Tubuh yang dipaksakan tetap bekerja, tanpa melihat kondisi tidaklah baik. Pricilla jatuh sakit karena kelelahan. Dia masuk rumah sakit dengan diagnosa demam tinggi. Benar, tubuhnya menggigil dan wajah pucat. Tapi, tertidur di atas kasur beralas kain putih tidak menyurutkan semangat Pricilla dalam meraih semua mimpi dan citanya.
Dia ditemani oleh ibunya. Pagi ini, dia menikmati sarapan yang sudah disediakan rumah sakit. Meskipun rasa makanan tidak selezat masakan ibunya, Pricilla harus tetap menelan agar bisa meminum obat.
“Mama pergi ke kantin dulu, ya.”
Wanita paruh baya dengan batik cokelat telah meninggalkan ruangan itu. Dia melenggang pergi ke kantin untuk membeli makanan. Dia memakan nasi dengan telur saja. Membawa satu botol minum air putih, lalu kembali ke kamar rawat.
Sekitar pukul delapan pagi, ruangan itu dipenuhi dengan teman-teman kelas Pricilla. Mereka menjenguknya dengan membawa satu parsel buah-buahan. Sebuah bentuk perhatian sesama teman yang begitu berharga. Pricilla bersyukur memiliki mereka. Walaupun, sebentar lagi akan berpisah karena kelulusan dan kesibukan masing-masing.
“Terima kasih, sudah datang ke sini menjenguk,” kata Pricilla.
Anara mendekat ke arah gadis yang tertidur lemas di atas kasur. Menyentuh dahi Pricilla, kemudian Anara mengambil air kompres yang ada di meja. Beberapa kali, Anara mengompres dahi temannya itu, dia berharap Pricilla segera membaik dan bisa datang ke sekolah. “Cepat sembuh. Makanya jangan banyak pikiran. Fokus ke satu atau dua masalah saja.”
“Siap, Bu,” celetuk Pricilla memukul pelan lengan temannya itu.
“Bu? Emang gue babu?” Anara melangkah mundur duduk di sebuah sofa yang ada di sana. Dia duduk bersebelahan dengan Agnetha.
Mereka berada di rumah sakit sekitar satu jam. Setelah itu, mereka pamit karena masih ada pelajaran yang harus diikuti. Sebuah pengulangan materi ujian. Tidak ada selain Pricilla yang dengan tenangnya membangun bisnis di tengah sibuknya persiapan ujian. Sampai akhirnya, dia tidak bisa menahan beban dan terjatuh di ranjang rumah sakit.
Beberapa saat kemudian, dokter masuk ke dalam ruangan. Dia memberikan kabar bahwa kondisi Pricilla murni hanya kelelahan. Hasil laboratorium sudah keluar dengan hasil baik. Jadi, Pricilla bisa beristirahat di rumah. Mereka memutuskan untuk pulang sore nanti. Biarlah Pricilla bisa istirahat, sebab kalau sudah berada di rumah, gadis itu akan sibuk dengan berbagai macam tentang bisnis.
Cuaca hari yang tidak terlalu panas membuat Pricilla tertarik untuk keluar dari ruangan. Dia menggunakan jaket, lalu duduk di sebuah kursi roda. Gadis itu ditemani ibunya melihat kondisi di luar ruangan. Mereka duduk di salah satu sisi taman rumah sakit untuk menyaksikan tanaman yang saling menari dan padatnya jalanan kota.
“Pris, kamu fokus sama ujian saja dulu. Untuk pesanan-pesanan yang datang, biar Mama yang pegang. Nanti cari satu orang buat bantu-bantu. Gak ada gunanya punya uang, kalau kamu malah sakit,” kata ibu Pricilla sembari menatap anaknya yang masih terlihat begitu pucat.
“Oke. Tapi, Mama juga jangan sampai kelelahan. Kalau memang butuh orang, bawalah orang lain untuk bekerja sama Mama. Tapi, harus jelas semuanya dari awal, ya,” katanya dengan suara yang terdengar serak dan bergetar.
Pricilla tersenyum, kemudian memeluk ibunya. Seakan sebuah daun yang melekat pada ranting, terjun bebas ketika terkena angin kencang. Begitu juga dengan Pricilla yang wajar jatuh sakit karena terlalu banyak menanggung beban. Tapi, apakah dia terus seperti daun yang sudah terjatuh akan mengering lalu membusuk? Tentu saja tidak. Adanya seorang ibu membuat Pricilla akan terus bangkit, sebab alasan bertahan hidup dan terus berjuang adalah ibu.
Beberapa jam kemudian, mereka telah kembali ke rumah. Pricilla duduk di ranjang yang ada di kamarnya. Dia terkejut dengan sepray yang dipasang berwarna putih. Seperti tidak ada warna lain. Sama saja dia sudah pulang dari rumah sakit, tapi masih dengan suasana yang sama dengan pagi tadi.
“Ma, ganti ih,” kata Pricilla tidak mau merebahkan diri.
“Biar suasananya kaya di rumah sakit. Jadi kamu tidak bisa seenaknya sendiri. Gunakan waktu utnuk istirahat.”
Pricilla berjalan ke arah almari. Mengambil sebuah kain berwarna abu-abu tua. Tapi, ibunya mengambil alih agar kain itu tidak dipasang di kasur. Dia hanya ingin Pricilla bisa istirahat dengan benar agar segera sembuh. “Tolong, kali ini nurut,” katanya sembari membawa kain abu-abu itu keluar dari kamar Pricilla.
Sekitar pukul delapan malam. Pricilla sudah terbangun dari tidurnya. Dia beranjak dari kasur menuju dapur. Dia melihat ibunya sedang kewalahan dalam menyiapkan pesanan yang harus diantarkan hari esok. Pricilla mendekat dan membantu wanita itu.
“Kamu cukup istirahat,” katanya.
“Capek kalau disuruh duduk doang,” kata Pricilla mengambil sebuah wadah untuk menata donat yang sudah selesai dikemas. “Ma, ini pesanan dengan toping gula saja?” tanyanya.
“Enggak, sih. Terserah saja di pesanan, tapi berhubung Mama enggak bisa menghias secantik kamu dan nantinya malah merusak nama, jadi pakai yang paling gampang saja,” jawabnya.
Mereka menyelesaikan pekerjaan sekitar pukul sepuluh malam. Tidak lama dari itu, mereka kembali istirahat agar bisa mendapatkan tubuh sehat di esok hari.
Kini, hari telah berganti. Pricilla telah kembali dari rumah pelanggannya. Dia melanjutkan aktivitasnya dengan mengerjakan soal-soal latihan untuk ujian. Cara belajar yang paling efektif bagi dia adalah mengerjakan banyak soal dan memahaminya. Dia menghabiskan waktu untuk belajar selama kurang lebih dua jam.
Pricilla membuka ponselnya, dia mendapatkan sebuah pesan dari Kim. Pria itu menanyakan keadaannya saat ini. Pricilla sudah membaik. Tubuhnya lebih terasa nyaman untuk beraktivitas daripada hari kemarin. Tapi, dia masih harus meminum obat dan vitamin agar tubuhnya benar-benar membaik.
“Ma, hari ini aku mau pergi ke rumah Anara, ya,” katanya. Dia sudah janjian untuk belajar bersama dengan Anara. Pricilla mengambil beberapa wadah donat kering yang masih ada di rumah. Dia juga memakai jaket, lalu pergi ke rumah Anara menaiki taksi.
“Akhirnya datang juga. Bawa makan gak?” tanya Agnetha yang sedang sibuk dengan laptopnya. “Oh iya, ini ada catatan kemarin. Katanya sih, tambahan materi buat ujian.”
“Terima kasih, Tha.”
“Eh, itu catatan punya gue. Lu nulis ulang dibuku sendiri,” jawab Agnetha masih saja sibuk dengan materi-materi yang ada di depannya.
Mereka belajar Bahasa Indonesia. Saling melengkapi materi dan berbagi ilmu salah satu cara mereka memanfaatkan sebuah pertemanan. Bukan suatu hal buruk, tapi sebuah kerja sama yang baik untuk mencapai tujuan yang baik juga. Sesuatu yang buruk, masih ada kesempatan untuk melihat hal yang baik. Begitu juga dengan sebaliknya. Mungkin, benar selama ini geng luoji dianggap sebelah mata. Sampai-sampai banyak prestasi yang tertutup begitu saja.
“Terima kasih untuk waktunya.” Anara tersenyum bahagia. Akhirnya, dia bisa merasakan rumah yang dipenuhi keramaian. Bisanya, dia hanya merasakan kesepian di sebuah rumah yang begitu mewah dan megah.
“Oke, Ra. Gue balik, ya,” kata Agnetha yang sudah merasa lelah untuk hari ini. Dia mengantarkan Pricilla terlebih dahulu. Dia tidak ingin temannya pulang dengan kendaraan umum, sedangkan dia sendiri bisa memberikan bantuan.
“Eh, kenapa nih?” lirih Pricilla memandang wajah Agnetha yang sama paniknya.