Keesokan harinya, Anara berangkat ke sekolah pagi-pagi. Tentu saja, untuk mengurangi rasa sesak yang melekat di d**a. Dia sampai di sekolah sekitar pukul enam pagi. Padahal, belum ada siswa dan siswi lain yang datang.
Anara masuk ke kelasnya lalu memejamkan mata. Menggunakan meja untuk menopang kepalanya. Melanjutkan tidurnya, walau hanya beberapa menit saja. Dia memang masih mengantuk dan terpaksa berangkat pagi agar bisa menghindari rumah yang sunyi.
“Ra, woy bangun,” kata Pricilla sembari mengoyakkan tubuh Anara.
“Ah, sudah masuk?” tanyanya sembari mengucek mata.
“Belum. Lo kenapa, sih?” jawab Pricilla sembari duduk di bangku sebelah Anara. Melepas tas ranselnya lalu menatap Anara dengan lekat.
“Nanti saja, deh. Gue ke kamar mandi,” jawab Anara sembari berdiri untuk ke kamar mandi. Mungkin, dia ingin mencuci wajahnya.
Beberapa jam kemudian, jam istirahat telah tiba. Mereka bertujuh pergi ke kantin untuk menikmati makanan. Duduk si tempat seperti biasanya, sembari menunggu pesanan datang.
“Ra, lo serius?” tanya Davin sembari memainkan rambutnya yang basah. Memang sengaja dibasahi dengan air keran depan kelas.
“Serius apa coba?” jawab Anara yang fokus memainkan ponselnya.
“Diminta tanggung jawab buat balikin tumbuhan yang mati,” balasnya dengan tertawa sangat bahagia. Davin, mengambil rokok dari dalam saku celananya. Sembari bersembunyi di bawah meja agar tidak ketahuan oleh guru atau penjaga kantin.
“t***l, lo ketularan Agnetha. t***l, lo mau merokok di situ juga bakal tercium baunya,” kata Anara sembari menendang tubuh Davin yang sedang berjongkok di sana.
“Eh, iya juga.”
Davin kembali duduk. Mengamati sekitar ruang kantin yang penuh dengan siswa siswi berebutan untuk memesan makanan. Padahal, tinggal memesan lalu duduk saja bisa, tapi entah kenapa mereka rela berdesak-desakan sembari menunggu pesanan selesai dimasak.
Beberapa menit kemudian, pesanan mereka telah sampai. Tapi, wajah Agnetha begitu tidak suka. Serasa ada yang salah di antara mereka. Tapi, apa dan siapa?
“Tha, noh bakso,” kata Anara.
Agnetha malah pergi begitu saja. Meninggalkan baksonya yang masih panas di dalam mangkok. Entahlah, dia pergi ke mana. Rasanya, Anara menjadi tidak enak hati. Apakah kata-katanya ada yang menyakiti?
“Gue salah?” tanya Anara pada teman-temannya.
“Mungkin saja,” jawab Anders sembari melanjutkan menikmati makanannya.
Anara pergi membawa dua mangkok yang masih panas ke kelas. Meletakkan di meja sembari duduk di samping Agnetha.
“Ini bakso punya lo, dimakan dulu,” kata Anara. “Gue ambil gelas teh dulu, deh,” sambung Anara.
“Enggak usah. Gue gak nafsu makan,” jawab Agnetha lalu berpindah tempat duduk.
Anara duduk di tempatnya. Membiarkan bakso dalam mangkok itu terbawa angin dari AC. Lama-lama mendingin juga. Sama seperti sikap Agnetha yang tiba-tiba saja dingin seperti Davin yang terkesan anak kulkas.
“Tha, lo tahu, nggak?” lirih Anara tanpa menatap Agnetha. Bahkan, kepalanya saja menunduk. “Gue lagi enggak tentu sama mood. Gue minta maaf, kalau kata-kata gue menyakiti. Tapi, asal lo tahu, enggak ada sama sekali niat gue buat menyakiti. Tha, gue .... “
Anara meneteskan air matanya. Mendengar suara isak tangis pun membuat Agnetha tampak peduli dengannya. Agnetha memutuskan untuk menurunkan egonya. Mendekat ke tempat duduk Anara lalu menjatuhkan diri di bangku sebelahnya.
“Ra, lo kenapa nangis? Gue udah maafin lo. Gue cuman sakit hati sedikit aja sama lo,” kata Agnetha sembari menatap Anara yang masih menetap dengan kepala yang menunduk. “Apa ada masalah?” sambungnya.
Anara mengangkat kembali kepalanya. Mengusap wajah yang telah digenangi air matanya sendiri. Mencoba untuk menetralkan ekspresi wajahnya, walaupun terlihat jelas habis menangis.
“Tha, gue sebel sama Mama sama Papa, kenapa sih mereka tidak pernah ada waktu buat gue,” kata Anara sembari memegang jemari Agnetha. Tapi, Agnetha malah ikut menangis melihat mata temannya yang terlihat begitu sembab.
“Ra, gue enggak tahu mau ngomong apa. Tapi, gue tahu kok lo kuat,” jawab Agnetha mengusap air mata yang berjatuhan di pipi Anara lali berpindah pada wajahnya sendiri.
“Terima kasih, Tha. Jujur, gue iri sama Pricilla. Dia bisa akrab dan tiap hari sama Mamanya. Sedangkan, gue ... sendiri di rumah,” kata Anara.
“Ra, hidup gue enggak seindah yang lo lihat. Kita, sebagai manusia biasa. Manusia yang selalu diberi ujian oleh Tuhan. Tapi, cara Dia menguji kita itu berbeda-beda. Gue diuji dengan kemiskinan. Lo ... diuji dengan jarak yang memisahkan lo dengan keluarga. Tapi, lo ada uang. Jadi, kota itu hanya berkebalikan. Kalau lo mikirnya negatif terus, ya, yang lo dapatin bakal energi negatif. Coba aja, kamu mikir seperti ini, Mama di jauh sana semoga selalu bahagia, demi aku di sini hidup bahagia dan berkecukupan. Lalu, belum tentu juga Mama lo di sana hidup tenang. Pasti, tetap ada lo di hati dan pikirannya,” Pricilla memeluk Anara dengan erat. “Ingat, dalam orang Jawa, ada istilah, urip iku wang-sinawang.”
Anara menangis pilu di pelukan Pricilla. “Tapi, gue rindu Mama,” katanya yang terdengar terbata-bata.
“Nanti, lo ikut gue,” jawab Pricilla sembari tersenyum lalu menghapus air mata sahabatnya.
“Seharusnya, kalian yang ikut pulang gue. Itu, ada tanggung jawab yang harus diselesaikan,” kata Anara sembari tertawa. Teringat dengan tanggung jawab mengganti tanaman di sungai. Harap penuh cemas, semoga saja pembantunya tidak lupa untuk membeli tanaman itu.
“Santai, kita bakal tanggung jawab. Kita berulah, harus berani tanggung jawab,” kata Anders.
“Enak aja lo bilang kita, bukannya lo yang merusak tanaman itu?” kata Pricilla tidak terima.
Terserah kalian lah, gue mau makan,” kata Agnetha mengambil sendoknya untuk menikmati baksonya, walaupun terburu-buru seperti dikejar kereta api. Benar-benar sudah mepet dengan jam masuk kelas.
Beberapa jam telah dilalui di sekolah. Saat ini, mereka telah berada di sungai sekitar rumah Anara. Mereka sebelum pergi ke sungai, berganti pakaian bebas agar tidak mencemarkan nama baik sekolah lagi. Itu pun karena lagi sadar akan nama baik, biasanya, mah mereka tidak peduli.
“Nanti dulu, deh. Gue mau relaksasi dulu sama air sungai yang menenangkan ini,” ucap Anders.
“Awas saja kalau tiba-tiba tangan lo usil lagi,” ancam Anara.
Mereka bermain air di sungai. Bukan segera menanam tanaman itu malah asyik dengan air sungai dan batu kali. Tapi, bermain air di sungai memang memberikan rasa bahagia tersendiri. Makanya, tidak heran jika ada anak kecil yang lebih suka main di sungai.
“Eh, ini batu yang biasanya buat gosok badan buat mandi, bukan?” tanya Agnetha dengan polosnya. Lagi pula, dari mana dia tahu tentang batu kali yang bertekstur halus itu.
“Iya, dulu Nenek gue kalau mandiin gue di kali suka pakai batu itu,” jawab Pricilla yang masih memainkan air dengan kakinya. “Berasa balik ke masa kecil dulu,” sambungnya.
