi yang tengah menatapnya. Bu Sally. Wanita itu seakan menunggu jawaban melebihi Galaksi yang ingin tahu apa jawaban Ancala. "Lamakah?" "Lumayan. Mau survey hotel ini dulu. Mungkin keliling-keliling." "Oh." Ancala basahi bibir. "Ya udah, ayo." Alis mata Galaksi jadi naik sebelah mendengarnya. "Nggak mau nunggu sambil rehat aja?" Malah membuat dunia seakan milik berdua, sambil pegangan tangan pula. Dan itu tadi, sudah berlalu. Hingga akhirnya Galaksi angguki tutur kata Ancala yang mau ikut saja, alih-alih rebahan di kamar hotel. Di mana gedung bertingkat itu menjadi objek incarannya kali ini, hotel yang nyaris mati--istilahnya, Sally tawarkan dengan keuntungan fantastis jika Bumantara Group mau membantu. Dan sebelum menjulurkan bantuan, setelah mendengar apa saja keuntungannya bila berhasil dan bagaimana konsekuensi jika gagal, Galaksi mau lihat dulu kondisi hotel itu. Sesuram apa. Apakah sepadan dengan usahanya kelak bila dia meng-acc tawaran Sally? So, di sinilah mereka saat ini. Galaksi, Ancala, dan Sally. "Terus aku nyeker gitu, Mas?" Tanpa alas kaki, huh? Masih dengan gugup yang sama, apalagi ada sebutan 'mas' di akhir kata Ancala. "Sal." Teruntuk mantannya, Galaksi menoleh. "Bisa minta tolong pegawai hotel buat bawain sandal dan sekalian aja kami mau check in di sini, tanpa harus ke bagian resepsionis?" Sally tak lantas menjawab, tatapannya tidak biasa, tetapi tetap dia berkata, "Oh, bisa." Ini adalah hotel milik keluarga Sally, yang saat bersama Galaksi pernah dia ikut ambil kendali, tetapi tidak pernah dipercayai oleh orang tua sang mantan istri. Dulu. So, Galaksi berdiri. Menenteng sepatu heels milik Ancala, dengan tatapan lurusnya kepada anak gadis Bumantara. Kaki Cala menapak lantai tanpa alas, kelihatan sekali kikuknya karena tidak biasa, kadang saat di rumah pun Ancala memakai sandal bulu. "Nih, pegang. Sementara kita duduk di sana dulu." Galaksi mengedik dagu pada sofa yang ada di lobi lantai lima. Ancala menerima juluran sepatunya. Meski agak dongkol karena itu berarti dia akan berjalan tanpa alas dan dengan menenteng sepatu. Bagaimanapun letak sofa ada di ujung sana, lobi di dekat balkon. Sementara itu, Sally sedang bertelepon demi memenuhi permintaan Galaksi. Yang saat dia kembali, menyudahi fokusnya pada sambungan nirkabel, detik itu suara pekikan Ancala terdengar. Yang Sally lihat, Galaksi menggendongnya ala bridal. Lebay. Manja. Sejak awal, Sally tidak suka dengan gadis yang Galaksi titipkan di perusahaannya. Sedangkan, pipi Ancala bersemu. Dia juga nggak mau begitu, tetapi semu di pipi timbul alami tanpa bisa dia cegah hadirnya, saat tubuh ini tiba-tiba berada dalam gendongan pria itu. Pria yang dulu pernah membuat Ancala tertarik, sedang sekarang ... Ancala menolak menerima kenyataan bila ketertarikan itu masih meratui. Dia harusnya membenci, terlebih ada negosiasi antara papa dan Galaksi yang tidak Ancala ketahui. Lengan Ancala auto mengalung di leher Galaksi. Yang mana salah satu tangannya masih menenteng sepatu, di balik punggung lelaki itu. Tanpa kata, Galaksi menempatkan Ancala duduk di sofa. Dan, Sally mengikuti. "Oh, ya, Gal ... siang tadi kamu sibuk banget, ya?" Ancala menatap sang pembicara. "Aku tunggu di apartemen kamu, kamu nggak datang. Tumben." Tatapan Ancala lari ke arah Galaksi. Apa itu? Namun, Ancala tidak ingin kelihatan merasa terusik. Jadi, dia sudahi acara tatapannya. Memilih menyandarkan punggung ke sandaran sofa, lalu merogoh ponsel di tas selempangnya. "Saya sibuk." Dua kata yang Ancala dengar dan dia abaikan. Bodoh amatlah. Mau ketemuan, kek. Di hotel, kek. Apartemen, kek. Sama Ibu Sally ini, bodoh amat. Ancala tidak mau repot-repot lagi. Sudah, cukup sekali ini saja. Itu pun Ancala kapok. Bisa-bisanya dia sebodoh sekarang. Cuma karena ... seketika itu jempol Ancala