Agnetha merasa kesal dengan teman-temannya. Berharap semua masalah akan segera berlalu. Nyatanya, banyak hal yang justru datang. Seperti keributan yang terus terjadi selama mereka menjalankan hukuman untuk membenarkan fasilitas umum yang telah dirusak.
“Sudahlah, sudah selesai juga. Mendingan kita sekarang pergi cari makan.” Anara menyeret tangan Agnetha yang masih berlumuran cat.
Mereka pergi ke sebuah warung makan terdekat. Memesan beberapa makanannya. Tapi, pengunjung yang sedang asyik makan pun mengalihkan pandangan ke mereka. Bahkan, ada yang menertawakan hanya karena kondisi tubuh anggota geng luoji yang berantakan dan kotor akibat tumpahan cat.
“Mbak, bisa, kan, mandi dulu. Masa baru selesai mengecat langsung pergi-pergi,” kata seseorang yang duduk di barisan paling depan. Memang, kata-kata yang terucap begitu menusuk hati Agnetha. Tapi, dia harus bisa menahan emosinya daripada mempermalukan diri lagi. “Mbak, biasa saja menatapnya,” sambungnya menyindir Agnetha.
Tidak lama kemudian, ada beberapa orang yang naik ke panggung. Sebuah panggung yang ada di depan sana. Lengkap dengan alat musik yang tersedia. Mungkin, mereka memang akan menemani pengunjung yang datang. Bukan sebuah warung biasa, tampilannya saja seperti warung kaki lima, nyatanya mereka mampu membayar kelompok musik yang lumayan memiliki nama di wilayah.
“Ada yang mau memberikan rekomendasi lagu?” tanya vokalis yang sedang mengecek suara di mikrofon yang ada di sana. “Hari ini spesial untuk kalian, kami akan mempersembahkan lagu-lagu yang berbeda dari biasanya. Kami akan menemani kegalauan kalian semuanya. Saya yakin di antara kalian ada yang sedang merasa sakit hati. Kalaupun sedang baik-baik saja, tidak ada salahnya kita menggalau bersama. Sebab, lagu-lagu hari ini walaupun galau, enak untuk dibuat joget.”
“Asyik!” teriak salah satu dari anggota band. Seorang laki-laki yang sedang memainkan gitarnya. Mungkin, dia sedang mengecek kondisi senar gitarnya. Walaupun mereka tampil hanya di sebuah warung sederhana, tapi sikap mereka patut untuk diapresiasi. Mereka tetap berusaha untuk profesional.
“Nah, ini tempat buat nongkrong paling enak. Makanannya murah, ada penampilan dari band pula,” kata Anders sembari menyeduh air putih yang memang sudah dibelinya sejak tadi.
“Heleh,” timpal Davin yang sedang menikmati rokoknya. “Tapi, benar sih. Mana vokalisnya bening pisan. Cantik ey,” sambungnya dengan mata yang tidak berkedip menatap seorang penyanyi yang sedang mempersiapkan penampilannya di depan sana.
“Dasar cowok mata keranjang!” teriak Agnetha memukul lengan Davin.
“Wadududuah,” goda Anders menertawakan Davin. Memang, hubungan di antara Davin dan Agnetha belum juga ada kejelasan. Tapi, cinta Agnetha untuk Davin begitu tulus. Agnetha pun sampai saat ini masih tetap menjaga kadar cintanya untuk Davin. Dia tidak ingin sakit karena alasan cinta. Memang benar, sebuah rasa yang ada sudah seharusnya dengan kadar yang secukupnya saja.
“Apaan sih, Tha. Benar loh dia cantik,” katanya.
“Iya, tahu dia cantik. Gue beda, gue kotor. Tapi, juga karena lo yang udah bikin gue kotor.” Agnetha menghadap ke depan. “Apaan Pris?” katanya dengan suara yang terdengar dingin. Kedua tangannya pun terlipat rapi.
“Apa sih, Tha. Gue aja biasa saja.”
Tidak lama kemudian, penyanyi yang sudah siap di depan sana pun mulai membuka penampilannya. Sebuah lagu yang memang sedang digandrungi kebanyakan orang. Sebuah lagu berjudul Satru yang diciptakan oleh Denny Caknan. Lagu yang juga dipopulerkan oleh Denny Caknan sendiri bersama Happy Asmara. Tak disangka, hampir semua pengunjung warung itu telah hafal dengan lagu itu. Mereka pun ikut serta dalam menyanyikan lagu itu. Bahkan, ada yang sampai meneteskan air matanya. Mungkin, mereka terlalu menghayati isi lagu itu atau memang sesuai dengan kondisi hatinya saat ini.
