kom.plain

3122 Kata
Jangan pernah mendengarkan orang lain tentang sesuatu yang tidak mereka tahu secara nyata dan menyeluruh. Karena, sebenarnya mereka hanya sedang dalam bualan orang lain juga. -          Gabriela Pricilla Nahlohy –   Malam ini hujan kembali mengguyur bumi pertiwi. Bukan hujan biasa, melainkan hujan dengan disertai petir dan angin kencang. Hampir mirip dengan angin topan atau angin p****g beliung, tapi tidak terlalu ekstrem. Suasana ini membuat Pricilla ketakutan akan robohnya gubuk sederhananya. Kayu-kayu yang sudah tampak rapuh dimakan rayap, genteng yang sudah terlalu tua sehingga mudah pecah. Ya, Pricilla bukanlah anak sultan yang tinggal di rumah mewah bak istana, ia hanya tinggal di gubuk reyotnya bersama mamanya di perkampungan ibu kota Jakarta. Ia bisa sekolah di SMA Go Publik pun karena beasiswa kurang mampu dan berprestasi. Duar! Duar! Duar! Suara petir yang terus menghantui rumah mereka malam ini membuatnya tidak sanggup berdiri di dalam hunian itu. Apalagi, duduk ataupun tertidur dengan nyenyak—sungguh tidak nyaman. Pricilla dan mamanya ingin sekali keluar dari hunian tua itu, tapi hujan lebat disertai badai membuat mereka tidak dapat berkutik sama sekali. “Ma .... “ “Diam! Lebih baik kita berdoa dan memohon ampunan.” Mama pergi ke ruang tengah lalu duduk dalam kondisi menunduk sembari mulutnya mengucap doa-doa yang Beliau hafal. Tak berselang lama, listrik pun dipadamkan dari pusat. Tangan Pricilla mencari-cari senter yang berada di laci meja ruang tengah. Tapi, ia tidak menemukannya. Entah berjalan ke mana senter itu sampai ia tidak menemukannya di tempat biasa. “Pris, menyalakan lilin saja. Lilinnya mama taruh di dekat helm.” Mama meraba-raba untuk berjalan ke arah meja yang Beliau maksud. “Mama duduk saja, biar Prissy yang mencarinya.” Lilin telah menyala selama dua jam menerangi kehidupan malam ini. Artinya, dalam jangka watu yang sama juga, mereka berada dalam rasa takut dan cemas menghadapi besarnya badai yang menghantui mereka. “Alhamdulillah ... Akhirnya listrik nyala juga,” ucap Mama mengambil ponselnya yang sejak tadi tergeletak tak bernyawa di atas meja. Pricilla pergi ke kamarnya lalu membuka ponselnya mencari freelance untuk membantu mama merenovasi rumah yang ditinggali agar jauh lebih layak untuk disebut hunian. Tapi, ia tidak menemukan pekerjaan yang cocok dengan kemampuan dan waktu luangnya. “Pris, kamu mau makan malam?” tanya Mama setelah masuk ke ruang kamar Pricilla. Pricilla menggeleng. “Ma, Prissy tidur dulu, ya,” ucapnya. Keesokan harinya, Pricilla berangkat ke sekolah sekitar pukul setengah tujuh. Ia merasakan hawa merinding yang tidak biasa di bulu kuduknya, ia menghentikan langkah kakinya sebentar lalu menengok ke belakang. Tapi, tidak menemukan apa pun di sana. “Pris, gawat darurat. Kita harus melakukan aksi ada satu anak yang mengalami kecelakaan dan harus di operasi sesegera mungkin.” Tiba-tiba Agnetha berdiri di belakang Pricilla dengan tangan kanan memegangi pundaknya. “Ternyata, kamu ... Aku kira hantu,” jawabnya, “Tha, kok kamu bisa tahu?” “Iya, semalam si Anara menghubungiku, dia bilang kamu tidak bisa dihubungi.” Agnetha menyisir rambutnya menggunakan sela-sela jari. Mereka berdua melanjutkan jalan ke kelasnya. Ketika sampai di ujung koridor, Agnetha meminta Pricilla untuk masuk ke kelas terlebih dulu, ia ingin ke kamar mandi dulu. Agnetha memasuki ruang kamar mandi yang ada di ujung koridor sekolah itu. “Hallo, kalian bisa lakukan aksi kalian sekarang juga,” ucapnya dalam sambungan telepon dengan orang misterius. “Baik, saya akan melakukan itu.” Orang misterius itu mematikan teleponnya. Orang misterius itu pergi ke rumah Pricilla, ia mengetuk pintu rumah reyot itu, tapi tidak ada orang yang membukanya. Ia menyelusup ke dalam melalui jendela yang kacanya sudah retak parah. Ia membuka almari dan laci meja yang ada di seluruh ruangan. Entah, apa yang dicari orang itu, tapi yang jelas dia mengacak-acak rumah Pricilla. “Ehm, aku taruh di mana, ya?” tanya orang misterius itu dalam batinnya. Orang itu membuka laci meja rias milik Alya—Mama Pricilla—lalu menaruh amplop cokelat berukuran besar dan tampak berisi. Orang itu pergi dari rumah Pricilla dan meninggalkan rumah dalam keadaan acak-acakan. Dilain tempat, Pricilla sedang duduk dengan Anara dan teman-temannya sembari membicarakan tentang anak jalanan yang harus segera ditangani. Tapi, mereka juga sudah kehabisan dana saat ini. Mau ataupun tidak, mereka harus melancarkan aksinya sesegera mungkin. “Sepulang sekolah, kita langsung turun ke jalanan saja. Target kita adalah orang-orang kaya yang melintas di jalanan atau ... Kita melakukan penyerangan di dalam supermarket, restoran, dan lainnya, tapi kita harus berhati-hati dan bermain secara halus.” Kim memegang tas gendongnya yang belum juga ditaruh sejak tadi ia datang ke kelas. “Eh, Agnetha ke mana? Gak berangkat atau .... “ Davin mengambil sapu untuk menyapu tempat duduknya yang masih banyak debu. “Tumben nih, mulai suka?” canda Raynar. “Enggaklah, aku .... “ “Hai wak wakku, duh, masih mules.” Agnetha berjalan mendekati teman-temannya itu menggerombol. “Tha, ke mana saja? Untung kaga telat!” seru Raynar, “Tha, dicari sama Davin.” Agnetha mendengar hal itu lalu menciptakan raut pipinya yang kemerahan atau bisanya disebut blushing. Agentha duduk di depan Anara dan berada di samping Davin. “Dav, suka sama aku? Sampai dicari-cari,” godanya. “Woy, bahas buat aksi kek,” jawabnya dengan cuek. Suara langkah kaki terdengar samar-samar sampai benar-benar terdengar nyata di indra pendengaran. Pintu kelas yang tadinya di tutup kini terbuka dengan lebar dan menyembulkan sesuatu di sana. Hal itu membuat siswa dan siswi yang ada di kelas berhamburan kembali ke tempat duduknya. “Untuk memulai pembelajaran hari ini, mari kita berdoa terlebih dahulu ... Berdoa selesai.” Ibu Diah—guru Bahasa Indonesia—duduk di bangku guru yang terletak di pojok kanan paling depan. Ia masih berdiri, hanya saja barang-barangnya sudah di letakkan. “Saya bangga dengan SMA Go Publik yang memenangkan Olimpiade Matematika di tingkat nasional. Terlebih, saya tidak menyangka bahwa kalian yang suka berbuat onar pun memiliki kecerdasan yang luar biasa. Hal itu patut untuk kita syukuri ... Marilah kita melanjutkan pelajaran.” Beliau duduk. “Baik, untuk teks prosedur kita cukupkan saja, kita masuk ke pembahasan selanjutnya. Ada yang tahu apa materi kita hari ini?” tanyanya yang tidak ada sahutan satu pun dari murid. Bu Diah mengambil dua buku yang tebalnya tiada kira. Ya, buku tentang PUEBI dan KBBI. Padahal, di buku paket tidak ada pembahasan tentang keduanya. Tapi, Bahasa Indonesia juga patut mempelajarinya, karena itu ada pedoman untuk bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. “Baik, saya akan membahas sedikit tentang PUEBI dan KBBI. Saya yakin, kalian juga sudah mempelajari hal ini dari SD. Tapi, saya akan mengulanginya sedikit. Saya akan membahas tentang huruf diftong. Ada yang tahu huruf diftong itu apa?” Beliau berdiri dengan membawa spidol di tangan kanannya. Ia menghadap ke papan tulis lalu menuliskan peta konsep tentang materi hari ini. Huruf Diftong Dalam PUEBI sebelumnya ada 3, tapi setelah diperbaharui pada tahun 2015 menjadi 4, yaitu: ai, au, ei, dan oi Contoh-contoh penggunaan huruf diftong dalam kata yang sesuai dengan KBBI: balairung, autodidak, boikot, dan lain-lain. “ Baik, bisa dicatat terlebih dahulu ... Kalau sudah selesai mencatat, tolong cari lima kata yang sesuai dengan KBBI yang memakai huruf diftong.”  Bu Diah memberikan buku KBBI kepada murid yang duduk di barisan paling depan. “Bu, Agnetha mau menyumbangkan satu kalimat! Ailove you, Davin!” Agnetha berdiri tanpa rasa bersalah menyuarakan kalimat itu di depan guru lagi dan lagi. Davin yang mendengarkan itu hanya melongo tak percaya. Bu Diah pun menggelengkan kepalanya. Ia tidak percaya mempunyai anak didik yang terlalu bu-cin. “Tha, itu bukan ... “ ucapnya terpotong oleh Agnetha, “Kan ada ai-nya, Bu.” Seisi kelas menertawakan dan sorot mata mereka ke arah Agnetha.  Agnetha lalu duduk kembali dan mengerjakan tugas kembali setelah mendapatkan peringatan dari Bu Diah. Ting! Ting! Ting! Ting! “Baik, kelas kita akhiri dengan doa,” ucap Bu Ratmi —guru Bahasa Mandarin. Ya, kelas berakhir dengan mata pelajaran Bahasa Mandarin. Salah satu mata pelajaran bahasa asing selain Bahasa Inggris. Setelah berdoa, mereka berhamburan ke luar. Mereka pergi menuju markas yaitu warung milik Pak Rahmat. “Pak, pesan tujuh es teh manis sama tujuh mi ayam.” Anders memesan menu yang sedang ia inginkan tanpa menawarkan teman-temannya. “Jadi, sekarang kita turun ke jalanan semua, kan?” tanya Raynar sembari memainkan ponselnya. Tidak lama kemudian pesanan telah bertengger di meja yang mereka tempati. Merek menyantapnya dengan nikmat. Ya, nikmat sekali, kan, ya? Orang tinggal makan doang. Gratia pula, dibayar sama ketua geng. Dalam waktu lima belas menit, mereka telah selesai mengisi perut kosong mereka. Saat ini, mereka telah berada di daerah Grogol Utara, Kebayoran Lama. Lebih tepatnya di tepi Jalan Bunga Kamboja, mereka tersebar ke ruas jalan. Mengadang orang-orang kaya untuk meminta sedikit harta mereka bukan untuk keperluan pribadinya. Mereka tahu, hal itu salah dan sesat, tapi mereka melakukannya dengan terpaksa karena suatu desakan keadaan darurat. Pricilla berdiri bersama Agnetha dan Anara bersembunyi di balik tiang listrik. Mereka bertiga menghadang targetnya dengan teliti. Hanya orang yang berpenampilan mewah yang akan dijadikan target oleh Geng Luoji. Mereka hanya akan mengambil sebagian harta mereka tidak secara keseluruhan. Hanya itu yang mereka lakukan agar bisa berbuat memanusiakan manusia dengan layak. Bahkan, saat ini mereka masih mengenakan seragam yang berlogo SMA Go Publik. Hal itu bukan masalah besar yang harus mereka takutkan apalagi perdebatkan. Apa pun yang akan terjadi nantinya, mereka seakan tidak peduli. Agnetha berhasil menyeret tas hitam yang dipakai oleh ibu-ibu yang berpenampilan sesuai dengan target mereka. Ibu-ibu itu pun terkejut dengan situasi dadakan yang ia dapati. Tas hitamnya telah diambil oleh Agnetha lalu mengambil beberapa lembar uang kertas yang identik dengan gambar presiden dan wakil presiden negara Indonesia yang pertama. Setelah berhasil merampas, mereka mengembalikan ke pemiliknya lalu pergi meninggalkannya begitu saja. Si korban pun tidak bisa berbuat apa pun termasuk meminta pertolongan, karena kondisi sekitar yang sepi. Setelah berhasil mendapatkan korban sebanyak sepuluh orang, mereka pergi ke rumah sakit di mana salah satu anak jalanan itu dirawat. Ia membayarkan biaya pengobatan dengan uang hasil pemalakan tadi siang. Waktu telah berangsur semakin gelap, mereka memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing dan menitipkan anak itu ke pihak rumah sakit. “Davin, kamu mau tahu resep bahagia?” tanya Agnetha yang ditatap oleh Davin seketika, “Harta, takhta, Agnetha!” Agnetha menyengir ketika mendapati kerutan di dahi Davin sebagai tanda tidak suka(?) Pricilla menapuk keningnya sendiri, ia tidak habis pikir akan memiliki teman yang —bisa dibilang mengesankan—membuatnya sedikit stres. “Tha, kita itu masih di jalan mau pulang, bukannya banyak-banyak doa biar selamat sampai rumah malah .... “ “Suka-suka Agnetha lah!” potongnya. Lima belas menit kemudian, Pricilla turun tepat di depan gang rumahnya. Ya, mereka menaiki taksi online. Pricilla masuk ke rumahnya dengan mengetuk pintu dan salam terlebih dahulu. “Pris, kamu apa-apaan sih? Rumah di acak-acak kaya gini!” Mama berdiri dengan kedua tangan terlipat di dadanya. Masalah rumah yang berantakan, Pricilla sendiri tidak mengetahui penyebabnya. Toh, dia sendiri baru pulang dari aksi kejahatan sekaligus kebaikannya. Ia mengernyit tidak mengerti akan situasi rumahnya yang seperti kapal pecah. Pricilla mengambil kantong plastik berukuran besar dan berwarna hitam. Ia membereskan rumahnya yang berantakan—bagai tidak dibersihkan selama bertahun-tahun. Pricilla membutuhkan waktu selama dua jam untuk menyelesaikannya. “Kok bisa ada penyusup si?” tanya Pricilla pada mamanya. “Tidurlah, besok kamu sekolah. Masalah tadi jangan diingat apalagi dipikirin.” Alya mengambil tas gendongnya untuk ditaruh di meja belajar. “Ma, sebentar, ini tugasku dari beberapa hari ke belakang, mama tanda tangani ya.” Pricilla memberikan kertas yang—sekiranya—ada lima lembar. “Pris, kenapa hanya mendapatkan nilai 8,5? Harusnya bisa mendapatkan yang sempurna Karen saja bisa mendapatkan nilai 100 dan menjuarai perlombaan .... “ Pricilla memotong sebelum terlalu jauh mamanya berbicara tentang teori ibu-ibu yang terdengar klise, tapi hal itu sebenarnya adalah sebuah motivasi untuk anaknya. “Ma, itu nilai tertinggi semua loh di kelas. Bahkan soalnya juga bisa dikatakan sulit. Apalagi, kimia dan fisika yang menurutku membutuhkan ketelitian, coba kalau lupa satu simbol saja sudah mengacaukan semuanya. Kalau mama menuntutku untuk mendapatkan nilai yang sempurna, tolong mama kerjakan soal itu tanpa membuka mesin pencari di ponsel. Apa mama mampu? Loh, kemarin Prissy juga mampu menjuarai Olimpiade tingkat nasional,kan?” ucapnya dengan nada yang sangat rendah dan halus. Alya terdiam. “Maaf, ya, Pris,” ucapnya setelah memahami dengan jelas perkataan putrinya. Ya, kecerdasan, fisik, sifat, dan lainnya yang melekat dalam diri manusia itu berbeda dengan yang satu dan lainnya. Kita tidak bisa membanding-bandingkannya dengan orang lain, sebab hal itu akan memiliki dampak yang kurang baik untuk kesehatan mental. Jika kita ingin membandingkan, seharusnya membandingkan dengan diri kita yang kemarin. Apakah kita sudah lebih baik dari hari kemarin atau malah sebaliknya? Pricilla tersenyum lalu memeluk Alya dengan