Beberapa hari kemudian, mereka telah membelikan papan tulis dan spidol agar anak-anak jalanan itu bisa belajar dengan nyaman. Mereka telah sampai di mana anak-anak itu tinggal. Tidak lupa, mereka membawa sarana yang akan digunakan. Mereka juga telah membelikan buku tulis dan bolpoin untuk mereka belajar.
“Hai, semoga kita selalu sehat dan terus belajar bersama, ya.” Anara meletakkan papan tulis ke tanah. Tepatnya, depan anak-anak itu duduk.
“Terima kasih, banyak, Kak. Kami tidak tahu apa yang harus kami lakukan agar bisa membalas kebaikan Kakak,” jawab mereka serentak.
“Kalian tidak perlu melakukan apa-apa. Kami hanya ingin kalian mengikuti apa yang kami ajarkan dengan sungguh-sungguh. Jadi anak baik dan terus belajar. Sebab, belajar itu tidak hanya bersama kami.” Anders membagikan bolpoin masing-masing mendapatkan satu biji.
Kemudian, Davin membantu mereka untuk belajar tentang perhitungan operasi kurang dan jumlah. Bersyukur, anak-anak itu telah mengenal angka. Jadi, mereka tidak akan kesusahan dalam memahami operasi hitung.
“Jadi, kalian angkat tangan. Buka jari-jari kalian. Di sana ada sepuluh jari. Nah, coba kita mulai operasi penambahan. Kalian acungkan tiga jari di tangan kanan dan empat jari di tangan kiri.” Davin telah menuliskan operasi hitung yang dimaksud di papan tulis yang baru. “ Nah, coba kalian hitung jari-jari yang berdiri.”
“Kak, ada tujuh,” teriak salah satu anak gadis yang duduk di belakang.
“Nah, kamu paham, kan?” tanya Davin sembari menatap anak itu. “Coba kamu ke mari, nanti Kak Davin kasih hadiah,” sambung Davin. Gadis itu pun lantas berdiri untuk mendekati Davin.
Melangkahkan kaki di tanah yang ditumbuhi rumput liar, walaupun tidak begitu lebat. Mendekat ke arah Davin yang memang memintanya untuk maju. Berdiri di samping kanan Davin sembari menunduk, mungkin saja dia merasa malu berdekatan dengan salah satu orang tampan.
“Nah, kamu datang ke Kak Pricilla untuk meminta soal,” kata Davin.
Gadis itu berjalan ke arah Pricilla yang memang lagi berdiri di sebelah kanan. Menunggu anak lain yang sedang berusaha memahami cara penambahan. “Kak, kata Kak Davin, aku disuruh minta soal ke Kakak.”
“Oke, siap. Kamu siap Kakak kasih tantangan?” kata Pricilla.
“Siap, Kak.” Gadis itu menjawab dengan suara yang terdengar tegas walau kepalanya menunduk malu.
“Kamu kembali ke dekat Kak Davin. Kemudian, hitung seratus dua puluh ditambah dua puluh lima,” jawab Pricilla. Gadis itu buru-buru ke papan tulis agar tidak lupa dengan soal yang diberikan.
“Kak, maaf, nulisnya bagaimana?” tanyanya dengan polos sembari memegang spidol hitam.
“Tulis saja dulu kaya yang kakak tulis di sana,” jawab Davin mengikuti alur Pricilla untuk menantang gadis itu. Pricilla yakin bahwa anak-anak jalanan itu memiliki kepintaran. Sebab, tidak ada anak bodoh. Hanya saja, minimnya kesempatan untuk mengais ilmu bagi orang-orang yang kurang mampu dalam membiayai pendidikan.
“Sudah, Kak.”
Davin tersenyum lalu mendekat. “Buat semuanya, tolong perhatikan ke papan tulis, ya.” Davin membalikkan badan untuk menjelaskan sistem kerja. Davin mengajarkan sistem secara penambahan susun yang biasa guru ajarkan di sekolah. Sebab, cara itu yang mudah untuk dipahami.
Perlahan, Davin mengajarkan cara menghitungnya dengan sabar. Tapi, tetap saja yang menghitung gadis itu. Davin hanya membimbing agar mereka bisa memahami dengan baik.
“Nah, ada yang mau bertanya? Penjumlahan dasar ini mudah dipahami, kan?” tanya Davin.
“Mudah, Kak. Saking mudahnya, aku sampai belum paham yang penjumlahan beberapa angka,” keluhnya.
Anara mendengar hal itu bergegas mendekat untuk menjelaskan secara pribadi. Mungkin, cara pendekatan seperti itu akan jauh lebih mudah dimengerti. Sekali lagi, mengajarkan ilmu tidaklah mudah. Apalagi, kalau ilmu yang disampaikan kurang dipahami oleh pendengar. Membutuhkan kesabaran lebih untuk menjadi seorang pengajar. Itu sebabnya, jangan meremehkan seorang guru sekali pun. Walaupun, banyak guru yang galak atau terkesan menyeramkan. Tapi, itu semua demi kebaikan siswa dan siswinya.
Setelah beberapa menit, anak-anak itu berhasil memahami sistem operasi penjumlahan. Setelah itu, Davin memberikan lima soal sebagai bahan mereka belajar. Pada saat geng luoji kembali nanti, anak-anak itu diharapkan benar-benar telah memahami materi yang dijelaskan.
Anders mengajak mereka untuk bermain. Bukan sekadar bermain, tetap dengan tema yang menyenangkan sekaligus belajar. Kali ini, Anders mengajak anak-anak itu untuk bermain tebak gambar. Mereka diajak untuk menebak gambar yang telah digambar oleh Anara. Gambar-gambar yang berkaitan dengan alam. Sebuah tema yang tidak asing bagi anak-anak jalanan.
“Oke, ada yang tahu ini apa?’ tanya Anders yang menunjukkan gambar. Tapi, di dalam sana tidak secara penuh. Hanya ada sepertiga gambar yang terlihat. “Kakak kasih sedikit bocoran, gambar ini ada di salah satu bagian pohon. Guna dari bagian yang ada gambar yaitu untuk menyerap air dan zat mineral untuk disalurkan ke seluruh bagian pohon.”
“Kak, apa itu batang atau ... tangkai?’ jawab salah satu dengan penuh keraguan.
“Kalau batang itu gunanya untuk menyalurkan. Nah, di gambar ini fungsinya untuk menyerap air.”
“Kak, kasih aku kesempatan untuk menebak.” Seorang anak kecil berusia tujuh tahun berdiri. Begitu anggun menggunakan gamis dan kerudung berwarna merah muda. “Jawabannya akar. Karena, aku pernah baca di koran. Di sana ada keterangan tentang akar pohon. Salah satunya yang kakak sebut.”
“Benar. Ini hadiah untuk kamu. Oh iya, kamu ke mari!” perintah Anders sembari menunjuk gadis yang tadi menjawab tantangan dari Pricilla soal penjumlahan. Anders pun memberikan hadiah yang sama untuknya. Semoga saja dengan cara seperti ini anak-anak itu memiliki semangat untuk belajar yang tetap membara.
“Mau dilanjut atau kalian mau istirahat?” tanya Anders.
“Kak, lanjut lagi. Kami juga mau hadiahnya,” kata anak-anak jalanan dengan kompak.
“Oke. Kakak ada satu kali kesempatan untuk dapat hadiah. Lalu, kita makan, ya, setelah selesai belajar.” Anders menyimpan beberapa gambar itu ke sebuah tempat yang dipakai untuk mengemas perlengkapan mengajari anak-anak itu. “Tidak ada gambar atau alat lainnya. Jadi, kalian menebak berdasarkan apa yang Kakak katakan.”
Anders duduk di depan anak-anak itu tanpa alas. Sama seperti anak-anak itu yang masih terlihat semangat untuk belajar. Alasan mereka pantang menyerah dalam belajar adalah keutamaan dari mencari ilmu. Banyak juga dalam hadis dan Al-Quran. Tapi, memang dalam kehidupan tanpa ada ilmu, manusia tidak akan mengerti apa-apa dan serasa tidak hidup. Selain itu, tanpa berilmu akan mudah diakali oleh orang lain.
“Dengarkan baik-baik, ya. Sebuah benda yang ada di alam ini. Nah, dia hadir kala malam hari. Dia mengalami sebuah peristiwa bernama gerhana. Di mana gerhana ini terjadi dalam jangka waktu kurang lebih dua setengah tahun sekali. Benda apakah itu?”
Beberapa menit kemudian, ada seorang gadis yang memakai kaos ungu berdiri. Mengangkat jari telunjuk agar diberi kesempatan. Antusiasnya yang begitu tinggi, akhirnya diberi kesempatan untuk menjawab. “Bulan, Kak. Soalnya, aku pernah dengar cerita Bapak aku, soal gerhana bulan. Selain itu, benda langit yang muncul saat malam hanya bulan dan bintang. Tapi, kalau bintang kan tidak ada peristiwa gerhana,” jawabnya dengan polos diselingi tawa kecil. Walaupun hanya hal sederhana, tapi tawa renyahnya bisa merambat ke teman-temannya yang lain untuk ikut tertawa juga.
