2. Ijab Sah

1724 Kata
"Saya terima nikah dan kawinnya Ancala Binar Bumantara binti ...." Blur seketika, pendengaran Ancala seakan tak sanggup meneruskan tugasnya. Bising sendiri di dalam isi kepala, membuatnya tak fokus di sana. Duduk tepat di sebelah laki-laki yang menyebut namanya dalam ijab sah. "Sah?" "Sah, sah!" Bahkan sampai terucapnya kata mutlak itu dari para saksi, tanda bahwa status Ancala sudah benar-benar resmi berganti. Wah .... Ancala setia menunduk. Sekarang sedang diucap doa selepas akad, lalu dilangsungkannya serangkaian tanda tangan berkas, hingga tiba saat di mana sesi foto pada bangku akad dimulai, Ancala diminta duduk mendekat, lebih rekat lagi, dengan mempelai pria yang sudah menjadi suaminya. Canggung, kikuk, asing, dan ... apa, ya? Ada sepasang mata menatap ke arahnya, Ancala tahu siapa pemilik mata itu. Di mana sekilas tadi mereka bersirobok tatap, dan Ancala langsung menunduk. Sungkan .... Oh, sepertinya iya begitu. Sebab-- "Silakan dicium tangan suaminya, Mbak." Ancala terkesiap. "Oh, ya, geser lagi sedikit. Lebih deket lagi ...." Sungguh, Ancala keberatan dengan itu. Namun, apakah hanya dia yang berberat hati? Soalnya, yang disebut suami Ancala itu justru manut. Berdiri lebih dekat. Argh! Jantung malah jadi gugup, Ancala gelisah dan salah tingkah. Tapi ini bukan karena cinta, ya! Nggak begitu. "Nah, sip. Soklah, dicium dulu tangan masnya, Mbak. Tahan sampe hitungan ketiga." Oke. Ancala berdeham samar, menatap sekitar dengan sorotan paling singkat, lalu mendongak sejenak, adalah detik di mana matanya dan pemilik lensa cokelat Asia itu bertemu. Terpikat sepersekian detik, Ancala lantas menunduk, memandang sebuah tangan yang harus dia cium dengan penuh takzim sekarang. Cuma kiss tanda bakti pertama sebagai istri saja, kok. Formalitas. Dan itu di punggung tangan. Nggak mesti nempel ke bibir. Cukup menyentuh ujung batang hidung saja. Iya, kan? Kata lainnya adalah 'salim.' So, nunggu apa lagi? Ancala menjulurkan tangannya, di mana tangan sosok itu dia raih. Tangan laki-laki yang berdiri gagah ber-tuxedo putih. Lantas, Ancala merunduk, sesuai aba-aba dan perintah, punggung tangan itu menjadi kian dekat dengan wajah Ancala. Tepat sekali. Ujung hidung Ancala menyentuh punggung tangan tersebut, kilat kamera pun mengabadikannya. "Sip!" Dengan acungan jempol di udara. Tanpa tahu bila jemari Ancala menjadi dingin di sana, pun dengan wajah memanas, terhalang make up pengantinnya. Sudah, kan? "Ganti. Sekarang giliran Masnya yang cium istrinya. Di kening aja, Mas. Kalau mau di bibir, nanti malem aja pas lagi berdua." Seraya tertawa. Eh, eh ... apaan coba? Lagi pula, apa tadi? CIUM?! *** "Kamu yakin mau nerima tawaran itu?" Adalah beberapa bulan lalu, pertanyaan itu mengudara. "Galaksi?" Teruntuk dirinya. Iya, Galaksi Bumi Semesta. Hari itu. "Yakin." Mata mereka bertatapan dengan sorot berbeda. Hingga sepersekian menit berlalu dan salah satunya mengeluarkan helaan napas panjang. "Dia masih anak-anak, lho." "Tepatnya, dua puluh satu tahun." Galaksi meralat. Dalam arti, 21 tahun itu sudah memasuki usia dewasa, bukan lagi anak-anak, yakni telah melewati masa remaja. Lantas, sosok itu mengerling, yaitu teman bicara Galaksi di dalam salah satu ruang apartemennya ini. Menghempas punggung ke sandaran sofa. "Oke. Tapi dulu di umur segitu, kita cerai, kan?" Ah, benar. Galaksi henti sejenak dari rutinitasnya, seperti biasa, dia sibuk berfokus pada laptop. Mengurus pekerjaannya. Kacamata baca pun bertengger apik di pangkal hidung super elitenya, mancung dan memperindah tampilan wajah itu. "Ini beda." "Apanya? Kita sama-sama dua puluh satu tahun waktu itu, Gal, dan gadis itu pun sekarang umurnya dua puluh satu." "Iya, dulu kita dua puluh satu tahun, tapi sekarang saya sudah tiga puluh, Sally." Sama. Sosok yang baru saja disebut namanya itu pun berusia tiga puluh tahun. Iya, mereka yang dahulu kala pernah merajut asmara