Setiap orang memiliki masalahnya masing-masing. Keberhasilan dalam menyelesaikan dibutuhkan sebuah tanggung jawab.
- Anara Danieswara –
Davin menatap Raynar dengan sorot mata tidak suka. “Tolong jangan membahas hal itu.” Raynar membungkam mulutnya dengan tangan kanannya.
Mereka duduk di belakang kelas. Sesekali Anders menyesap rokoknya sembari memainkan gitarny. Pricilla berdiri memojok tembok, dengan kaki kanan berjinjit dan tangan masuk ke saku rok pendek abu-abu. “Kita harus bisa memikirkan diri kita sendiri. Kondisi kita dalam ancaman,” kata Kim sembari memasukkan buku tulis bersampul warna cokelat ke dalam tasnya.
“Ya, aku tahu Kim. Tapi, kalau kita berhenti melakukan hal itu, bagaimana dengan nasib anak-anak itu?” tanya Pricilla berjalan mendekat ke teman-temannya yang disusul oleh Agnetha.
Raynar mondar-mandir mencari jalan keluar. “Aku punya ide, bagaimana kalau kita membuka usaha untuk mencari uang buat biaya kehidupan anak-anak itu?” sarannya.
Mereka masih diam tidak menanggapi usulan dari Raynar. Mereka masih sibuk dengan urusan dan pikirannya masing-masing. Sampai akhirnya mereka masih tetap terbelenggu dengan masalah yang belum terpecahkan jalan keluarnya.
“Ray, kita mau membuka usaha pun susah untuk mendapatkan customer, nama kita sudah jelek di mata masyarakat,” tanggapan Pricilla setelah beberapa menit berpikir dengan usulan Raynar.
Langit tampak menghitam pekat. Mendung telah menguasai angkasa. Mereka berlarian mencari tempat berteduh. Bukan masuk ke kelasnya, mereka berhenti dan singgah di tempat parkir motor guru dan karyawan. Benar saja sesuai prediksi Pricilla, hujan mengguyur sekolah dalam hitungan detik.
“Sekarang kita harus bagaimana supaya aman?” tanya Anders membuang puntung rokoknya.
Anara menatap satu per satu temannya. “Ya, setiap manusia pasti memiliki masalah. Tidak mungkin manusia tidak memiliki masalah. Dalam menanggapinya, hanya diperlukan tanggung jawab. Jadi, kita harus mempertanggungjawabkan masalah yang telah kita perbuat.”
“Bentuk tanggung jawabnya?” tanya Agnetha, “Ya, menanggung risiko dan mencari solusi, Tha!” jawab Anara dengan judes.
“Apa iya, harus menjawab dengan ngegas?” balas Agnetha.
“Apa iya kamu harus lemot di saat sedang genting?” Anara tak kalah sinis dengan kaki kanan maju satu langkah.
“Pris, punya ide?” tanya Kim.
Pricilla menggeleng dengan kedua tangan terangkat tanda tidak tahu. Dirinya saja masih punya misteri yang belum terpecahkan. Uang itu ... Kenapa ayahnya Agnetha memberikan uang sebanyak itu?
“Tha, ikut aku sebentar,” ajaknya.
Agnetha pergi ke sudut sekolah paling depan. Gazebo lebih tepatnya, mereka duduk di sana berdua. Ketika hujan sudah mereda. Pricilla menanyakan perihal uang itu. Tapi, Agnetha sendiri tidak tahu alasan yang pasti dari ayahnya.
“Sudahlah Pris, kamu pakai saja. Daripada rumah kamu roboh, lebih baik cepat kamu renovasi.”
“Kok kamu tahu kalau ... “
“Astaga dompet Pricilla ketinggalan. Mendingan aku putar balik saja,” batin Agnetha.
Agnetha menyuruh sopirnya putar balik ke gang depan perkampungan Pricilla. Di sana, dia tidak menyangka kalau lingkungan tempat tinggal temannya berada di perkampungan kumuh. Agnetha berjalan menyusuri sepanjang gang dan menemukan sebuah rumah reyot. Agnetha bertanya kepada salah satu warga yang kebetulan sedang melintasi jalan.
“Pak, maaf, apakah di sini ada orang yang bernama Pricilla? Kalau ada, rumahnya di mana, ya?”
“Oh ada, itu rumahnya,” tunjuknya ke rumah yang telah reyot nyaris roboh.
