Hutang tetaplah hutang mau bagaimanapun bentuknya. Sebuah hutang hukumnya wajib untuk dibayarkan.
- Davin Jerrick –
“Gila, kalian itu ikutan Olimpiade atau lagi mementaskan sebuah drama bergenre cinta?” tanya Pricilla dengan menggelengkan kepalanya sekali. “Atau jangan-jangan kalian sedang mencari pusat perhatian dari banyak orang?”
Raynar mencubit pelan pipi Pricilla. “Pansos? Amit-amit, dah, aku serius suka sama Anara, tapi Anara—mungkin—yang tidak menyukaiku.”
“Wow, ada kasus yang sama dengan Davin dan Agnetha. Terjebak friendzone!” seru Kim, “Kim, jangan begitu takutnya, nanti kamu juga mengalaminya.” Anders mengingatkan.
Mereka kini berdiri di depan panggung yang menjadi saksi perjuangan mereka mengalahkan SMA Harapan dalam Olimpiade ekonomi tahun ini di tingkat kabupaten. Mereka dipanggil oleh kepala sekolah untuk foto bersama dengan guru dan dewan juri sebagai kenang-kenangan—SMA Go Publik pernah memiliki siswa-siswi tercerdas seantero Indonesia—untuk mereka.
Setelah foto-foto selesai, mereka diperbolehkan untuk pulang tanpa membawa piala. Kenapa? Sudah jelas, setiap mendapatkan piala dalam ajang perlombaan pasti akan di masukkan ke almari kaca milik sekolah yang menjulang setinggi dinding ruangan.
“Ray, tunggu!” teriak Davin.
“Ada apa? Aku harus segera pulang, masih banyak beban yang harus diselesaikan.” Raynar memindahkan posisi tas gendongnya dari pundak kanan ke pundak kirinya.
“Kamu kira tidak ada urusan yang harus diselesaikan sama aku? Aduh, Ray ... Hutang itu tetap hutang, ya. Tidak memandang teman atau bukan!” teriak Davin dengan tegasnya. Memang, hutang harus dibayar, tapi apa harus ditagih pada saat ini juga?
“Iya, aku tahu. Tapi, masalahnya aku belum ada uang.”
“Ya, salah sendiri kamu bilang mau dibayar hari ini. Lagi pula, kenapa juga kamu harus meminjam uang? Bukankah uang sakumu itu satu karung?” sindir Davin dengan maju satu langkah ke arah Raynar.
“Satu karung? Korupsi di mana aku? Satu kantong saja tidak ada. Kamu juga, bukankah orang tuamu banyak uang? Kenapa harus menagih hutangku sekarang? Kenapa tidak tahun depan saja?”
Raynar hendak pergi meninggalkan Davin yang menagih hutangnya tempo lalu untuk biaya sehari-harinya bersama ibunya. Raynar hanya hidup bersama orang tuanya di sebuah gubuk sederhana di pinggiran kota. Hanya saja, Raynar mendapatkan beasiswa selayaknya Pricilla. Sehingga, mereka bisa masuk di SMA Go Publik.
“Ray, hutang hukumnya wajib dibayar!”
“Aku tahu, tapi aku belum ada uang. Aku bayar tahun-tahun yang akan datang, ya, setidaknya kalau aku sudah menjadi miliarder.”
“Mimpi kok setinggi tebing,” kata Davin sembari pergi dari tempat.
Sebenarnya, Davin tidak ingin menagih hutang Raynar. Akan tetapi, dia membutuhkan uang itu untuk membantu anak-anak jalanan yang ditemukannya kemarin sore.
“Hai adik, kenapa makanan basi dimakan?” tanya Davin ketika menghentikan motornya di perempatan jalan di kompleks perumahannya. Kebetulan, lampu lalu lintas sedang menyalakan warna merah.
Hati Davin tersentuh kala melihat seorang anak perempuan berusia tujuh tahun sedang duduk di bawah tiang lampu lalu lintas. Gadis kecil itu sedang menikmati satu bungkus kertas berwarna cokelat berisikan nasi dan tahu sebagai lauk. Sayangnya, warna nasi yang sedang dikonsumsi telah berwarna kuning dan banyak kotoran. Begitu tidak sehat untuk perut manusia. Davin ingin membelikan makanan untuknya. Akan tetapi, uang miliknya sedang dibawa oleh Raynar.
Davin telah sampai di rumahnya. Tapi, pikirannya masih saja terpikirkan oleh sosok gadis kecil itu. Dia merebahkan diri di kasurnya, matanya mencoba untuk terlelap, tapi ternyata bayangan anak itu masih saja mengintai otaknya. Davin berjalan ke arah kamar mandi dengan ditemani handuk berwarna biru muda di pundak kanannya.
Setelah selesai mandi, Davin kembali ke kamarnya. Dia mengambil sebuah laptop miliknya. Jarinya mengarahkan kursor untuk membuka sebuah website. Sebuah situs yang menayangkan acara konser salah satu penyanyi Jawa. Ya, Davin menyukai lagu-lagu bersyair Jawa. Apalagi, lagu-lagu galau yang melekat dihatinya. Otaknya bergerilya pada perasaan Raynar yang pagi tadi patah hati sebab ditolak oleh Anara. Apakah dia juga akan merasakannya suatu saat nanti? Kenapa teman-temannya terjebak dalam friendzone?