cinta pertama hingga ke jenjang seserius pernikahan. Namun, sayang sekali ... itu sudah berlalu dan kandas di umur pernikahan ketiga tahunnya. Menikah. Mereka pernah. Namun, dengan adanya itu di hubungan masa lalu tak membuat Galaksi maupun Sally menjadi tidak dekat saat ini, bahkan setelah sembilan tahun bercerai. Katakanlah mereka memang sudah jadi mantan, tetapi bukan berarti setelahnya lantas musuhan. Nggak. Keduanya akrab berteman. Meski tentu, Galaksi punya banyak batasan. Sally mengembuskan napas pelan. Menatap sang mantan. "Kapan acaranya?" "Tiga bulan lagi--" "Secepet itu?" Galaksi alih dari laptop ke wajah Sally. Di mana posisi duduk mereka berhadapan, bedanya Galaksi lesehan, sedangkan Sally duduk manis di sofa. Well, dahulu kala, selain mantan, mereka adalah sahabat seperjuangan di SMP, SMA, hingga dunia perkuliahan yang rangkap rumah tangaan. Manis sekali, dulu. "Saya ini duda, lebih cepat lebih baik, daripada lama dan malah timbul fitnah, kasihan anak gadis orang." "Lho, lho ... yang salah, kan, bapaknya. Ngapain ngepromo anaknya ke kamu? Udah gitu kamunya mau lagi. Suka daun muda, dasar." Agak ketus di akhir kalimatnya. Galaksi tak banyak berekspresi. Dia balik fokus ke laptop. Sementara, Sally bersedekap d**a. Menatap sang mantan. "Yeah ... aku tau, sih, garis besar yang jadi alasan kamu mau nerima itu." "Tentunya bukan urusan kamu." Sally kontan mencebik. Di situ, Galaksi berpindah. Ponselnya berdering. Atas nama Bapak Bumantara YTH. Sure! Galaksi lekas mengangkatnya. Hari itu, hari yang sudah jauh berlalu. Sampai akhirnya, tak terasa hari ini telah tiba. Adalah detik di mana dengan gerak amat pelan, Galaksi maju, ambil langkah pasti, sebagaimana arahan, Galaksi menjulurkan tangan, dia menangkup sisi-sisi wajah pengantin wanita, lalu dijatuhkannya sebuah kecup di sana. Ancala memejam rapat, sedangkan tangan erat-erat meremas sisi kebaya. Duh, deg-degannya agak brutal di dalam d**a. Kala di mana keningnya sudah tak lagi perawan, ada yang baru saja melepas segel di sana dengan sebuah kecupan dari bibir. Ah, ini luar biasa. Sebuah pernikahan mahamegah yang ijab sahnya disaksikan sendiri oleh mantan istri dari dudanya bos besar Ancala. Yakni, Sally Faradisa. Sosok yang dahulu tentu pernah ada di posisi Ancala. Wahai Bu Bos, maafkan. Sebagai karyawan yang budiman, Ancala betul-betul tidak bermaksud merusak kelanjutan kisah yang pernah karam di antara mereka, yang dengan tidak habis pikirnya malah diri ini menjadi sosok pengganti beliau, alias istri Galaksi Bumi Semesta. Itu, kan, laki-laki yang seluruh kantor Bu Sally pun tahu sedang digosipkan gagal move on dari siapa? Bahkan setelah usia cerai mereka 9 tahunan, gosipnya tetap hangat saja. Namun, why ... menjadi suami Ancala? Detik ini. Memandangnya. Ancala tidak berani memberi sorot balasan. Lantas, dia menunduk saja. Terserah kalau-kalau fotografer malah jadi meledeknya, pun dengan pembawa acara di pernikahan ini. Mencetus bahwa pengantin wanitanya super duper salah tingkah sehabis di-sun mas duda. Ya ampun, apaan coba?! *** Cium kening doang, nggak ngaruh! Iya, cuma di kening. Bibir Acala aman terjaga, setidaknya sampai detik ini, yang pada akhirnya Ancala terbebas dari ritual pernikahannya itu. Di malam hari, Ancala langsung masuk kamar dan mandi. Persetan dengan mantan suami Bu Bos yang entah sedang apa, dengan siapa, pun di mana. Ancala becermin, dua tangannya bertumpu di wastafel. Memandang diri sendiri yang sudah bersih dari make up. Seketika tatapan Ancala jatuh ke bibir. Agaknya, dia menggigit bagian itu. Mengingat betapa lembut dan hangatnya sesuatu yang disebut bibir menempel di kening. Tadi. Oh, yang jelas bukan ciuman pertama, kan, namanya? Bagi Ancala, lokasi first kiss yang afdal adalah bibir to bibir. Bukan bibir versus selainnya. Jadi, sebut saja ciuman pertamanya masih apik disegel. Catat! Ancala lantas membasuh keningnya, dia gosok-gosok, seakan