“Pris, lihat deh. Itu orang yang tadi mengejek gue kotor. Cih, sekarang malah menangis karena terbawa suasana lagu saja. Alay,” kata Agnetha sembari menyentuh telapak tangan Pricilla.
“Bukan alay, Tha. Tapi, penyanyi itu berhasil membawakan lagu itu. Dia berhasil menyampaikan lagu itu ke hati pendengarnya.” Pricilla masih saja mengikuti alunan musik itu di detik-detik terakhir.
“Semuanya ... mau lanjut?” tanya penyanyi yang masih setia berdiri di depan sana.
“Lanjut!” teriak seisi warung makan, termasuk anggota geng luoji yang duduk di bagian belakang.
“Oke kita lanjutkan!” jawabnya sembari menatap ke arah perempuan yang tadi mengejek Agnetha. “Mbak, jangan nangis, masih banyak buaya-buaya di luar sana, tenang saja,” sambungnya yang seketika membuat seisi warung tertawa.
“Siap!” jawabnya mengusap air matanya.
“Tuh ... Alay,” kata Agnetha yang masih tidak rela dengan ejekan perempuan itu.
“Aja nangis, aku reti kui abot, tapi tulung diselehne disik, sawangen aku, ya,” (Jangan menangis, aku tahu itu berat, tapi tolong tinggalkan dulu, lihat aku, ya) ujarnya dengan tersenyum manis.
Tidak lama kemudian, para pengunjung warung mengambil ponsel masing-masing. Menyalakan senter agar suasana semakin terlihat meriah. Padahal, jelas-jelas masih siang hari. Mungkin, dibatin Agnetha orang-orang itu aneh. Tapi, tidak disadari dia pun ikut serta menyalakan senternya.
Penyanyi pun melanjutkan lagunya sampai bertemu bagian reff dari lagu. Bagian yang memang ditunggu-tunggu oleh penikmat lagu koplo yang ada di warung itu. Suasana semakin terlihat ramai saat lagu itu mulai terdengar dengan menyentuh hati. Lagu kedua yang diciptakan oleh Ndaru Jaya, Ndarboy Genk. Seorang musisi berasal dari Yogyakarta itu merangkai kata-katanya dengan begitu apik sehingga masuk ke hati para pendengarnya. Lagu berjudul “Aja Nangis” tapi berhasil membuat seisi warung tersendu dengan lirik lagu tersebut. Tambah lagi, penyanyi itu
“Ojo nangis, sing uwis ya uwis,” katanya menghayati lagunya.
“Sing ilang ben ilang, cukup aku kelaran-laran,” teriak seisi warung dengan suara yang mengharukan. Tampak kompak dan begitu menghayati.
“Aku nyerah .... “
“Sing bubrah ben bubrah,” sahut Anders dengan suara yang keras. Bahkan, lebih tepatnya dia teriak dengan suara paling kerasnya. “Kowe bakal ngerti larane, nalika ditinggal pas jeru-jerune,” sambungnya menyeimbangi suara penyanyi di depan sana.
“Mletre asek!” teriak Davin menghabiskan rokoknya.
“Bagaimana, nih?” tanya perempuan yang ada di depan sana. “Lanjut lagi atau sudah cukup?” sambungnya.
“Seru juga, ya, dangdutan,” kata Anara sembari mematikan senter ponselnya.
Beberapa waktu kemudian, Agnetha meminta untuk segera kembali ke rumah. Merasa risi dengan tubuhnya yang kotor dengan cat. Merasa telah puas dengan lagu-lagu itu pun mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Tentu saja, mereka telah membayarkan tagihan makan.
“Eh, konser dangdut paling lebih yahud, ya?” celetuk Davin.
“Jelas, apalagi penyanyinya, pehhh enggak mampu aku,” timpal Raynar, “lagu-lagu Jawa itu enak ditelinga. Apalagi, kalau sesuai sama kondisi hati yang lagi galau, bukannya bangkit malah semakin dalam rasa sakit,” sambungnya sembari tertawa tipis.
“Tapi, akan lebih relaks karena bisa dibuat goyang,” jawab Anders tertawa keras sembari mengendarai mobil ke arah rumah Pricilla.