Kegagalan adalah suatu hal yang biasa dalam kehidupan. Justru, berawal dari kata gagal, sukses akan menghampiri. Kita hanya bersikap bangkit tanpa menyerah untuk kata ‘gagal’ agar bisa mencapai titik puncak kejayaan dalam kehidupan.
Lakeswara Raynar –
“Besok, orang tua kalian di suruh datang ke sekolah pukul delapan tepat. Sekarang kalian kembali ke kelas.” Ibu Sinta menunjuk pintu ruang BK, sedangkan Ibu Ratna memilih keluar terlebih dulu untuk kembali ke ruangannya.
“Bu, maaf, kalau saya yang mewakili orang tua saya bagaimana? Mereka sedang di luar kota, Bu.” Agnetha berkata tanpa dosa, mereka mengernyitkan dahi dan menatap bingung dengan Agnetha.
“Tha, tidak bisa. Kamu minta saudara atau siapa pun yang bisa mewakili.” Ibu Sinta pergi meninggalkan ke ruang berkas.
Mereka kembali ke kelas. Pemanggilan wali murid kali ini menjadikan malapetaka untuk mereka. Apalagi Pricilla, ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi dari Alya ketika tahu perilaku buruk putrinya yang semakin menjadi. Bisa-bisa ia diusir dari rumah. Ah, tidak lebih parahnya mungkin akan tidak dianggap anak lagi.
“Gila, papa bakal marah besar pasti!” Agnetha berteriak di tengah-tengah koridor. Padahal, di sana ada seorang guru yang berjalan lalu berhenti karena terpekik oleh teriakan Agnetha yang menggema di lapisan dinding koridor.
“Tha, itu kesalahan kalian, kalau mau orang tua kalian tidak marah, ya kalian harus bisa menjadi anak yang baik dan memiliki prestasi.” Ibu guru itu melanjutkan jalannya lagi.
Mereka tidak mampu mengeluarkan sepatah kata. Mereka bingung dengan semua yang terjadi. Apa salah mereka meminta sedikit harta orang lain untuk memanusiakan manusia lain? Ya, itu tidak salah, karena harta dari manusia ada sebagian hak untuk manusia lainnya. Tapi, yang membuat mereka bersalah adalah ada pada cara. Kenapa? Ya, jelas cara yang mereka pergunakan termasuk sebuah penyimpangan.
“Wis, lebih baik kita ke ruang asmara sekolah saja.” Raynar menyeret lengan Pricilla yang diikuti oleh teman-temannya.
Ruang asmara adalah sebuah ruangan yang dimiliki SMA Go Publik yang terletak di lantai tiga. Ruangan ini bukan sebuah ruangan dikhususkan untuk pacaran atau memadu asmara. Tapi, ruangan ini adalah ruang musik SMA Go Publik untuk kegiatan pelajaran seni dan budaya. Kenapa diberi nama asmara? Karena, asmara adalah kata yang tepat untuk mengilustrasikan sebuah kenyamanan, keakraban, keindahan, keharmonisan yang tercipta ketika melakukan sebuah seni, entah seni lukis, seni tari, ataupun seni musik.
Raynar duduk di depan piano yang selama ini menjadi bahan utama pembelajaran seni musik. Anders mengambil gitar lalu memetikkan alunan nada yang tercipta darinya. Mereka menyanyikan sebuah lagu yang menjadi kesukaan mereka. Sebuah lagu bergenre POP menjadi obat kegelisahan mereka. Lagu berjudul New York yang diciptakan oleh Sivia dialunkan dan diaransemen sedemikian rupa, sehingga menjadi jauh lebih menarik. Diiringi dengan suara gitar akustik, lembutnya iringan piano, dan suara lembut dari Pricilla, Anara, dan Agnetha membuat lagi tersebut semakin ciamik.
“Eh, ini ruangan kaga dipakai?” tanya Agnetha setelah lagu berakhir.
“Enggak. Ya sudah, balik ke kelas, yuk.” Anders melepas gitarnya.
Ketika mereka keluar dari ruangan tersebut, ada Pak Damar—guru seni budaya—sedang berdiri di depan pintu. Raut wajahnya yang identik dengan raut seperti orang yang sedang dalam suasana buruk.
Tidak ada yang hendak berbicara. Mereka diam seribu bahasa, bukan takut dengan kemarahan Pak Damar, tapi lebih takut kalau hukuman mereka semakin berat. “Kalian, kalau sedang suntuk gunakanlah ruangan ini dan mainkan musik sesuka hati kalian.” Pak Damar menyelipkan tangan kanannya di saku celana. “Ayo, main musik lagi,” ajaknya.
“Maaf, Pak. Kami lebih memilih membolos dari sekolah saja. Tadi, kami juga sudah konser satu lagu.” Agnetha menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan tatapan dari teman-temannya yang sangat sadis.
“Wow, daripada bolos di luar sekolah dan tertangkap tugas keamanan, lebih baik kalian bolos di sini bersama saya,” ujarnya, “Saya tahu kalian sedang dalam rasa gelisah yang tidak menentu, tapi ... itu semua juga karena diri kalian sendiri yang membuatnya. Saya tidak menyalahkan kalian, saya hanya mengingatkan kalian supaya tidak tersesat.”
“Pak Damar, andai Bapak belum menikah ... Saya mau jadi pendamping Bapak.” Anara mengedipkan matanya dengan tangan terlipat di d**a.
“Astaga, Pak, maaf kami pinjam ruangan buat menyelesaikan hukuman kami, ya,” pinta Pricilla, “Mendingan, daripada kita memikirkan masalah tadi, kita menyelesaikan hukuman yang kemarin saja dulu. Kita selesaikan masalah satu per satu.”
Pak Damar pun mengizinkan dan pergi meninggalkan ruang asmara. Mereka memasuki ruangan yang tadi sempat dijadikan sebagai tempat konser selama kurang lebih satu jam.
“Langsung saja, kita mencari angka yang tepat!” seru Pricilla yang diikuti oleh seluruh anggota geng.
Anders malah memainkan gitar dengan sebuah lagu ‘Sick In Love’ katanya, lagu itu sedang mencerminkan dirinya yang sedang putus cinta. Bahkan, siapa pacar dari Anders saja tidak ada yang tahu. Jangan berpikir, bahwa pacarnya hantu atau makhluk tak kasat mata. Di hari ini, Anders bercerita bahwa dirinya sudah kurang lebih 4 tahun memadu kasih dengan seseorang yang ia kenali sebagai Claudia, tapi ternyata orang itu berjenis kelamin yang sama dengannya. Ya, Anders berpacaran dengan sosok bernama ‘Claudia’ secara daring. Aelah, Pricilla saja tidak percaya bahwa Anders yang memiliki paras sangat tampan, bisa terjebak dalam cinta dunia maya.
“Nih, aku sumbangkan angka 5, terinspirasi dari not ‘Sol’, aku lanjut main gitar, ya.”
Pricilla masih fokus dengan batagor yang dibuatkan oleh Alya pagi tadi, ia juga masih sibuk dengan sebuah rentetan angka yang ada di kertasnya. Sedangkan, Anara sibuk menulis angka sumbangan dari Anders, serta memecahkan sebuah soal fisika yang jawabannya akan ia sumbangkan untuk kode rahasia itu.
Soal Fisika
Hukum Newton 1
Tentukan gaya normal pada benda diam yang memiliki m = 6 kg dan g = 10 m/s2!
Anara membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk menyelesaikan soal tersebut. “Aku angka 60 ya?”
“Ra, buhsyeh auto dua angka ... Aku satu saja belum dapat.” Pricilla menggelengkan kepalanya.
“Ya iyalah, kamu saja dari tadi sibuk sama batagormu itu, sampai-sampai tidak berbagi dengan kita,” ledek Kim, “Ra, aku mau menyumbangkan angka 7, terinspirasi sama jumlah kucing peliharaan di rumahku.”
Kim menyusul Anders yang sedang bermain gitar dan ikut bernyanyi ria di sana. Sedangkan, Agnetha masih sibuk dengan pikirannya yang entah memikirkan apa. Sedangkan Raynar masih sibuk dengan perhitungan matematikanya.
“Ya udah daripada aku pusing-pusing, mendingan aku kasih angka 10 aja sudah.” Pricilla menyerah dengan pemilihan angka yang sejak tadi menghantui pikirannya.
“Hasil dari 3×3-8 itu sumbangan angka dari diriku!” seru Agnetha dengan senyum yang merekah.
Raynar menghadap ke arah teman-temannya yang tampak senggang waktu, sehingga bisa memainkan ponselnya sesuka hati. Ada yang sedang bernyanyi tidak jelas dan ada juga yang melamun seperti memiliki beban besar dalam kehidupannya.
“Ra, aku menyerah! Aku kasih angka 1 saja,” ujar Raynar tampak putus asa dengan soal-soal yang ada di buku persiapan ujian nasional.
Pricilla menyuruh teman-temannya untuk duduk melingkar lesehan di lantai tanpa alas. Ah, lebih tepatnya beralaskan keramik berwarna putih. Satu per satu dari mereka berjalan mendekat dan meninggalkan kegiatan tidak bermakna yang tadi menghiasi kehidupannya.
“Bagaimana dengan keputusannya wahai ketua?” canda Anara ke Anders.
Anara memberikan kertas yang ia gunakan untuk mencatat hasil sumbangan angka dari teman-temannya. Anders menarik napas setelah selesai membaca tulisan rapi hasil tangan Anara.
“Hari ini, aku tidak mau bertindak gegabah. Kenapa? Karena, saat ini posisi kita masing-masing dalam keadaan yang sedang tidak memungkinkan untuk memikirkan masalah besar ini. Apalagi untuk memutuskan satu digit kedua untuk mengerjakan hukuman dari pihak sekolah. Aku tidak mau kita salah memutuskan sesuatu, jadi aku mau hasil diskusi kita kali ini yang tidak ada rasa semangat dan niat yang pasti ini, dianggap batal atau gagal. Jadi, tidak ada angka yang kita pakai. Apalagi, angka-angka hasil sumbangan dari kita, semuanya terlihat klise. Bahkan, sangat mudah untuk dibajak atau diretas oleh orang lain.” Anders mengucapkan dalam posisi menunduk tanpa melihat teman-temannya. Ia sudah yakin bahwa akan membuat teman-temannya merasa kecewa dengan keputusannya.
“Aku setuju sama Anders. Hari ini, kita tidak bisa berpikir jernih apalagi untuk memutuskan sesuatu yang nantinya akan menjadi suatu hal besar, kalau kita memutuskan secara gegabah, takutnya akan menghancurkan diri kita ataupun SMA Go Publik.” Raynar membuka botol minumannya. “Ya, gagal tidak selamanya buruk. Justru kegagalan adalah hal wajar yang setiap orang akan temui. Dengan gagal kita akan semakin kuat dan akan menemukan jalan menuju kesuksesan.”
Agnetha menangis mendengarkan penuturan kedua temannya. “Kalian benar, tapi kalau kita gagal bagaimana?”
“Kita harus bangkit tanpa menyerah untuk menuju keberhasilan. Jadikan kegagalan sebagai pembelajaran berharga untuk kita. Selama kita berbuat baik, pasti kita akan mendapatkan yang terbaik.” Raynar menjawab dengan pasti serta tangannya menepuk punggung Agnetha pelan.
Tidak terasa mereka seharian penuh berada di ruang asmara. Mereka memutuskan untuk kembali ke kelas mengambil tas dan pulang ke rumah masing-masing karena sekolah juga telah sepi sejak lima menit yang lalu.
Tepat di depan ruang BK, mereka dipanggil oleh Ibu Sinta yang ingin memberikan undangan untuk wali murid. Menerima undangan itu saja tangan mereka bergetar tidak tahu reaksi seperti apa yang akan didapatkan dari orang tuanya.
Mereka melenggang pergi sendiri-sendiri. Pricilla menaiki tukang ojek yang sudah dipesan melalui aplikasi sejak sepuluh menit yang lalu. Ya, setiap harinya ke mana pun dirinya pergi selalu diantar jemput oleh tukang ojek. Mau bagaimana lagi, dirinya tidak memiliki sepeda motor apalagi mobil.
Pricilla membuka tasnya. “Ma, ini undangan ke sekolah.”
Alya membuka selembar kertas yang memintanya untuk hadir ke sekolah hari esok pukul 08.00 untuk acara yang tidak pernah Beliau sangka sebelumnya. Ya, dia disuruh hadir untuk masalah putrinya yang sangat Beliau sayangi.
“Kamu masih melakukannya? Kamu tidak kapok dengan hal ini?” tanyanya pelan meneteskan air mata.
“Ma, Prissy minta maaf. Ada sesuatu yang tidak diketahui dari balik masalah itu, Ma. Hal itulah yang tidak bisa Prissy katakan sekarang. Kalau Mama tidak mau hadir ... tidak apa, kok. Prissy janji akan menjadi anak yang berguna untuk sesama manusia, Ma.” Pricilla pergi meninggalkan Alya yang masih duduk di ruang tamu.
Pricilla mengambil handuk yang disampirkan di belakang pintu kamarnya. Ia memasuki kamar mandi di rumahnya, tanpa menatap Alya yang—masih kecewa—berdiri di dapur. Dapur rumahnya terhubung dengan kamar mandi.
Seusai mandi, Pricilla masuk kembali ke kamarnya. Dia masih merasa belum bisa menatap mama dan berdekatan dengannya. Dalam selang waktu lima menit, terdengar suara ketukan pintu sebanyak 3 kali. Ternyata Alya yang memasuki kamar Pricilla dengan membawa nampan berisi seporsi nasi beserta lauk pauk dan segelas s**u putih.
“Dimakan sama diminum, ya,” katanya.
Pricilla tidak menjawab sampai Alya benar-benar keluar dari kamarnya. Pricilla membuka laci meja belajarnya, buku-buku yang ada di dalamnya tersusun berbeda dari sebelumnya. Tata letak bukunya berbeda dari biasanya ia menata. Pricilla menutup lacinya lalu keluar menemui Alya.
“Ma, mama beresin kamar Prissy?” tanyanya tanpa menatap Alya.
Alya masih membelakangi Pricilla yang sedang merapikan meja di ruang tamu. “Iya, tadi waktu mama pulang kerja, rumah berantakan banget. Seperti ada maling yang masuk ke rumah. Makanya, mama mengecek isi rumah dan merapikannya.”
“Ma, tidak ada yang hilang, kan?” Pricilla terkejut dengan ungkapan Alya.
Alya membalikkan badannya menghadap ke putrinya. “Tidak ada, kok. Kamu tenang saja.”
Pricilla mengangguk lalu kembali ke kamarnya lagi. Ia membuka laci mejanya lagi untuk mencari buku n****+ yang akan dibacanya. Tapi, ia menemukan amplop cokelat besar padat berisi. Ia mengambilnya dan membuka. Di dalamnya ada bertumpuk-tumpuk lembaran uang seratus ribu rupiah.
Hai, Pris, gunakan uang ini untuk merenovasi rumahmu!
Itulah bunyi dari tulisan surat yang ditulis di sebuah kertas terselip di dalamnya. Pricilla berteriak memanggil Alya untuk menanyakan siapa pemberi amplop ini. Tapi, Alya juga tidak mengetahui identitas pemilik uang itu.
Pricilla menanyakan hal itu di grup gengnya, tapi tidak ada yang mau mengakui. Malahan, mereka menyuruh Pricilla untuk menggunakan uang itu. Rezeki tidak boleh ditolak. Semua rezeki datang dari Allah yang diberikan melalui perantara. Mungkin, orang itu memberikan uang itu melalui perantara yang dikasih oleh Allah. Tapi, secara logika, kenapa harus menggunakan drama kemalingan?
Alya memutuskan untuk menyimpan uang itu terlebih dahulu sampai benar-benar diketahui sang pemberi rezeki nomplok untuk keluarganya. Alya takut jika uang itu hasil merampok, mencuri, atau sejenisnya yang membuat uang itu tidak halal.
“Ma, kalau uang itu ... Lebih baik dicari dulu pemberinya.” Pricilla mengurungkan niatnya untuk meminta Alya supaya dipakai merenovasi rumahnya. Tapi, apa yang dikatakan Alya benar. Lebih baik disimpan sampai tahu siapa pemilik uang itu.
Lima belas menit kemudian, ponsel Pricilla berbunyi. Agnetha menghubunginya. “Pris, kamu pakai saja uangnya. Itu uang dari Papa.” Pricilla bingung dengan maksud dari Agnetha.
“Bentar, Tha, kamu ngasih uang itu?” tanyanya, “Dari mana kamu tahu kondisi rumahku?”
“Pris, aku tahu semua yang terjadi dalam kehidupanmu. Papa memberikan uang itu. Untuk rumahmu yang acak-acakan maafkan anak buah Papaku yang sedikit gila karena memberantakkannya. Kamu pakai ya, aku takut rumah kamu roboh kalau menunggu terlalu lama,” jawabnya. Sambungan telepon pun dimatikan sepihak.
Alya tidak mengerti kenapa Papa dari Agnetha begitu baik dengan keluarganya. Ah, mungkin memang keluarga Agnetha terkenal dengan kedermawanannya dan baik kepada sesama. Dalam menjalani kehidupan, seharusnya kita bisa berbuat baik kepada siapa saja tanpa melihat latar belakang. Manusia dengan kodratnya menjadi makhluk sosial, seharusnya bisa berbaur dan berbuat kebaikan tanpa melihat status sosial. Mau bagaimanapun latar belakang seseorang, akan sama di hadapan Sang Kuasa. Hanya saja, yang menjadi pembeda adalah takwa.
Suara dengkuran jangkrik telah terdengar lebih nyaring dari sebelumnya. Pertanda malam sudah semakin larut. Pricilla dan Alya memasuki kamarnya masing-masing untuk membenamkan mimpi malamnya. Pricilla tertidur dengan pulas sampai tidak menemui sang mimpi malamnya.
“Pagi, Mama nanti datang ke sekolah. Tapi, lain kali kalau ada urusan ke sekolah karena suatu hal yang membanggakan ya?” goda Alya pada Pricilla yang telah siap untuk berangkat ke sekolah, “Sudah sana berangkat, nanti terlambat.”
Pricilla berpamitan dengan meminta doa dan mencium punggung tangan Alya. Di sepanjang perjalanan, ia tidak bisa bersikap tenang. Ia takut kalau ancaman pidana akan melekat dalam dirinya. Ia khawatir kalau dirinya akan menjadi beban untuk Alya. Sekitar lima belas menit, Pricilla telah sampai di depan gerbang sekolah.
“Pris, aku takut kalau Papa bakalan marah besar.” Anara mengeluh. Ya, dia adalah anggota geng yang sangat berani ketike beraksi, tapi dia juga takut akan ancaman pidana atas tindakan mereka waktu itu. Pricilla hanya mampu tersenyum tipis karena dirinya juga merasakan hal yang sama.
“Lebih baik kita berdoa saja.” Anders mengusap wajahnya.
“Kita salat duha yuk!” ajak Kim.
Mereka bergegas ke masjid SMA Go Publik yang terletak di tengah-tengah sekolah. Mereka meminta pada Tuhan supaya diberikan kebebasan ancamannya. Mereka mengakui kesalahannya di depan Sang Kuasa. Mereka mengeluhkan segala rasa resah yang ada dalam hati.
“Baik, untuk anak-anak tersebut di atas, kami bebaskan dalam hukuman. Tapi, kami meminta peran serta bapak dan ibu untuk mendampingi putra-putrinya.” Ibu Sinta memberikan keputusan yang disetujui oleh Ibu Ratna.
Mereka bertujuh mengembuskan napas lega dan memeluk orang tuanya masing-masing. Tapi, ada juga yang hanya berdiri acuh seperti tidak mengakui kesalahannya. Ada juga yang berpura-pura meminta maaf atas kesalahannya. Ya, begitulah mereka yang memiliki sifat yang tidak bisa disamakan.
“Kita telah gagal,” keluh Raynar setelah wali murid melenggang pergi dari area sekolah.
“Ya, kita gagal menjadi murid dan anak yang baik. Tapi, kita juga sedang berjuang agar berguna bagi orang lain. Walaupun, cara kita salah dalam melakukan kebaikan.” Agnetha menanggapi dengan raut wajah yang begitu mengharukan.
“Sudahlah jangan lemah hanya karena sebuah masalah. Tha, kamu kuat, kamu saja masih sering ditolak cinta kan sama Davin? Tapi, aku yakin kamu bertahan dan kuat untuk mendapatkan Davin,” ejek Raynar.
“Ray .... “