erat. “Ma, selalu disisi Prissy terus ya? Apa pun yang terjadi,” ucapnya pelan. “Iya, Nak. Oh iya, jaket denim kamu sudah kering,” tuturnya. Jaket denim peninggalan satu-satunya dari Papanya sempat basah karena rumahnya bocor sewaktu hujan disertai badai. Pricilla tidak pernah membenci ayahnya, oleh karena itu ia tidak membuang jaket itu. Hanya, ia merasakan kecewa yang sangat dalam mengenai hal itu. Malam ini, ia tidur berdua dengan Alya di kamar Pricilla. Kukuruyuk! “Selamat pagi, Ma.” Pricilla duduk di meja makan di samping Alya. “Ma, kalau terjadi sesuatu sama aku, aku minta maaf, ya?” “Pagi, kenapa berbicara seperti itu? Sudah-sudah, makan saja sarapanmu.” Alya menuangkan air putih ke gelasnya dan gelas Pricilla. Dalam waktu lima menit, ia telah menghabiskan satu porsi sarapannya. Ia berpamitan dan berangkat ke sekolah dengan menaiki ojek online yang telah dipesan lima belas menit yang lalu. Perjalanan dari rumah ke sekolahnya tidak terlalu memakan waktu. Pada saat jam pertama baru akan dimulai, tiba-tiba ada suara bergemuruh dari luar kelas. Mereka berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing untuk melihat apa yang sebenarnya sedang terjadi. Ada beberapa tokoh masyarakat yang sedang mengajukan keluhannya. Dari sudut mata Pricilla dan geng luoji tertuju pada beberapa korban dari peristiwa kemarin. “Bu, saya tidak terima atas kejadian yang menimpa saya kemarin! Saya mau mereka dihukum sesuai undang-undang!” teriaknya. “Bapak Ibu, saya yakin anak didik SMA Go Publik tidak ada yang melakukan hal keji tersebut. Saya yakin murid-murid di sini memiliki budi pekerti yang luhur,” bela Bu Sinta—guru BK. Percaya atau tidak, guru BK akan selalu menjadi tameng pihak sekolah dalam segala masalah yang terlibat. Peran guru BK, sangat besar. Bukan hanya mendidik muridnya untuk memiliki karakter yang luhur, tapi juga membelanya walaupun ia dinyatakan bersalah. “Itu! Mereka yang melakukan tindak kriminal terhadap kami!” teriaknya sembari menunjuk seluruh anggota geng luoji. Pricilla, Kim, Anara, Agnetha, Davin, Anders, dan Raynar saling menatap satu dan lainnya. Mereka bingung menghadapi situasi ini, mau mengelak pun korban yang siap menjadi saksi sudah berada di depan mata. Tidak mengelak, artinya hukuman akan semakin berat untuk mereka. Malah, bisa jadi akan melibatkan polisi dan keterikatan hukum yang berlaku di Indonesia sesuai perundang-undangan. Seluruh guru dan karyawan menatap mereka dengan tajam. Bahkan, raut wajah sudah sangat berubah. Apalagi, Ibu Sinta yang sedari tadi mencoba menyelamatkan nama baik SMA Go Publik dan membela anak didiknya. Ternyata, memang ada siswa-siswinya yang melakukan tindak kriminal sesuai dengan keluhan dari elemen masyarakat sekitar. “Baik, berapa total kerugian bapak dan ibu? Untuk anak-anak itu biarkan pihak sekolah yang menanganinya. Kami juga akan mengganti ruginya, Pak, Bu.” Kepala sekolah SMA Go Publik mencoba meredakan emosi dari para korban yang datang meminta pertanggungjawaban. “Aelah, kita kan hanya ambil sedikit hartanya saja sudah kek kehilangan seluruh aset berharganya,” ucap Agnetha secara spontanitas. Beruntung, suaranya pelan sehingga tidak terdengar oleh mereka yang masih meminta kerugian dan mengeluhkan ke pihak sekolah. Geng Luoji hanya perlu mempersiapkan mental untuk menerima hukuman tambahan atau malah dipenjara. Tapi, mereka yakin bahwa guru SMA Go Publik tidak akan mengikhlaskan mereka dipenjara atau dikeluarkan dari sekolah apabila melihat dari prestasi-prestasi yang telah di torehkan untuk SMA Go Publik selama hampir tiga tahun. Masyarakat yang mengadu keluhannya ke sekolah telah pergi dua menit yang lalu. Saat ini, Pricilla dan keenam temannya sedang duduk rapi di ruang BK. Tentunya, bersama Ibu Sinta dan Ibu Ratna. Mereka di sidang atas kasus pemalakan yang terjadi kemarin siang. Mereka bingung ingin membalas apa pertanyaan-pertanyaan dari gurunya tersebut. Mereka belum siap untuk mengungkapkan alasan yang sesungguhnya yang untuk memanusiakan manusia. Mereka tahu, kalau hal ini tidak baik. Jauh dari kata baik. Tapi, mau bagaimana lagi? Mereka tidak mungkin membiarkan anak-anak itu hidup nelangsa, bahkan di luar sana banyak manusia yang egois menggunakan hartanya untuk diri sendiri. Padahal, seharunya mereka tahu di dalam hartanya ada hak untuk anak-anak jalanan dan fakir miskin. Geng Luoji juga paham bahwa yang mereka lakukan juga akan mematikan pahalanya—mungkin—tapi mereka jauh lebih merasakan tragis ketika ada anak-anak jalanan yang merasakan lapar, kesakitan, dan tidak menimba ilmu dengan pendidikan yang layak. Jika Ibu Sinta dan Ibu Ratna menuntut Geng Luoji dengan kata ‘egois’ lantas apa mereka juga tidak bisa dikatakan egois? Di saat mereka lebih memilih mendengarkan omongan orang lain yang—mungkin—saat ini sedang mengatakan sesuatu yang tidak terbukti. Bahkan, uang itu sepeser pun tidak pernah digunakan untuk membeli jajan atau barang mewah yang digunakan oleh anggota geng. Mengeluh? Memberikan keluhan? Atau menerima keluhan? Hal itu sangat wajar dalam kehidupan, tapi yang tidak boleh adalah di saat kita mengeluhkan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Apalagi, sampai mengedarkan berita palsu yang jauh dari fakta. Dalam kasus ini, merek memang merampas sebagian harta dari masyarakat yang menghebohkan seisi sekolah tadi pagi. Tapi, mereka hanya merampas yang menjadi hak untuk anak-anak jalanan yang selama ini mereka bantu kehidupannya. “Saya tidak mengerti dengan jalan pikiran kalian! Kalian ini anak orang kaya, tapi kenapa melakukan tindakan kriminal? Apa kalian tidak pernah diajari jalan yang benar? Atau kalian yang memang sedang tersesat?” tanya Ibu Ratna sembari mengedarkan sorot tajam matanya ke arah kami. “Jawab pertanyaan saya, kalian ini memiliki rasa kan?” tanya Ibu Sinta pelan. Mereka menganggukkan kepalanya. “Kalau iya, kenapa kalian melakukan perampasan yang jelas-jelas bukan hak kalian?” sambungnya. “Anak-anakku yang baik dan cerdas, jangan melakukan hal buruk lagi, ya, kemarin kalian telah membuat kami bangga, lalu kenapa hari ini kalian membuat malu kami sebagai guru kalian?” Ibu Sinta menunduk. “Ya, mungkin ini salah kami dalam mendidik kalian, mungkin kami kurang mengerti dengan kondisi kalian.” Mendengar hal itu membuat Agnetha secara tidak sadar meneteskan air matanya. Ia merasa bersalah dengan sikapnya yang membuat Ibu Sinta malah menyalahkan dirinya bukannya menyalahkan mereka yang telah mempermalukan nama sekolah. Agnetha mengelap air matanya lalu menatap Pricilla yang duduk di sebelahnya. Ternyata, Pricilla pun sama halnya dengan Agnetha yang meneteskan air matanya, walaupun nyaris tidak terlihat. Sebenarnya, mereka tidak ingin mempermalukan nama sekolah dan nama orang tuanya, tapi kondisi yang membuat mereka secara terpaksa melakukan tindak kriminal.          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN