Pricilla sedang duduk bersama Anara pagi itu. Duduk di teras kelas sembari menikmati permen kaki. Menunggu teman-teman yang belum juga menampakkan hidungnya. Tidak lama kemudian, ada beberapa siswi dari kelas lain yang sedang membicarakan geng luoji sembari melintas di depannya.
“Ah, sudahlah kan mereka juga yang masuk televisi,” sahut salah satu dari kelima siswi itu.
Mereka bergegas masuk ke kelas. Kebetulan, kelas mereka memang berdampingan dengan kelas yang ditempati geng luoji hari ini. “Maksudnya apa?” tanya Anara ke Pricilla dengan mengangkat satu alis sebelah kanan.
“Entahlah,” jawab Pricilla sembari mengambil ponselnya.
Membuka sebuah sosial media yang ia punya. Di sana, telah ada potongan berita tertulis yang ditampilkan. Sebuah berita dengan judul yang tidak asing lagi. Bahkan, nama gengnya saja disebut-sebut.
Tidak menunggu lama, Pricilla membuka sebuah tautan yang disertakan dalam unggahan itu. Kemudian, membacanya sampai tuntas. Sebuah berita yang benar-benar menggemparkan sejagat raya.
“Gawat, kita kena masalah,” kata Pricilla sembari memberikan ponsel ke Anara.
Di dalam berita itu tertuliskan tentang perusakan lingkungan yang telah terjadi hari kemarin. Sekarang, mereka kelimpungan mencari jalan keluar sebelum guru atau pihak berwajib mengetahui hal itu. Tapi, mau bagaimanapun menyembunyikannya, tetap saja tidak bisa menghapus jejak memori per orang yang telah membaca berita itu. Bahkan, mungkin hampir seluruh warga Indonesia telah menonton berita di televisi.
“Pris, matilah kita,” kata Anara dengan panik.
“Tenang, kita kan kemarin sudah tanggung jawab,” jawab Pricilla sembari menunduk. Sebenarnya, dalam pikirannya pun bingung dan kacau tidak beraturan. Merasa khawatir jika akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat dari sekadar membuat kode sekolah.
“Iya, sih. Tapi, masalahnya lingkungan yang kita rusak bukan hanya di satu tempat,” lirih Anara.
Tidak lama kemudian, anak geng luoji lainnya datang berbarengan, kecuali Agnetha. Mereka menghampiri Pricilla dan Anara yang sedang duduk dengan tidak nyaman. Sebenarnya, siapa yang membuat berita itu sampai tembus ke berita televisi.
“Gue tadi lihat televisi. Di sana ada berita tentang kita. Memang, apa yang terjadi dengan hari kemarin?” tanya Kim yang masih rapi dengan jaketnya.
“Hah, serius?” tanya Anders memastikan.
Belum sempat menjawab, bel masuk telah berbunyi. Sedangkan, Agnetha belum sampai disekolah. Tapi, dua detik kemudian, Agnetha telah masuk ke kelas dengan tatapan tidak bersalahnya telah mengganggu kegiatan berdoa yang khusyuk.
“Dasar,” lirih Pricilla, “lo kenapa terlambat?” tanya Pricilla dengan suara yang nyaris tidak terdengar.
“Mogok,” jawab Agnetha sembari melepas tas ranselnya.
Beberapa menit setelah selesai berdoa dan menyanyikan lagu kebangsaan. Benar sesuai apa yang dicemaskan, mereka dipanggil ke ruang BK. Kali ini, bukan Bu Santi yang menangani. Melainkan salah satu guru BK yang sudah setengah tua. Sudah begitu, beliau galak dan tidak pernah kain-main dengan ucapannya.
“Kalian ini, kenapa tidak sekalian berbuat yang lebih membanggakan? Apa kalian bangga dengan hasil karya yang kemarin?” katanya dengan sindiran halus.
“Bu, kami sudah tanggung jawab, kok,” Anders berusaha untuk membela diri. Padahal, mau bagaimanapun membela diri, guru itu tidak akan peduli.
“Sudahlah, di berita, coret-coret dan taman yang rusak saja masih terlihat dengan jelas.”
“Waduh ... ternyata yang itu toh,” celetuk Anders
“Nah, kan, kamu ngaku,” kata guru itu, “Begini, kalian harus tanggung jawab untuk membenarkan dinding dan taman yang kalian rusak. Kalau kalian tidak mau membenarkannya, ya, sudah siap-siap akan ada hukuman lain yang lebih berat. Pihak sekolah tidak akan membantu kalian dari pihak yang berwajib,” jawabnya sembari meninggalkan tempat. Beliau memilih masuk ke ruangan yang lebih dalam. Kembali mengerjakan tugasnya. Sedangkan, geng luoji kembali ke kelas untuk mengikuti pembelajaran.