Agnetha mengurungkan niatnya untuk menghampiri rumah itu dan mengembalikkan dompetnya. Ia kembali ke mobilnya dan pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, dia bercerita dengan ayahnya.
“Ayah, temannya Etha ada yang rumahnya mau roboh. Kasihan banget,” adunya.
“Siapa, Tha? Tinggal di mana?” Ayah Agnetha menanggapi.
Agnetha menceritakan tentang Pricilla dan tempat tinggalnya. Dia tidak menyangka bahwa sahabatnya tinggal di perkampungan yang kumuh dengan rumah yang hanya bisa disebut sebagai gubuk. Ceritanya mampu membuat ayahnya meneteskan air mata.
“Pricilla? Jalan Kenanga nomor 42?” batin ayah Agnetha teringat dengan sesuatu.
“Ayah kenapa diam?” tanya Agnetha.
Ayahnya menggeleng lalu berpamitan untuk masuk ke kamar untuk menengok ibu yang sedang demam sejak dua hari yang lalu. Ayah Agnetha adalah sosok pria paruh baya yang sangat menyayangi ibu dan dirinya dengan sepenuh jiwa dan raga. Padahal, Beliau bukan ayah kandung dari Agnetha.
“Tha!” teriak Pricilla tepat di telinga Agnetha yang membuatnya membuang lamunan. “Karena ... Ah, aku tidak tahu, Pris. Mungkin, Ayah mau membantu sesama saja.”
Pricilla mengangguk paham. Sekarang, dia bisa menggunakan uang itu dengan baik dan benar. Karena, ia merasa sudah jelas dengan kepemilikan uang itu.
“Sampaikan terima kasih aku dan mama, ya,” ucapnya sembari mengajak Agnetha kembali ke tempat temannya berkumpul.
Sekitar dua jam mereka menikmati keteduhan dan kenyamanan tempat parkir, sampai mereka harus disusul oleh salah satu siswi yang satu kelas dengannya untuk mengikuti pelajaran Bahasa Mandarin.
“Kalian di suruh masuk ke kelas.”
Siswi itu pergi kembali ke kelas terlebih dahulu. Sedangkan, mereka masih asyik menikmati waktu dua detik tambahan yang mereka tentukan sendiri. Setelahnya, mereka melangkahkan kakinya menuju ruang kelas.
“Kalian ini dari mana saja?” tanya guru yang berstatus sebagai guru Bahasa Mandarin setelah mereka menyelonong masuk ke kelas tanpa permisi.
“Nongki-nongki, Bu, mau ikutan?” jawab Anders ngasal.
Guru itu tampak terkejut dengan jawaban Anders. Beliau berdiri lalu menghampiri Anders dengan langkah kaki yang sedikit cepat. “Kamu ini tidak punya sopan santun? Mau jadi apa nanti kalau sudah dewasa?”
“Kalau udah dewasa, saya jadi bapak buat anak-anak saya dan istri saya, Bu,” jawabnya asal dengan memberikan kedipan mata genitnya.
“Anders, saya sedang serius! Kamu saya hukum, kamu kerjakan soal nomor 21 di papan tulis sekarang!” perintahnya.
Anders tidak beranjak berdiri untuk melaksanakan perintah dari gurunya. Anders malah memainkan pensilnya seperti anak TK yang menggambarkan gambar abstrak di buku Bahasa Mandarin.
“Kamu benar-benar membuat saya kesal, ya! Ini buku buat kamu belajar bukannya dicoret-coret Anders, sekarang lebih baik kamu keluar dari kelas!” Anders masih tidak berkutik dengan hal itu sampai waktu habis dipakai untuk marah-marah. Setelah guru itu melenggang dari pintu kelas, Anders tertawa sinis sebagai bentuk bahwa dirinya tidak bisa diatur-atur sama siapa pun.
Di sisi lain, Agnetha menghampiri Davin yang lagi duduk di mejanya dengan raut muka yang sulit untuk dijabarkan. “Davin, ada apa?”
Davin menoleh ke samping kanan melihat Agnetha duduk di sebelahnya dengan tangan kanan memangku dagunya. Kaca mata bulat berwarna emas turun sebatas batang hidungnya membuat terkesan lucu dan menggemaskan. Tanpa disadari, Davin membenarkan posisi kaca mata Agnetha.