henti menggulir layar. Dia berpikir. Iya, ya, dia ada di sini, saat ini, ikut dengan Galaksi, itu karena apa? Panas hati melihat nama Bu Sally ada di layar ponsel suami? Lho, memangnya Ancala sudah menerima dengan baik pernikahan yang ditentangnya ini? Apa cemburu karena lelaki yang memutuskan menikahinya malah masih akrab sama mantan? Nggaklah. Ini tentang harga diri, pasti. Ancala lanjut menyapu layar ponsel dengan ibu jari. Sampai saat suara Bu Sally dan Galaksi tak terdengar lagi, dan ketika itu yang didengar adalah suara langkah orang menghampiri. "Permisi, Bu ... ini kunci room suite hotel, lalu ini sandalnya." Sally berdiri, Ancala menatap dua wanita itu. Sally menerima dengan senyum paling menawan dua benda yang pegawainya berikan, lalu berterima kasih secara sopan. "Gal, ini ...." Masih dengan senyum yang sama, memberi key card hotel dan sandalnya. Tentu, Galaksi menerima dan berterima kasih juga. Pegawai hotel tadi sudah berlalu. Well, ini sudah malam. Setelah itu, Galaksi berfokus pada Ancala yang sejak awal kelihatan kurang nyaman di pertemuan ini. Dia meletakkan sandalnya di dekat kaki Ancala, spontan Ancala jadi ikut merunduk, memakai sandal itu. "Kita nginap di sini dulu, ya? Nanti Mas yang izin sama papa." Tatapan mereka pun bersua. Ada jantung yang iramanya tidak biasa. Ancala mengangguk saja. Protesnya nanti. Tidak di depan bu bos berstatus mantan istrinya mas suami. Astaga, panjang betul embel-embelnya. "Gala, terkait rencana bisnis kita--" "Sal, maaf." Galaksi menyela. "Dilanjut nanti aja, ya? Nanti saya jadwalkan pertemuan selanjutnya. Untuk survey lokasi, saya rasa cukup. Terima kasih sudah menawarkan dan memercayai BM Group. Next, biar sekretaris saya yang menghubungi kamu." Oh ... Ancala merasa unggul sekarang. Bumantara Group, posisinya ada di atas perusahaan Bu Sally, kan? Sekali pun Bu Sally adalah bosnya. Yeah, tetapi beliau baik juga mau menampung orang dari perusahaan saingan untuk belajar dan mengambil pengalaman di tempatnya. Dan sekarang mau bekerja sama menyangkut hotel sepi ini, ya? Kenapa? Apa keuntungan yang BM Group dapatkan? Atau sekadar ajang supaya bisa seproyek bareng mantan? "Ah ... oke. Kabarin aja nanti." Dengan senyum manisnya. "Kalau gitu ...." Melirik Ancala. "Besok kamu masuk kerja, kan, Cal?" Eh. "Iya, Bu." Bu Sally senyum lagi, menatap Galaksi lagi. "Jangan diapa-apain, lho, ini anak. Besoknya dia mesti masuk kerja. Mengingat, kamu itu, kan, ganas banget di ranjang." Disertai kekehan gelinya. "Hati-hati, Cal." Sok akrab. Suara batin Ancala, lain dengan senyumannya. Ancala pun menyisipkan helai rambut ke belakang telinga, lalu melirik Galaksi. Yang orangnya tidak ada reaksi. Ck, ck. Ngomong, kek! "Ya udah, ya, saya pamit. Nikmati malam kalian di sini. Mari!" "Oh, iya ... terima kasih, Bu." Ancala basa basi. "Aku tunggu kabar baiknya, Gal." "Ya." Ketiganya pun berdiri. Detik-detik Bu Sally berlalu. Punggung itu ... Ancala pandangi. "Ayo." Sontak menoleh pada sumber suara, Galaksi pun mengambil langkah lebih dulu, dan Ancala mengekor. Well, ada yang aneh dengan tubuh Ancala. Perihal tidur bersama, sebelumnya juga begitu sejak selesai ijab sah. Namun, kenapa, ya? Kali ini jantungnya berdetak lebih heboh dari biasa, seakan malam ini .... Memasuki kamar hotel yang sudah dibuka, lalu terdengar suara pintu terkunci, pun langkah demi langkah yang kian masuk ke area dalam kamar, hingga Ancala didudukkan di ranjangnya, demikian itulah jantung hiperbekerja. Sedang Galaksi tepat di depannya. Ma ... mau apa? Kalimat yang hanya tercekat di tenggorokan saja, Ancala kelu seketika. Detik di mana tatapan Galaksi terasa sedang memindainya. Oh, hell, apakah jantung yang berdetak lebih cepat ini hanya dirasakan oleh Ancala saja?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN