Alya beristigfar ketika melihat sebuah tikus di depannya. Saking terkejutnya, Alya melompat lalu memegangi dadanya. Tikus, hewan yang hidup dengan terkenal akan kotoran. Bisa membawa bakteri.
“Ih, tikusnya nakal,” kata Pricilla lalu mengajak ibunya duduk di kursi bambu itu. Tikus tadi telah pergi entah ke mana.
Pricilla duduk di kursi sembari mengeluarkan ponselnya untuk mengerjakan tugas sekolah yang belum selesai. Jika temannya mengerjakan menggunakan laptop, dia bisa dengan ponselnya. Bahkan, dari ponsel yang sudah lawas itu, dia menghasilkan enovasi untuk melanjutkan hidup.
Alya kembali ke ruang tamu dari arah dapur. Membawa sebuah nampan berisi air putih dan sepiring nasi. Pricilla makan dengan lahap lalu melanjutkan tugasnya. Membuat sebuah maklah dengan ponsel. Walaupun sedikit sulit, tapi dia harus menikmati proses demi proses yang kelak akan membawa ke pintu kesuksesan.
Sekitar pukul delapan malam, Pricilla masuk ke kamar untuk istirahat. Tapi, sama saja, mata belum bisa dipejamkan. Dia memilih untuk duduk di depan meja belajar. Membuka laci meja lalu mengambil satu amplop dengan kop sebuah klinik psikiater. Awalnya, Pricilla enggan membukanya karena bukan miliknya. Tapi, mau bagaimana pun itu, rasa penasarannya tidak bisa dicegah lagi. Tangannya mulai membuka surat yang ditemukan kala pergi ke vila, Bogor, beberapa waktu yang lalu.
Hatiinya mulai berprasangka buruk terhadap Kim. Tapi, ada yang aneh dengan diri Kim. Seharusnya, jika dia sakit, surat yang ditemukan adalah surat dari rumah sakit umum. Tapi, surat ini tidak ada hubungannya dengan Kim yang sering mimisan.
Jemarinya mulai melanjutkan untuk membuka amplop itu. Betapa pedih hatinya, kala mengetahui apa yang terjadi dengan Kim. Sebuah surat yang menyatakan bahwa Kim mengalami depresi. Lalu, apa yang membuatnya sampai depresi?
“Ra,” kata Pricilla dari balik telepon.
Rasa penasaran yang memuncak, membuatnya ingin mencari jawabannya. Bukan karena ingin membuka privasi orang, tapi sebagai teman, Pricilla ingin membantu menyembuhkan depresi yang diidap oleh Kim.
“Kenapa, Pris?” jawabnya parau. Sebab, Anara memang sudah tidur dan terbangun oleh deringan telepon.
“Ra, kamu tahu kan kalau Kim itu ada sesuatu yang aneh? Kadang, diam-diam menyembunyikan mimisan dan itu sering banget. Terus, surat yang aku temukan waktu di villa, itu ternyata surat dari psikiater,” ujarnya.
“Priss, lo jangan ngaco, deh. Mana mungkin Kim bisa kena gangguan mental.” Anara mulai fokus untuk mendengarkan kata-kata dari Pricilla yang serius.
“Gue enggak bohong. Gue kirim ke lo,” jawabnya lalu mengirimkan foto surat itu ke Anara. “Coba deh lo baca baik-baik. Menurut lo, dia kenapa?”
“Gue, enggak tahu. Mending kita selidiki. Tapi, biar maslah ini kita saja yang tahu. Kasihan juga kalau sampai rahasia ini terbongkar. Kitta juga jangan jadi cepu,” jawabnya.
Apa yang dikatakan oleh Anara memang benar. Lebih baik, dia menyelidiki sendiri tanpa ada orang lain yang tahu. Kecuali, Kim memang membuka diri tentang dirinya kepada temannya. Tapi, penyelidikan yang bagaimana?
Anara mematikan telepon sepihak. Memilih untuk kembali tidur karena Mamanya telah pulang dari kantor. Sedangkan, Pricilla bingung harus memikirkan cara penyelidikan tanpa dicurigai oleh orang lain. Apalagi oleh Kim. Jemarinya kembali menutup surat itu dan mengembalikan ke laci meja.
Tubuhnya mulai merambah ranjang. Menikmati malam bersama kasur untuk menjemput mimpi. Sampai dia terbangun tepat pukul lima pagi. Mandi lalu berangkat ke sekolah. Hari ini dia libur jualan donat, karena badan yang lelah harus bangun dini hari.
“Hati-hati,” kata Alya sembari mengecup kening putrinya.
Pricilla berangkat ke sekolah menaiki sebuah angkutan umum. Selama kurang lebih lima belas menit, ia gunakan untuk perjalanan. Setelah sampai, entah kenapa perasaannya sangat kacau. Mengingat surat itu dan beberapa beban hidupnya.
Melihat di ujung lorong ada seorang siswi kelas sepuluh sedang berdiri seorang diri. Mungkin dia sedang menunggu temannya. Pricilla menghampiri siswi itu lalu meminta uang saku miliknya.
“Aduh, Kak, aku tidak ada uang. Uangku hanya cukup ....”
“Enggak usah banyak bacot, sini uang lo,” jawab Pricilla dengan santai. Selayaknya preman yang sudah terjun ke jalanan selama puluhan tahun.
Siswi itu hanya pasrah sembari mengulurkan uang sebanyak dua puluh ribu ke Pricilla. Lalu pergi meninggalkan siswi itu setelah menerima uang itu. Tapi, baru dua langkah, Pricilla menengok ke belakang. “Tenang, uang ini bakal digunakan untuk hal yang berfaedah.”
Pricilla masuk ke kelas. Duduk di tempatnya untuk menunggu teman-temannya sembari memainkan ponselnya. Beberapa menit kemudian, bel telah berbunyi. Seisi kelas berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Kemudian, berdoa bersama. Tepat selesai berdoa, terdengar suara panggilan dari speaker kelas memanggil nama Pricilla untuk hadir ke ruang BK.
“Hai, Bu Santi cantik, ada apa Bu?”
“ Silakan duduk, Nak,” katanya sembari mengikuti duduk di sofa.
“Kamu kenapa tadi membuat maslah lagi? Itu anak kelas sepuluh ada yang ngadu,” katanya dengan kembut,
“Yah, tukang ngadu. Gak ada kok Bu, tadi cuman minta sedikit aja. Kalau Ibu mau menghukum saya, ya, silakan,” balas Pricilla sembari tersenyum.
“Gini saja, kamu kembalikan uangnya. Terus, bulan depan kan ada try out. Kamu cari materi lalu dirangkum, ya. Kalau sudah selesai, datang lagi ke sini,” katanya.
Pricilla memberikan uang sebanyak lima ribu rupiah kepada guru itu. “Maaf, tinggal lima ribu,” katanya dengan santai.
Guru BK itu menggelengkan kepalanya. Menerima uang lima ribu rupiah lalu beranjak kembali ke ruangannya untuk melanjutkan pekerjaannya.
‘Pris, kenapa?” tanya Anders.
“Gue disuruh buat rangkuman untuk persiapan try out. Mana gue enggak punya laptop pula.” Pricilla duduk di tempat duduknya. “Dasar sekolah menyulitkan muridnya.”
Tidak lama kemudian, guru yang mengajar di kelasnya telah datang. Tapi, tidak masuk ke kelas, hanya berdiri di depan pintu sembari memberi tugas. Rasanya, mual sekali mengerjakan tugas tanpa diberi penjelasan terlebih dahulu.
“Ya, sudah gini saja, kamu nanti ikut kumpul. Pakai laptopku, kita mau bahas kode ketiga, waktu semakin mepet,” kata Anders.
Pricilla hanya tersenyum sembari mengangguk. Kembali fokus dengan tugas yang diberikan. Perlahan mulai mencoba untuk mempelajari materi yang ada di buku. Walaupun memang sedikit rumit, tapi otaknya yang memang cerdas bisa memahaminya dengan baik. Ya, walaupun membutuhkan waktu sedikit lama.
“Tahu nggak, sih. Drama di sekolahan ini itu kayak di sinetron. Rumit kalau dijabarin bisa berkali-kali episode.” Davin menarik kursi untuk gabung duduk di meja Agnetha dan Pricilla.
“Cie, Davin ... dekat-dekat sama Agnetha,” goda teman-temannya yang lain.
Davin hanya diam lalu menyalakan ponsel untuk memainkan game online-nya. Setelah itu, mereka mulai membahas tentang angka ketiga yang akan dipakai. Tapi, ternyata ada pengumuman bahwa tugas harus segera dikumpulkan. Akhirnya, anggota geng luoji bergegas menyalin jawaban milik Pricilla. Menyalin tugas ekonomi yang rumit tentang obligasi.
Beberapa jam kemudian, waktu sekolah telah usai. Mereka berhamburan untuk kembali ke rumah masing-masing. Tapi, tidak dengan geng luoji. Mereka memilih menetap di sekolah untuk membahas sesuatu. Mulai dari membahas pembelajaran yang tidak dipahami, sampai membahas kode yang belum selesai juga.
Agnetha dan Pricilla keluar dari sekolah untuk mencari makanan. Membeli tujuh bungkus nasi kucing yang ada di angkringan dekat sekolah. Selain itu, membeli es teh tujuh bungkus. Setelah semua pesanan diterima, mereka kembali memasuki sekolahan. Menikmati makan siang yang kedua kalinya. Tepatnya, pukul dua siang mereka telah selesai menikmati makanan.
Anara pergi ke musala untuk mengambil air wudu. Membersihkan wajahnya dari keringat dan bakteri yang melekat. Salah satu tips dari Anara dalam menjaga kesehatan kulitnya dengan air wudu.
Setelah selesai wudu, Anara kembali ke ruang kelas untuk membahas sebuah masalah yang harus mereka hadapi. Mulai dari kelanjutan bisnis, hukuman membuat kode, dan membantu Pricilla yang harus mengerjakan rangkuman materi ujian.
“Ra, kalau menurut gue, apa enggak sebaiknya dibahas mulai dari kode dulu?” tanya Kim.
“Mendingan dari bisnis dulu, soalnya ini menyangkut masa depan anak-anak jalanan. Masalah kode, pada akhirnya kita bisa menggunakan sembarang angka,” kata Anara yang mementingkan kepentingan orang lain. Baginya, pendidikan anak-anak itu lebih berharga dari kepentingan pribadi kelompok.
Pricilla hanya mendengarkan pembicaraan teman-temannya. Dirinya fokus dengan laptop milik Anders untuk membuat sebuah rangkuman materi ekonomi. Sebuah tugas dari BK yang begitu menjengkelkan. Tapi, juga berguna bagi dirinya sendiri, nantinya. Bahkan, dengan rangkuman itu menjadikan ilmunya berguna bagi orang lain.
“Pris .... “
“Tha, biar dia bikin rangkuman. Masalah ini, kita dulu yang bahas,” kata Davin.
Pricilla tidak menggubris Agnetha dan Davin. Pandangannya tetap fokus dengan pekerjaannya. Setelah beberapa waktu, ada seorang guru yang menghampiri. Menyuruh ketujuh siswa itu untuk segera meninggalkan sekolah. Sebab, jam operasi sekolah telah habis. Waktunya sekolah ditutup keseluruhan.
Mereka beranjak untuk meninggalkan sekolah. Kembali ke rumah dengan keputusan kosong. Tidak ada satu pun masalah yang selesai dibahas. Kode yang belum juga menemukan angka ketiga.
Pricilla pulang diantar oleh Kim. Tepat pukul enam sore, mereka telah sampai di depan gang tempat tinggal Pricilla. Setelah Kim pergi, Pricilla berjalan kaki untuk sampai ke rumah sederhananya. Mengetuk pintu sembari mengucapkan salam. Masuk ke rumah setelah dibukakan pintu oleh Alya.
“Terima kasih, Ma,” kata Pricilla.
“Sama-sama,” jawabnya.
Mereka masuk ke dalam rumahnya. Mengganti pakaian setelah mandi, lalu menikmati makanan. Menikmati nasi, sayur bayam, dan bakwan goreng buatan ibunya.
“Makasih, Ma. Makanannya enak, walaupun ... hanya menu sederhana,” ujarnya.
“Ma, aku mau ke kamar, dulu.”
Pricilla pergi ke kamarnya untuk melanjutkan pekerjaannya. Menyelesaikan rangkuman yang harus diselesaikan. Sebuah tugas yang diberikan agar memudahkan dalam mempelajari materi ujian. Dia mengerjakan menggunakan laptop milik Anders yang dipinjam dibawa ke rumah.
“Huft, tidur dulu saja,” lirihnya sembari mematikan laptopnya.
Pricilla naik ke ranjang. Menempatkan diri untuk menjemput mimpi kembali. Sebuah rasa kantuk yang semakin membuat mata terasa berat. Bergegas memejamkan matanya. Berdoa sebelum tidur dalam hati. Mimpi indah telah hadir dalam tidur malamnya.
Krik ... Krik ....
Suara dengkuran jangkrik yang menemani malamnya. Menambah rasa syahdu yang beriringan dengan udara malam yang begitu dingin sampai menembus dalam tulang-tulang terdalam. Dia menarik selimut setinggi lehernya untuk melindungi diri dari dinginnya malam.