Setitik demi titik air dari langit mulai berjatuhan. Beriringan dengan arah ke mana angin bergerak. Lama-lama, air itu mulai terlihat tebal-tebal. Kaki-kaki manusia mulai bergerak untuk mencari tempat peneduh. Mereka telah berteduh di bawah jembatan. Duduk di sana beralaskan kardus-kardus bekas yang biasa anak jalanan gunakan untuk tidur. Terlihat kumuh, tapi tidak berani untuk protes. Takut menyakiti hati mereka yang begitu bersih dan tak bersalah. Menunggu hujan reda yang entah kapan waktunya.
Beriring berjalannya waktu, hujan tak kunjung reda. Tapi, masih mending tidak sederas tadi. Mereka bergegas menelusuri jalanan di bawah air hujan tipis-tipis. Masuk ke dalam sebuah warung dengan pakaian yang basah. Duduk di bangku panjang untuk menunggu pesanan mi ayam bakso dan teh hangat.
“Kalian kedinginan?” tanya Anders yang melihat anak-anak itu tampak memeluk tubuhnya sendiri. Bagi mereka, hal seperti itu sudah biasa. Bahkan, tidur dengan air menggenang saja rasanya sudah kebal saat hujan mendadak turun saat malam hari.
“Sudah biasa, kok, Kak.”
Anders terdiam hanya mengangguk sembari menyimpan air matanya. Rasanya, tidak bisa membayangkan betapa pilunya anak itu. Tidur dengan alas kardus yang bisa basah saat hujan. Bahkan, tidak hujan pun terasa dingin, pastinya. Tapi, percayalah orang-orang seperti mereka memiliki mental yang kuat. Bahkan, kekebalan tubuh saja bisa jauh lebih baik. Walaupun, tetap saja gizi dan makanan mereka harus benar-benar dijaga.
Tidak lama kemudian, pesanan mereka telah siap untuk dinikmati. Membaca doa sebelum makan lalu mengisi perut dari sendok per sendok. Terlihat wajah mereka yang begitu bahagia walaupun hanya makan dengan mi ayam bakso. Setidaknya, mereka bisa menikmati makanan layak secara gratis, tanpa keluar uang satu perak pun. Anders hanya berdoa agar dirinya dan teman lainnya selalu diberi kesehatan agar bisa membantu anak-anak itu.
“Makannya pelan-pelan, nanti tersedak,” nasihat Anders lalu ikut makan.
“Kalian harus makan yang banyak. Oh iya, usahakan jangan makanan basi atau kotor, ya. Itu tidak baik untuk tubuh. Kalau lagi tidak ada uang, lebih baik kalian minum air putih. Kalau tidak ada, ya, sudah kalian datang ke warung minta makan, kalian rayu buat bayarnya pakai jasa. Pokoknya, jangan makan kotor. Apalagi sudah dihinggapi lalat,” kata Davin dengan diiringi tawa tipis. “Kalau pemilik warung tidak membolehkan, coba rayu lagi,” sambungnya.
“Yah, aku kira Kakak bakal bilang gini, ‘Kalian ambil saja makanan di warung, nanti Kakak yang bayar’ eh, tahunya malah suruh bayar pakai jasa cuci piring,” celetuk salah satu dari anak jalanan yang sedang menikmati bakso terakhirnya.
“Hush, sesusah-susahnya kalian, jangan pernah minta-minta, tanpa kalian membayar. Makanya, Kak Davin sarankan ke kalian biar membayar makanan dengan jasa yang kalian punya.”
Anara berbicara tanpa melihat wajahnya di kaca. Padahal, dirinya saja sering memalak uang orang lain secara paksa. Tapi, hak itu ada tujuan yang jelas dan berguna. Bukan untuk keperluan diri sendiri.
“Iya, Kak,” jawab salah satu anak yang sedang menghabiskan air teh yang tinggal setengah gelas.
“Kak, terima kasih, ya,” kata mereka kompak lalu lari kembali ke tempat mereka tinggal. Biasanya, mereka akan kembali untuk mencari barang-barang bekas berupa plastik untuk dijual lalu untuk biaya hidup sehari-hari.