“Tidak ada, kamu kenapa ke sini?” tanyanya melembut, walaupun dirinya tahu pasti kalau Agnetha sedang berusaha untuk mendapatkan cinta darinya. “Dav, kalau suatu hari kamu menemukan pelangi, jangan lupakan payung yang telah meneduhkanmu di bawah hujan, ya?”
“Widih, itu kata-kata motivasi buat apa?” canda Davin membuat kesal Agnetha yang sedang berbicara dengan serius. “Davin, itu bukan kata motivasi, tapi kata-kata puitis untuk menyamarkan makna.”
Davin tertawa dengan bahagia. “Walah, kamu lagi bermajas ternyata.”
Agnetha tersenyum manis sebagai balasan pernyataan dari Davin. “Davin, kamu ... Apa kamu punya seseorang yang sedang kamu idamkan?” Davin menggeleng.
“Woy, masalah kita belum kelar, kalian malah membucin.”
Raynar berdiri di depan Davin yang kemudian di susul oleh Kim dan Pricilla. Anara sedang pergi ke kantin untuk membeli makanan, sedangkan Anders sedang pergi menemui Bu Sinta untuk mengambil sesuatu.
“Biar enggak pusing mikirin masalah mulu, sekali-kali mikirin cinta. Biar enggak jomblo terus Etha.”
Raynar dan Kim tertawa. “Tapi, ditolak terus sama Davin. Tha, tipe cewek idaman Davin itu bukan kamu kali.”
Agnetha meneteskan air matanya. Ia tidak menyadari hal itu sejak lama. Davin juga tidak pernah mengatakan hal itu padanya. Melihat Agnetha menangis, membuat ketiga cowok itu terdiam menyadari kesalahan atas ucapannya. Sedangkan, Davin bingung harus membenarkan atau memilih diam tidak berkomentar tentang penuturan kedua temannya.
“Kalian jahat banget, sih. Tapi, mungkin benar seperti itu, Tha.” Pricilla beranjak dari tempat duduknya menghampiri Agnetha yang mulai sesenggukan.
“Ini surat dari kepala sekolah. Besok kita harus ikut lomba lagi.”
Anders tiba-tiba telah hadir ditengah-tengah suasana haru tersebut. Eh, bukan haru melainkan sedih. Anders menatap Agnetha sebagai tanda permintaan untuk dia berhenti menangis.
“Apa? Ekonomi!?” teriak Davin membuat mereka kaget. Bagaimana mungkin mereka mewakili Olimpiade ekonomi, sedangkan mereka anak MIPA. Ditambah tanpa adanya pelatihan sebelum diadakan lomba. Lebih tepatnya, pemberitahuan ini sevara dadakan. Besok mereka harus siap mengikuti kegiatan tersebut.
“Sebisanya dan sewajarnya saja,” ucap Anara dengan membawa semangkuk bakso kuah. “Tinggal laksanakan semampu kita saja.”
“Semampu? Kalau kita saja tidak pernah menyentuh tentang ekonomi?” tanya Agnetha.
“Tha ...,” ucapan Anara terpotong oleh Agnetha, “Ra, kita saja tidak tahu ruang lingkup ekonomi seperti apa? Terus, tentang pembukuan, tentang pajak, dasar-dasarnya saja tidak tahu.”
“Sudah, kan ngomongnya?” tanya Anara yang diangguki oleh Anetha, “Tha, kamu sadar enggak sama perkataanmu barusan, kamu bilang pembukuan dan pajak. Nah, dua hal itu juga termasuk ke dalam ruang lingkup ekonomi. Jadi, kalau kamu bilang tidak mengetahui tentang ruang lingkup ekonomi artinya kamu bohong, kalau kenyataannya kamu mengenal kata pembukuan dan pajak walaupun secara tidak langsung kamu tidak mengetahui penjelasannya.”
“Ya, begitulah manusia. Bilang tidak tahu, tapi sebenarnya mengetahuinya. Bahkan, secara tidak sadar mampu menyebutkan.” Pricilla membenarkan dasi abu-abu.
“Besok kita lakukan yang terbaik, masih ada waktu satu malam untuk membaca tentang ekonomi. Tapi, jangan terlalu dipaksa untuk mempelajarinya. Kalau dirasa tidak mampu, ya sudah tidur saja,” Anders berusaha memberikan solusi.
“Nik, begitu, ya wis aku mending tidur!” seru Raynar dengan tangan dimasukkan ke saku celana abu-abunya yang robek di bagian dengkul sudah lama, tapi belum dijahit.
“RAY, MAU NAMBAHIN MASALAH!?” teriak Kim dengan nada sedikit emosi dikarenakan sikap Raynar yang dianggapnya terlalu meremehkan acara itu.
Bel pulang sekolah terlah berdenting. Siswa-siswi berhamburan untuk pulang ke rumahnya masing-masing. Termasuk Pricilla yang sudah siap dengan helm milik tukang ojek yang sudah menjadi langganannya.
“Assalamualaikum, Ma, kata Agnetha, uangnya disuruh dipakai buat renovasi.”
Alya sedang duduk di ruang depan. Ia menerima uluran tangan putrinya yang mengajak berjabat tangan. “Oh ya? Nanti mama carikan tukang, ya,”
“Ma, besok Prissy ikut Olimpiade, Mama doakan, ya, supaya lancar dan bisa memberikan kebanggaan. Bukan hanya ... mempermalukan saja.” Pricilla melepas tas gendong dan jaket denimnya.
“Nah, itu baru bagus, bukannya malah bikin onar terus. Mama selalu berdoa yang terbaik untukmu. Pris, tadi anak majikan mama tanya soal cara menjadi kamu, bagaimana caranya?” tanya Alya, “Mama sayang, Prissy ya Prissy, anak majikannya mama, ya, tetap menjadi dirinya. Anak seunik Prissy, ya ... hanya ada satu,” jawabnya dengan tersenyum.
Alya pergi mengambil sebotol minum yang telah diisi dengan air dicampur madu dan irisan jeruk lemon. “Maksud Mama, bagaimana cara kamu untuk percaya diri dan bisa tampil apa adanya diri kamu?”
“Itu mah yang bisa memberi solusi dirinya sendiri. Kalau dirinya masih suka membandingkan dirinya dengan Prissy atau orang lain, maybe, dia masih terjebak dalam insecurity. Ma, bilang ke dia, jangan pernah mau menjadi seperti orang lain cukup menjadi dirinya sendiri dengan mencintai dirinya sendiri. Soal percaya diri, pasti akan terbentuk ketika dia sudah bisa mencintai dirinya sendiri.” Pricilla meminum minuman yang telah disediakan oleh Alya.
Alya tersenyum lalu memeluk putrinya yang duduk di sebelah kananya. “Pris, kalau dia tanya bagaimana caranya?” Prissy mengeratkan tangan yang melilit di pinggang Alya. “Mama sayang, hanya ada satu kunci yang akan membawanya bahagia dan percaya diri dengan dirinya, yaitu bersyukur.”
“Memang, apa yang kamu syukuri dengan hari-harimu sampai detik ini?” tanyanya serius, “Banyak, Prissy bersyukur memiliki Mama, Prissy punya teman-teman yang baik dan selalu mendukung Prissy, dan Prissy bersyukur bisa makan setiap harinya walaupun hanya dengan lauk tempe dan sayur ... jengkol. Tapi, itu nikmat banget. Kenapa? Karena Prissy menikmatinya bareng Mama di sini.” Pricilla membuka stoples berisi roti kering. “Bilang Ma ke dia, harus bersyukur. Toh, dia hidup enak, kan? Tinggal di rumah megah nan mewah, bisa makan apa pun itu, bisa jalan-jalan, dan lain-lain. Masa enggak bisa bersyukur, sih? Kalau dia masih enggak bersyukur, artinya dia sombong sama Allah.”
Alya mengangguk dan melepas pelukannya. Beliau menyiapkan makan malam untuknya dan Pricilla. Malam ini, Beliau masak sayur jengkol dan tempe goreng. Ya, hampir setiap hari seperti itu. Walaupun bisa dibilang murahan, justru sangat nikmat ketika dinikmati dengan rasa syukur dan bersama orang yang tersayang.
