"Namanya bagus. Ada mirip-miripnya sama Aksara, anaknya Topan."
"Bumantara?"
Iya, Aksara Bumantara Semesta. Makanya nama Ancala terdengar tidak asing di telinga Alam Semesta, papinya Galaksi, saat ini.
Oh, itu hari sebelum pernikahan digelar. Adalah waktu di mana Galaksi menyempatkan diri berbicara serius dengan orang tuanya, tentu saja, termasuk Mami Rana.
"Udah nggak aneh lagi, sih. Kadang dalam satu keluarga suka ada aja nama kembarnya sama calon keluarga." Seraya tersenyum manis. "Jadi, beneran fix mau nikahin Ancala, Gal?"
Galaksi mengangguk.
Di situ, Papi Alam tak lepas memandangnya. Mungkin, mencari kepastian? Keseriusan? Atau ... entahlah.
"Kalau gitu, kapan mau ngenalin kami ke keluarga Ancala? Eh, atau bawa dulu, deh, Ancalanya ke sini. Mami mau tau."
Belum Galaksi menjawab, papi tiba-tiba nyeletuk mendahului bilang, "Yakinkan dulu. Cukup sekali aja gagalnya, cukup sekali, dan cukup di kamu sama istri terdahulu aja yang ikut jejak Papi. Jadi, yakinkan dulu, yakinkan lagi."
"Papi!"
Ditegur mami, Papi Alam tak gentar dan tidak pula meralat tutur katanya tadi. Mutlak.
Perihal menikah, tentang perceraian, baginya sudah cukup dialami oleh diri sendiri, ditambah oleh kisah anak bungsunya ini. Yeah, takdir membuat cerita Galaksi seolah menjadi kisah Alam Semesta jilid dua. Namun, jelas, ini berbeda.
"Sudah yakin, Pi." Dengan rautnya yang limit ekspresi, sulit dicerna oleh Papi Alam yang jadi pemerhati. Bagaimana dengan yang lain, ya? Atau gini, deh. Bagaimana nanti dengan Ancala? Karena di pernikahan pertama Galaksi dengan istrinya saja dulu, sekarang sudah resmi 9 tahun bercerai, sudah jadi mantan.
Sebab apa?
Mungkin, sikap Galaksi yang super beku dan minim ekspresi? Kasihan. Entah yang jadi istrinya nanti atau Galaksi sendiri, yang pernah dikhianati.
Oh, tidak. Mantan istri Galaksi bukannya selingkuh, hanya saja ....
"Udah, udah. Pokoknya, kenalin Mami sama calonnya kamu, Gala. Mami pengin ketemu. Ya?"
Iya, Galaksi. Kadang disebut Gala, kadang juga Galak. Sebagaimana orang yang menyebutnya saja. Galaksi tak pernah protes. Tahulah, ya, kenapa. Bagi Galaksi, protes itu sebuah interaksi pemborosan energi.
"Iya."
Just it!
Galaksi pun hendak pamit, tetapi jelas ditahan oleh papi yang merasa obrolan mereka belum selesai.
"Kenapa tiba-tiba minta restu buat nikah?"
Astaga. Pertanyaan macam apa itu? Mami Rana sampai mendelik. "Ya, karena udah nemu bakal jodohnyalah, Pi! Lagian bagus, dong, Gala pengin nikah. Toh, dia udah ngeduda lama, sembilan tahun itu bukan durasi singkat. Papi aja dulu yang baru ngeduda lima tahun udah blingsatan pengin ngehalalin Mami, kan? Gimana, sih. Kayak yang nggak pernah ngalamin fase itu aja."
Eiy!
Malah emosi. Demikian itu, Mami Rana bukannya marah atau apa, dasarnya memang memiliki karakter yang 180 derajat berkebalikan dengan Galaksi. Jadi, bisa disimpulkan bahwa Galaksi ini sama sekali tidak mewarisi watak ceriwis maminya.
"Gala rasa udah saatnya, udah nemu yang tepat juga."
"Yakin tepat? Jadi, dulu sama Sally nggak tepat?"
Tak dijawab, Galaksi memilih bungkam dengan sorot mata tenang kepada sosok papinya yang duduk di seberang sofa ruang kerja itu.
"Udahlah, Pi. Sekarang poinnya bukan itu," tukas mami. "Tapi pertemuan keluarga."
Nah, iya, hari itu ....
Hal yang membuat esok hari di kediaman Ancala heboh karenanya.
"Cala nggak mau, titik!"
"Cal--"
"Papa, please!" Dipangkasnya omongan sang papa yang belum benar-benar rampung. Ancala menggeleng. Pulang dari kampus, tahu-tahu diberi kabar bahwa besok dia harus pergi ke rumah orang tua calon suaminya. Nanti dijemput. Dan itu papa yang bilang, tentu papa mendengar info tersebut dari yang bersangkutan.
Tahu, kan, siapa?
Adalah sosok yang Ancala tolak secara tegas gagasan papanya terkait perjodohan. Hell, memang betul dia pernah berucap agar dijodohkam saja, tetapi nggak sama dudanya bu bos di kantor jugalah!
Ancala pernah minta ganti calon, tetapi rupanya keputusan papa sudah bulat. Sudah mutlak di seorang Galaksi Bumi Semesta. Argh!
Bu bos di kantornya belum tahu soal itu, kan? Belum. Ancala tidak melihat adanya perbedaan sikap Bu Sally terhadapnya. Kan, kalau sudah tahu, minimal tatapan sinis pasti Ancala dapatkan. Secara, semua karyawan di sana pun sependapat bahwa Bu Sally masih begitu mengharapkan bisa kembali rujuk dengan mantan suaminya.
"Pak Gala ini duda, Pa. Emang nggak ada yang lebih bagus dari duda apa buat Cala?" Dia mulai merajuk. Sebetulnya fine-fine saja perihal status duda, tetapi asal bukan dudanya Bu Sally.
Itu saja, sih.
Dan, papanya mendengkus. "Ini udah Papa pilihkan yang paling bagus, Cala. Udah, udah, besok Galaksi ke sini jemput kamu. Katanya siap-siap aja jam delapan udah berangkat."
Ah, menyebalkan!
Ancala mengentak kaki meninggalkan ruang di mana papanya berada, dengan tanpa sepatah kata lagi.
Well, ini tentang mereka di sebelum hari pernikahan tiba. Tentang Galaksi yang kemudian betul-betul datang menjemput Ancala sebagaimana ucapannya kepada papa dari gadis itu. Alias, keesokan harinya ....
"Maaf, ya, Gala. Kebiasaan bangun siangnya itu buruk banget, mentang-mentang libur, jadi sekarang masih mandi kayaknya, baru bangun dan itu pun saya bangunin."
Galaksi telah tiba. Dia mau menjemput anak gadisnya Bapak Bumantara. Dengan senyum paling sopan yang Galaksi punya.
"Iya, nggak masalah. Saya bisa nunggu."
Mendengar itu, praktis membuat senyum terbit dari sudut-sudut bibir papanya Ancala. Yang makin ke sini mulai semakin menyukai lelaki pilihannya. By the way, Ancala sedang mengintip. Sejatinya dia belum mandi pagi itu.
Pelan, Ancala berdecak. Lantas, dia pun beranjak. Selesai sudah mengintipnya sebab tak sengaja mata ini malah bersirobok dengan sorot tenang mata itu. Kaget, dong. But, sejenak saja.
Di kamar, Ancala pergi mandi. Selesai dengan itu, dia pun menatap isi lemari. Kiranya pakaian seperti apa yang dapat membuat perjodohan ini batal?
Ah, I see!
Ancala tersenyum sebelah bibir dengan decakan mantap dalam batinnya yang suci.
Oke, sip.
Sepersekian detik pun berlalu, Ancala sudah siap. Langkahnya membawa pada ruang utama kediaman ini.
"Astagfirullah, Cala!"
Oh, itu papa. Tampak membeliak matanya memandang Ancala, diikuti tatapan lelaki selain gerangan. Namun, sorotnya sama sekali tidak ada reaksi. Ancala melihat tatapan itu terkesan biasa, tenang, dan datar-datar saja.
Hei! Ini Ancala sudah pakai baju paling seksi di lemari. Rok super mini, atasan crop top dan ketat, area leher agak turun sehingga mempertontonkan belahan jalan menuju surgawi. Ehm.
"Ganti!"
Sorot mata Ancala auto alih kepada papanya. "Kalo ganti, Cala nggak mau ke sana, Pa."
"Ancala ...."
"Tidak apa-apa, Pak." Rupanya mantan Bu Sally menyela. Galaksi angkat bicara.
Bagus. Ancala senyum lagi, kali ini kedua sudut bibirnya terangkat, tetapi masih jenis senyum yang dibuat-buat.
"Tapi, Gala ... itu lihat riasan wajahnya juga udah kayak apa. Astagfirullah, Ancala. Yang mau ketemu sama kamu itu orang tuanya Galaksi, dan--"
"Ya udah, deh, Cala ganti," tukasnya, lalu melirik Galaksi. "Tapi kita batal pergi, ya."
"Ancala!"
Oh, nada suara papa meninggi. Itu membuat Ancala tercubit hatinya. Kalian tahu? Seumur hidup ini, baru detik itu papa membentaknya dengan suara sekeras tadi. Dan hal tersebut terjadi di setelah hadirnya sosok pria pilihan papa. Galaksi.
Ancala semakin tidak menyukai gagasan perjodohan ini. Mencebiklah bibir cantik itu.
Sedangkan, Galaksi tampak berlemah-lembut menangani papa Ancala. Cih, pencitraan! Yang pada akhirnya, papa tersihir. Sukses membiarkan Ancala pergi dengan tetap berpakaian tidak sopan seperti sekarang.
"Apa yang Bapak mau dari saya?"
Mari kita to the point saja, di mobil. Ancala nyeletuk begitu. Sontak saja Galaksi menoleh, di sebelum pedal gasnya dia injak dan lalu mobil melaju, meninggalkan pekarangan luas rumah Ancala.
"Bapak serius mau menerima perjodohan itu? Yang aku tahu, Bapak ini karyawan lamanya Bumantara Group. Oh, atau jangan-jangan karena pengin naik jabatan? Karena dengan menikahnya Bapak sama saya itu berarti ...." Mata Ancala memicing, ini sangat masuk akal. Yang tak dia lanjut tutur katanya sebab sudut bibir sang pengemudi tepergok terangkat tipis.
"Dangkal sekali."
Eh, apa katanya?
Dengan tetap tenang berkendara, tiba di lampu merah, laki-laki itu menatap Ancala. "Kalau sekadar apa yang kamu sebut, saya mampu hanya dengan rujuk--"
"Nah, sana rujuk!" Ancala menyambar, agak mencibir. Terlebih, kapan hari dia menyaksikan sendiri pasangan yang sudah jadi mantan itu sedang bercengkerama hangat. Catat, Sahabat!
Yang perlu diketahui, selain mengenal Pak Galaksi sebagai mantan suaminya Bu Sally--bos Ancala, lelaki itu juga merupakan karyawan tetap di perusahaan papanya. Sudah lama bekerja di BM Group sebagaimana yang Cala sebutkan tadi, bahkan Galaksi ini adalah orang kepercayaan papa. Mungkin karena itu juga perjodohan ini jatuh kepadanya?
Dan, Ancala mengenal Galaksi hanya sebatas itu. Formalitas. Itu pun tak pernah ada obrolan, selain sapaan sopan bila bertemu di wilayah Bumantara, dan menjadi melebihi asing jikalau bertemu di sekitar daerah kekuasaan Bu Sally.
Yang seketika itu, hening di mobil.
Sungguh, Ancala sudah mendekati frustrasi. Rasanya dia akan krisis mental jika perjodohan ini berlanjut.
"Sekarang gini." Oke, fine. Ancala yang memulai obrolan lagi. "Logikanya kalau Bapak masih suka, sayang, dan mengharap Bu Sally, ya udah. Mumpung kita belum jauh, mumpung masih bisa balik lagi, soal papa biar jadi urusan saya. Karena saya juga nggak maulah menggadaikan hidup sama laki-laki yang belum move on!"
Namun, sekali lagi, yang Ancala lihat dan menjadi respons atas ucapannya hanyalah sebuah sunggingan tipis sudut bibir. Itu mulut cuma pajangan apa, ya? Astaga.
"Sudah sampai."
Hei!
Ancala sontak menoleh cepat pada jendela mobil di sisinya. Ya ampun! Tiba-tiba perut Ancala menjadi dingin, itu bagian yang tak tertutup kain baju. Tangan pun ikut mendingin.
Oh, please!
Semoga orang tuanya nggak suka sama Cala, Ya Tuhan. Ancala cuma bisa berserah diri sekarang, dengan memaksimalkan usahanya agar perjodohan itu dibatalkan.
Turunlah Ancala dari mobil yang dibukakan pintunya oleh Galaksi, lalu tatapan Ancala menyisir area sekitar dan henti di wajah calon suami, yang mana Galaksi mempersilakan Ancala jalan lebih dulu dengan kode kedikan kepala. Tanpa suara.
Ancala melangkah mendahului, sedang di belakangnya ... saat di mana Ancala menoleh, detik itulah tatapan mereka bertemu. Galaksi tengah memandangnya.
Dan, tatapan itu menyebalkan. Sungguh!
***
"Silakan, silakan. Mami sendiri yang bikin kuenya, lho. Ayo, Cala, diicip."
Iya, Ancala. Sudah berkenalan tadi. Yang seharusnya tidak berakhir seramah ini. Apa Ancala masih cukup sopan hingga beliau-beliau itu tidak terusik?
Pun, hanya Ancala yang tegang, duduk tertekan. Ditatapnya orang tua Pak Galaksi. Mereka welcome dan sama sekali tak ada sorot mata menghakimi dari apa yang Ancala pakai hari ini. Untuk acara bertemu orang tua calon suami, baju Ancala sangat tidak teladan.
"Terima kasih, Tante ...." Gugup, bahkan kayaknya itu cuma dirasakan oleh Ancala.
Lihatlah ke samping, ada Galaksi yang duduk tenang dan luwesnya dalam melahap kue-kue di meja. Manggut-manggut seolah berkata bahwa kue buatan maminya itu enak.
Sedang di depan Ancala, sosok yang disebut mami tersenyum. Sangat ramah. Dengan tutur kata yang dikumandang, "Kok, tante? Sebut mami aja, Sayang."
Argh!
Merinding.
Ancala membeku.
Gagalkah dia?
Bola mata Ancala bergulir pada sosok Galaksi yang sibuk mengunyah, lalu alih kepada pria menuju sepuh di depannya. Iya, posisi duduk mereka yaitu Ancala di sofa yang berhadapan dengan papi maminya Galaksi, lalu Galaksi sendiri di sofa tunggal. Ada meja melintang sebagai tempat berbagai jamuan diletakkan.
Ruang tamu rumah keluarga itu, Ancala ada di sana.
Oke, Ancala berdeham. Kaku, sudut bibirnya tersungging. "I-iya, Mi ... terima kasih."
Why jadi begitu?
Ancala mencomot kuenya.
Aduh, help! Apa dia perlu ngupil? Tapi itu, kan, jorok banget. Ancala jijik sendiri nanti. Oh, atau sendawa keras-keras? Minimal supaya orang tua Galaksi jadi ilfeel, terus ....
"Eh, maaf, maaf!"
Sudah Ancala lakukan. Dia bersendawa yang dibuat-buat. Sukses membuat bola mata orang tua Pak Galak tersentak.
Yes!
Tanpa sadar bahwa pipinya merah padam sekarang. Malu, tahu! Ancala telah menggadaikan harga dirinya. Ah, persetan! Yang penting batal perjodohan.
So, bagaimana?
"Ancala manis, kan, Pi?"
W-what?!
Itu suara Galaksi.
Mengundang tatapan dari tiap insan yang duduk di ruang tamu kediaman Semesta, termasuk sorot mata Ancala.
"Dia berusaha keras mengakrabkan diri dengan hal paling beda." Dengan penuh penekanan pada kalimat akhir, Galaksi menatap Ancala. "Semata agar sosoknya yang apabila diterima di sini, sepaket dengan baik dan buruknya."
Eh?
Hah?
Gimana?
"Unik." Sudut bibir Galaksi terangkat. "Oh, ya, gimana kalau Mei?"
Ancala mengerjap, mendadak ngang-ngong di situ. Tahu, kan, ngang-ngong? Alias kebingungan sendiri. Di saat kini papi dan maminya Galaksi tertawa geli.
Oh ... apakah ini lazim?
Dan ... APA ITU MEI?!