Keesokan harinya, mereka bertemu kembali di sekolah. Suasana pagi itu sama dengan biasanya, mereka saling bertegur sapa dan berbicara seperti biasa. Bahkan, tidak ada yang mengingat perihal olimpiade yang tidak biasa. Kasus hutang piutang pun tidak lagi dibahas. Begitu tenang suasana pagi itu. Akan tetapi, kericuhan terjadi kala seorang guru BK menyuruh seluruh siswa untuk berkumpul di lapangan. Ada sesuatu yang akan disampaikan oleh para guru di pagi hari itu. Apa tentang tindak kejahatan geng luoji atau prestasi yang akan dibahas?
Mereka berlarian untuk segera sampai di lapangan. Entah, rasanya sudah persis seperti para ibu yang berebutan jalan untuk mengantre sembako. Tiba-tiba keadaan riuh seperti pasar yang ramai pengunjung. Seluruh siswa Go Publik berdiri sesuai dengan kelas masing-masing. Begitu rapi barisan yang tercipta, tapi suara tetap saja kacau.
“Mohon untuk diam!” teriak kepala sekolah Go Publik sembari memberikan isyarat diam menggunakan jemarinya.
“Baik, ini bukan acara upacara. Hanya sebuah sambutan yang akan saya sampaikan. Jadi, kalian tetap harus mendengarkannya dengan baik,” kata kepala sekolah yang sedang berdiri di tengah lapangan. Di depannya terdapat mikrofon berwarna hitam yang akan menjadi alat pengeras suaranya.
“Anak-anak, kemarin acara olimpiade telah berjalan. Alhamdulillah tim SMA Go Publik meraih juaranya. Akan tetapi, tetap saja ada banyak hal yang membuat nama sekolah buruk di mata masyarakat. Untuk itu, saya harap, kejadian-kejadian buruk tidak terulang kembali. Khususnya, anak-anak yang tergabung dalam geng luoji. Saya mau, kalian membubarkan diri.”
Seketika, hampir seluruh siswa berbalik badan dan berjalan. Mereka membubarkan diri dari lapangan. Kaki-kaki mereka telah meraih beberapa langkah ke depan. Tiba-tiba terdengar suara yang menggelegar dari mikrofon yang dipakai oleh kepala sekolah.
“Maksud saya, bukan membubarkan barisan. Tapi, membubarkan geng luoji yang meresahkan!” teriak kepala sekolah.
Siswa-siswa yang telah membubarkan diri pun kembali ke barisan. Mereka kecewa karena telah salah mengartikan. Padahal, kaki telah meminta untuk kembali ke kelas. Rasanya, lelah juga berdiri di tengah lapangan mendengarkan orang berbicara seakan tidak mengerti waktu.
“Dasar, kirain sudah selesai. Tahu bakal lama, gue mending ke UKS,” keluh salah satu siswi yang berdiri di barisan belakang.
“Ya, silakan ke UKS, tapi jangan harap bisa keluar dari ruangan itu,” jawab salah satu guru yabg ternyata berdiri di belakangnya. Siswi itu menunduk malu, kemudian menghadap ke belakang dan meminta maaf sembari menyalaminya. Tapi, tetap saja ekspresi wajahnya seakan tidak ikhlas.
“Geng bernama Luoji, saya harap kalian maju ke depan!” Kepala sekolah menunjuk ke arah di depannya. Sebuah halaman yang kosong tanpa ada fasilitas sekolah ataupun siswa-siswi yang berdiri di sana. “Sekarang!” sambungnya.
Davin dan keenam temannya melangkah ke depan. Mereka berdiri di sana dengan membuat barisan yang rapi. Ya, untuk mengambil empati dari seluruh peserta yang berada di sana. Alih-alih merendam emosi, justru sikap salah satu dari geng itu—Agnetha—memancing emosi kepala sekolah.
“Bu, kenapa kita yang kena hukuman terus? Padahal banyak siswa-siswi lain yang nakal juga. Apa Ibu tidak bosan memberikan hukuman pada kami? Padahal, kami juga bosan menerima hukuman terus,” katanya. Siku Kim yang kebetulan berdiri di sebalah kanannya pun menyenggol lengan Agnetha agar tidak berbicara banyak hal. Sebab, perkataannya bisa membuat mereka terkutuk di hadapan kepala sekolah dan teman-teman satu sekolah.
“Kalau kalian bosan dihukum, ya, berhenti berbuat kejahatan. Jangan nakal-nakal! Baik, karena banyak sekali aduan dari masyarakat tentang kalian, saya tidak bisa memberi kelonggaran terlalu banyak. Silakan kalian memilih untuk keluar dari SMA atau membubarkan geng kalian dan berhenti membuat ulah.”
“Ah siap! Baik, Bu. Saya akan membubarkan diri dari geng.” Anara membalikkan badan hendak keluar dari barisan itu. Dua baris yang dibuat di tengah-tengah lapangan dan dikelingi oleh barisan anak-anak baik yang taat aturan.
“Anara!” teriak kepala sekolah dengan geramnya.
Perasaan Anara begitu kacau. Rasanya ada sejuta rasa yang menyelimuti hatinya. Rasa senang karena berhasil memenangkan olimpiade, kemarin. Tapi, juga kacau karena ulah yang dia buat bersama temannya satu geng.
“Iya, Bu. Tenang, saya tidak akan kabur. Hanya saja .... “