Selesai makan malam, Pricilla masuk ke kamar dan membuka ponselnya. Ia mencari materi tentang ekonomi. Di awal, ia mencari materi tentang dasar-dasar akuntansi, dilanjutkan tentang perpajakan, sampai berakhir dengan materi pasar modal. Walaupun materinya tidak seberapa dengan waktu yang sangat terbatas, tapi Pricilla memanfaatkannya dengan baik. Beberapa materi yang ia baca berhasil terekam dengan baik di otaknya. Bahkan dalam waktu sepuluh menit, dirinya telah mampu memahami tentang dasar-dasar pembukuan. Bukan hanya teorinya saja, ia juga telah memahami tentang tata cara pembukuan secara praktik.
Tidak disadari, waktu telah larut. Ia memilih untuk tidur , daripada di keesokan harinya akan menyebabkan materinya hilang buyar dari rekamannya.
Hari telah berganti. Hari ini, mereka harus berjuang untuk meraih juara kembali. Baru kali ini mereka menerima tantangan yang bukan keahlian mereka. Bukankah hal itu sama saja, mereka memangsakan dirinya sendiri. Tapi, bukan geng luoji namanya kalau mereka tidak menggunakan logikanya untuk berjuang.
“Ray, harus semangat, ya, bismillah banyak berdoa saja,” ucap Anara kala bertemu Raynar di pintu aula. “Ray, jangan pikirkan yang tidak penting, ya,” sambungnya.
Mereka telah memasuki ruangan aula sekolah. Mereka harus menjawab beberapa pertanyaan yang telah disediakan. Hanya kekuatan doa kepada Allah yang bisa membantu kelancaran perjuangan mereka.
“Baik, pertanyaan yang pertama, sebutkan salah satu contoh masalah ekonomi makro,” kata salah satu juri dari luar SMA Go Publik. Raynar memencet tombol dan menjawab, “ Contohnya adalah ketika saya jatuh cinta terhadap Anara, tapi terhalang oleh kenaikan harga.”
“Waduh, bagaimana bisa?” tanya juri seakan ikut tenggelam dalam jaringnya, “Karena harga produk mengalami kenaikan—saya yang hanya berstatus sebagai pelajar—jadi tidak bisa mentraktir Anara dengan barang yang bagus karena uang yang tidak mencukupi.”
“Waktu dalam satu soal hanya ada lima menit, jadi apa jawabannya? Kalau mau bercanda atau menyatakan cinta bisa nanti setelah acara, ya,” ucap pembawa acara, “Jawabannya adalah inflasi.”
Pembawa acara itu menuliskan angka lima sebagai skor awal untuk mereka, setelah juri membenarkan jawabannya. Walaupun berbelit, tapi yang terpenting adalah menjawab dengan benar.
“Laporan yang mencantumkan saldo di setiap akun yang ada di buku besar disebut?” pertanyaan kedua telah dibacakan oleh dewan juri.
“Ra, kamu mau menyeimbangkan rasa cintaku?” tanya Raynar pada Anara, ah, lebih tepatnya menembak Anara. “Apa-apaan, sih, Ray?”
“Kamu jahat, Ra, sudah kamu bikin baper, tapi ternyata kamu memainkan perasaan,” Raynar menjawab dengan sendu. Jangan ditanyakan reaksi seluruh isi ruangan aula, mereka tidak mengerti dengan pergantian Olimpiade menjadi drama.
“Ray, kamu mau menjawab pertanyaan, kan? Aku wakilkan saja, ya, Bu maksud Raynar, jawabannya neraca saldo.” Anara mendekatkan mulutnya ke mikrofon.
Juri membenarkan jawaban Anara. Skor SMA Go Publik telah bertambah menjadi sepuluh. Pertanyaan masih berlanjut sampai soal terakhir.
“Ini adalah soal terakhir, ayo SMA Harapan, fokus dan semangat .... “ Pembawa acara menyemangati lawan SMA Go Publik. “Untuk dewan juri kami persilakan,” titahnya.
“Disebut apakah suatu kondisi yang memungkinkan penjual dan pembeli bertemu untuk bertransaksi secara langsung dengan barang dagangan yang serupa dan adanya kesepakatan bersama?”
Tet!
“Jawabannya sesempurna cinta Agnetha pada Davin!” Agnetha memandangi reaksi orang-orang serta dewan juri, “Maksud Agnetha, teh, jawabannya Pasar persaingan sempurna.”
SMA Go Publik mampu meraih skor yang sempurna. Dengan ini, mereka membuktikan bahwa mereka memanglah cerdas dan berprestasi. Bagi mereka, nakal boleh, tapi bodoh jangan sampai terjadi.