Setelah beberapa jam kemudian, akhirnya mereka bergegas untuk membuang lubang-lubang agar tanaman itu bisa tumbuh dengan kokoh nantinya. Andai saja, tidak mendapatkan sanksi, pastinya mereka tidak akan merasakan cara menanam tumbuhan dengan baik. Setelah membuat lubang, tumbuhan itu dimasukkan untuk dikubur dengan tanah. Kemudian, diberi pupuk kompos dan disiram dengan air yang cukup.
“Tumbuh baik-baik, ya,” kata Anders.
“Gila kali kau. Masa tumbuhan diajak bicara,” celetuk Agnetha.
“Ye, ini doa. Biar tumbuhan ini bisa bertumbuh dengan baik dan tidak mati,” jawab Anders sembari menuju air sungai kembali. Merendam kakinya di sana mencari sesuatu yang bisa menyegarkan tubuhnya. Air sungai, memberikan kesejukan yang tiada tandingannya. Tambah lagi, sekitar sungai yang begitu asri dengan pepohonan.
“Makanya jangan merusak lingkungan,” sindir Anara, “Itu, kata-kata kemarin keluar dari warga. Padahal, bukan gue juga yang merusak,” sambung Anara bercerita.
Anak laki-laki memilih untuk bermain air di sungai. Hari ini, mereka berkumpul tanpa Kim. Entah kenapa hari ini Kim tidak masuk sekolah. Bahkan, tidak ada surat yang mengiringi izinnya dari sekolah. Ya, mereka hanya berharap, semoga Kim selalu baik-baik saja. Sembari menunggu anak laki-laki bermain di sungai. Anara, Agnetha, dan Pricilla memilih duduk di sebuah gubuk yang berdiri tidak jauh dari sungai.
“Ra, kalau lo mau, lo bisa tidur di rumah gue,” kata Pricilla, “Ya ... siapa tahu kan kangen lo bisa terobati,” sambungnya sembari tersenyum.
Anara menggelengkan kepalanya. “Tidak. Gue mau di rumah saja. Kan, gue dikasih amanat buat jaga rumah dengan baik. Tapi, jujur saja gue begitu kangennya sama Mama.”
Agnetha mengambil ponsel dari dalam saku Anara. Memanggil sebuah kontak bernama Mama. Tidak lama kemudian, sambungan telepon telah terhubung.
“Haiz Tante. Aku Agnetha, temannya Anara. Oh iya, Tante, Anara kangen sama Tante,” kata Agnetha yang tidak menghiraukan bahasa isyarat yang dilampirkan oleh Anara.
“Oh iya, besok Tante pulang ke rumah kok, temani Anara dulu, ya,” jawabnya dari balik telepon.
Sekitar pukul empat sore, mereka kembali ke rumah masing-masing. Lagi-lagi, Anara hanya berada di rumah bersama pembantunya. Anara duduk di sofa ruang tamu sembari menonton televisi. Berharap ibunya akan kembali malam ini. Tapi, itu hanya sebuah impiannya saja.
Anara beranjak ke dapur untuk mengambil makanan dari dalam kulkas. Makanan yang akan menemaninya menonton sebuah film kesukaannya. Film kartun yang menjadi favoritnya sejak kecil.
“Dulu, nonton sama Mama sama Papa, sekarang seorang diri,” lirihnya.
Tangan Anara mulai mengambil camilan itu untuk disantapnya. Tiga detik kemudian, terdengar dering ponselnya. Ternyata, Mama Anara menghubunginya. Dia menanyakan kabar Anara dan mengabari bahwa akan pulang dengan segera. Padahal, tadi bilang akan pulang hari besok.
Anara menekuk wajah kembali. Kecewa dengan ibunya yang tidak menepati omongan. Jika boleh memilih, Anara memilih untuk tidak dilahirkan. Tapi, dia sadar bahwa dulu dirinya memilih untuk lahir ke dunia ketika Tuhan menjelaskan alur hidupnya sejak dalam kandungan.
“Terima takdir, saja.” Anara menikmati kerupuk bawang.
Anara masuk ke kamarnya. Membersihkan diri lalu memainkan ponsel sembari mengeringkan rambutnya. Setelah rambutnya kering sempurna, Anara memilih untuk beranjak ke ranjang menjemput mimpi indahnya. Sebelum tidur, membaca doa terlebih dahulu.
“Ma, Anara rindu,” lirihnya sebelum mata terpejam sempurna.