Mereka duduk di kelas. Ternyata, lagi-lagi jam pelajaran kosong. Mereka benar-benar lelah dan tidak bisa mencari jalan lain. Mau tidak mau, mereka harus mengerjakan apa yang sudah diputuskan oleh gurunya. Bertanggung jawab untuk mengembalikan kondisi lingkungan yang mereka rusak.
Sepulang sekolah, tepatnya pukul setengah dua siang. Mereka pergi ke taman untuk melakukan tugasnya. Menunaikan tanggung jawabnya. Pada saat mereka membereskan tumbuhan yang mati akibat kaki-kaki yang berdosa itu. Tiba-tiba ada beberapa pengunjung yang mencela. Ternyata, berita itu telah menyebar luas ke penjuru nusantara.
“Dasar anak didik tapi kok jiwa tidak punya hati,” celetuk salah satu pengunjung wanita sembari berlalu dari hadapan mereka.
Geng luoji hanya diam. Tidak menggubris pengunjung yang berlalu lalang sembari mencaci. Padahal, tidak perlu mengucapkan kata-kata kasar yang melukai hati. Percaya saja, tidak ada manusia yang luput dari kesalahan. Rata-rata mereka pasti pernah melakukan kesalahan, bahkan jauh lebih banyak yang berbuat melebihi kesalahan mereka.
“Taulah, yang berulah kalian gue ikut kena,” kata Kim sembari membuang tumbuhan yang mulai mengering itu.
“Ya, kita kan kemarin juga gak sengaja. Salah sendiri tidak ada papan peringatan,” gerutu Anara yang sedang menyirami tanaman.
Mereka melanjutkan untuk membersihkan taman. Sesuai dengan perintah dari petugas kebersihan. Walaupun banyak cacian yang masuk ke telinga, mungkin diam dan tetap fokus untuk mengerjakannya merupakan jalan yang terbaik untuk menyelesaikan masalah.
“Tha, tolong bantu gue buat buang sampah,” kata Pricilla sembari mengangkat tempat sampah yang terbuat dari plastik itu.
Agnetha dan Pricilla pergi membuang sampah-sampah itu. Tidak lama kemudian, mereka pergi untuk berpindah tempat. Sebelumnya, mampir di sebuah toko cat untuk membeli cat tembok.
“Pokoknya, lo yang ngecat. Soalnya lo yang nyoret-nyoret,” kata Anara sembari menunjuk Davin dengan jari telunjuknya.
Davin hanya tersenyum tipis lalu melanjutkan untuk memainkan ponselnya. Pada saat tiba di lokasi, cuaca tidak mendukung pekerjaan mereka. Tiba-tiba mendung dan turun hujan tipis-tipis.
“Astaga, malah cuaca yang begini,” lirih Davin sembari menyesap rokoknya.
Mereka berteduh di bawah jembatan. Menunggu hujan reda selama beberapa waktu. Setelah reda, mereka buru-buru untuk menutup coretan dengan cat berwarna putih seperti cat yang sebelumnya. Davin mengecat tembok itu dengan rasa yang tidak bersalah. Sesekali menyesap asap rokoknya, sembari mengoleskan kuas ke dinding.
“Nah, gitu dong Dav, kita jadi bisa istirahat,” celetuk Anara sembari tertawa tipis.
Beberapa saat kemudian, ada seorang tukang penjual batagor. Mereka membeli tujuh bungkus seharga sepuluh ribuan. Kemudian, kembali duduk di bawah jembatan menikmati batagor yang masih hangat. Sedangkan, Davin masih saja fokus dengan dinding yang hampir selesai dicat.
“Nih, punya lo,” kata Agnetha memberikan bungkusan batagor sembari membuang plastik ke tempat sampah dekat Davin berdiri.
“Gila!” teriak Davin seketika.
Davin menutup hidungnya, tidak sadar kuas itu terjatuh dari genggamannya ke bahu Agnetha yang sedang membungkuk membuang sampah. “Tha, gila baunya enggak main-main,” teriak Davin kembali.
“Lo pikir ini cat di baju gue enggak main-main? Kalau sampai tidak bisa dicuci, lo harus ganti,” kata Agnetha melempar kuas dari bahunya.