ingin menghilangkan jejak kecup Galaksi di sana. Iya, Galaksi namanya. Sering disebut. Ancala jadi jengkel karena dia tahu betul siapa sosok yang menjadi suaminya itu. Bayangkan! Nikah sama mantan suami dari bos sendiri, apa kabar nanti? Resign sajakah? Sudahlah. Yang penting, sekarang masih masa cuti. Soal itu akan dia pikirkan nanti. "Sudah selesai?" Ancala terkesiap. Berapa lama dia di dalam kamar mandi sehingga tampaknya, Galaksi sudah lama menunggu di sini? "Udah." Kaku banget. Ancala ngeluyur dengan sok biasa saja sambil usap-usap rambut basahnya dengan handuk. Well, dia sudah berpakaian sekalian tadi di kamar mandi. Galaksi tak menyahut. Dari ekor mata Ancala, dia melihat gerak-gerik gerangan tengah mencari handuk. Oh, tahu-tahu ada koper di kamar ini. Yang lalu pria itu memasuki ruang di mana sebelumnya Ancala berada. Kamar mandi. Entah kenapa, Ancala mengembuskan napas lega. Rasanya satu ruangan dengan lelaki itu sukses membuat area pernapasannya tak bekerja dengan maksimal. Apa karena status yang sudah beda? Atau sebab itu Galaksi Bumi Semesta orangnya? Mantan suami Bu Bos? Oh, atau karena karyawan papa yang ber-ending menjadi suaminya? Sungguh, isi kepala Ancala berisik sekali. Malam itu. Sampai ketika Galaksi selesai, keluar dari kamar mandi, lalu mata Ancala memicing sebab ternyata baju tidur yang mantan suami Bu Bos kenakan adalah piama couple dengannya. Tanpa kata, Galaksi pun berlalu. Ancala mengerjap dalam bisu. Belum lama dia begitu, sosok tersebut kembali masuk. "Kamu nggak makan?" Huh? Mereka bertatapan. "Makanlah." Ancala menjawab agak sewot. Entah kenapa. Galaksi lagi-lagi tidak menyahut, dia berlalu kembali, kali ini dengan pintu kamar dibiarkan terbuka. Maksudnya, kode supaya Ancala keluar dan mengekori langkahnyakah? Jika sudah seperti itu, lalu apa? Yang akhirnya, Ancala duduk di ruang makan bersama mantan suami Bu Sally--bos Ancala di kantor. Catat lagi! Tadi juga Ancala melihat, mereka sangat akrab. Tepat di waktu Bu Sally naik ke pelaminan untuk mengucap selamat, kondangan. Pemandangan paling rumit di mata teman kantor Ancala, pasti. Sang mantan cupika-cupiki. Idih! Ancala pura-pura sibuk dengan tamunya, tentu saja! Beruntung, saat itu di pelaminan bukan cuma Bu Sally, tetapi rombongan petinggi kantor lainnya. Entah, deh, tuh, bagaimana raut wajah Galaksi. Sebut dengan embel-embel 'Pak' sajalah, ya, biar sopan? Ancala tak ambil peduli. Meski mungkin cium pipi kanan-kirinya disambut, sambil senyum, sambil sok tegar, padahal aslinya Pak Galak pengin rujuk, cuma terhalang perjodohan dengannya. Mungkin, kan? Ya, tapi suruh siapa mau dijodohin? "Ada sesuatu di muka saya?" Eh, Ancala mengerjap. Sejak tadi dia khilaf memandang tanpa berkedip pada sosok di depannya. Ancala berdeham, lalu menggeleng. Lanjut fokus makan dalam diam. Sedangkan, Galaksi meraba-raba sudut bibir. Mana tahu ada nasi nyangkut. But, nihil. Dan, dia tanyakan lagi. "Beneran nggak ada apa-apa?" Di meja makan pun cuma mereka berdua, acara mahamegah tadi di hotel, yang mana perpisahan dengan keluarga Semesta dilaksanakan di sana. Sehingga begitu sampai di rumah, Ancala hanya tinggal istirahat saja, makan, seperti sekarang. Berduaan pula. Sebab papa tampaknya sudah tepar di kamar dan para ART entah kumpul di ruangan mana. Ancala menggeleng lagi. Harusnya sudah stop di situ, tetapi belum lama detik beranjak menit, Ancala nyeletuk, "Ada apa-apa." Sontak membuat mata mereka kembali saling beradu. Bersinggungan dalam bisu. Sejenak saja. Sebelum Ancala mengimbuhi, "Jejak Bu Sally kelihatan jelas di situ." Pipi, baik yang kanan dan kiri, Ancala menunjuk. Pun, turun ke arah bibir tatapannya. Satu hal yang pasti, selain cupika-cupiki di pelaminan, Ancala ingat jelas dia sungguh pernah memergoki Pak Galak ciuman panas bersama sang mantan di kantor tempat diri ini bekerja. Nggak percaya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN