Pricilla terkejut dengan sebuah kabar yang masuk sejak dua menit yang lalu. Di mana, ada salah satu anak jalanan yang meninggal dunia karena tidak bisa lagi bertahan atas rasa sakit yang diderita. Pricilla bergegas pergi ke tempat yang biasanya ia kunjungi. Di sana, dia sudah melihat kehadiran teman-teman dan warga sekitar untuk mengurus jenazahnya.
“Mbak, Mas, terima kasih untuk kebaikannya selama ini,” kata seorang bapak-bapak yang baru saja selesai membimbing membaca doa.
“Sama-sama, Pak. Kami hanya melakukan apa yang kami mampu,” jawab Anders sebagai perwakilan dari geng luoji.
Jenazah yang baru saja selesai didoakan pun siap untuk diantarkan ke tempat terakhirnya. Pricilla tidak menyangka salah satu adiknya telah tiada. Andai saja dia tahu penyakit apa yang diderita selama ini, Pricilla akan berusaha membantu pengobatan. Tapi, hidup dan kematian tidak bisa diprediksi. “Semua sudah ketentuan Allah. Semoga, teman kalian sudah tenang di sisi Allah.” Pricilla mengajak teman-teman kembali ke rumah. Sebuah rumah reyot yang mereka tinggali bersama-sama, karena tidak memiliki keluarga.
Geng luoji masih menetap di sana. Duduk bersama anak-anak yang masih berduka di depan gubug. Mereka saling berdiam, merenung akan kenangan bersama Aisha. Ikhlas dan tidak ikhlas, mereka harus merelakan temannya bertemu Tuhan.
Bendera putih masih terpasang rapi di ujung jalan. Berkibar mengisyaratkan duka. Tak disangka, banyak pelayat yang berdatangan. Kenapa? Sebuah pertanyaan yang muncul di dalam benak Pricilla. Dia masih saja tidak mengerti akan kebaikan yang sudah dikerjakan oleh anak-anak jalanan itu, sehingga banyak orang yang peduli dengan berita duka ini. Bahkan, tidak sedikit di antaranya adalah keluarga terpandang dan kaya raya.
“Nak, kebaikan apa yang kalian lakukan?” tanya Anara sembari memeluk salah satu anak perempuan dengan kerudung berwarna biru tua.
“Aisha selalu membantu orang-orang kaya itu ketika hujan datang. Ya, walaupun mendapatkan upah, tapi Aisha tidak pernah memasang tarif untuk menjadi ojek payung,” jawabnya dengan menunduk menahan isak tangis.
“Masya Allah, kalian jangan sedih. Aisha sudah baik-baik saja di sana, sudah tidak merasakan sakit lagi,” kata Anara mengeratkan pelukan itu.
Pricilla tidak kuasa menahan air mata. Dia tersedu, tanpa suara. Duduk di sebuah bangku dengan kepala menunduk, pikirannya melayang tak bisa memikirkan betapa tulusnya anak itu. Sesekali matanya melirik, melihat orang-orang yang terus berdatangan untuk berbela sungkawa.
“Kak, jangan menangis. Kalau Kakak menangis, kami bisa jauh lebih sakit.”
Pricilla mengusap air matanya, melangkah ke dalam rumah kecil itu. Dia menumpang untuk beristirahat sejenak, badannya lemas kelelahan. Gadis itu memejamkan mata selama lima belas menit. Tidak lama kemudian, Anara terkejut dengan kehadiran ayahnya di tempat duka.
Pria dengan jas hitam itu mendekat ke Anara. Menanyakan kenapa anaknya ada di tempat itu. Usut punya usut, ternyata ayah dari Anara merupakan salah satu donatur yayasan yang membantu anak-anak jalanan itu. Ya, selain atas bantuan geng luoji dan kerja keras mereka sendiri, ada beberapa yayasan yang membantu keuangan anak-anak itu.
“Jadi, selama ini kamu .... “
“Iya, kami melakukan itu untuk membantu anak-anak ini. Tidak pernah ada niat buruk, apalagi untuk keuntungan kami sendiri. Kalau Om tidak percaya, bisa tanyakan ke mereka,” jawab Kim dengan sopan, menatap ayah Anara. Kim berjalan lima langkah untuk mengambil sebuah ponsel dari tas. Kemudian, memperlihatkan video dokumentasi kepada ayah Anara agar percaya atas omongannya.
Kurang lebih empat jam kemudian, Pricilla sudah sampai di rumahnya. Dia duduk di bangku yang ada di kamar. Merenungi setiap kegiatan yang dia kerjakan. Ingin rasanya dia bertobat sekarang. Dia teringat akan kematian yang tidak memandang usia.
Pricilla tidak tahu bagaimana dirinya, apakah banyak dosa? Sudah pasti. Tapi, setidaknya dia masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Tidak lama kemudian, ibu masuk ke kamar. Membawakan satu kotak kue untuk dinikmati bersama. Tapi, rasanya Pricilla tidak merasa nafsu untuk makan. Bahkan, minum saja rasanya gadis itu tidak mampu. Pikirannya masih terbayang akan sebuah kematian. Bukan merasa takut, tapi belum siap.
“Ya, begitu. Setiap yang bernyawa, akan mati. Kita sebagai manusia yang dilengkapi dengan akal, hanya bisa berbuat sebaik mungkin terhadap Allah, diri kita sendiri, dan orang lain. Sudah, ayo, makan,” kata wanita itu keluar dari kamar dengan membawa kue. Dia tidak pernah mau makan di sebuah ruangan yang digunakan untuk istirahat.
Pricilla duduk di sebuah bangku yang ada di ruang makan. Mereka menikmati makan malam hanya dengan kue saja. Bukan karena tidak ada beras, tapi mereka tidak memiliki lauk. Ya, sedang dalam fase lelah. Jadi, mereka cukup memakan kue yang sudah dibeli sejak siang tadi oleh ibu Pricilla.
Gadis itu menunduk, meratapi setiap ucapan yang ada. Melirik ke arah ibunya, mendekat lalu mencium hangat pipi ibunya. Dia berbisik dengan pelan, mengucapkan rasa sayang dan cintanya kepada seseorang yang telah mengandung sembilan bulan. Pricilla pun mengucapkan maaf atas kesalahan yang sudah diperbuat di depan ibunya.
“Mama juga minta maaf. Mama banyak salah juga. Sudah-sudah, kita makan malam dulu,” kata wanita itu mengusap lembut puncak kepala Pricilla.
Tak terasa potongan kue telah habis. Mereka masih setia berada di ruangan itu. Saling bercerita satu dengan lain dan berbagai topik. Pricilla tidak bisa membayangkan jika harus ditinggal pergi lagi. Dia sadar, di dalam hatinya dia tidak setegar itu. “Ma, jangan meninggalkan aku lagi, ya?”
Angin berembus semakin kencang. Bahkan, sudah berhasil menembus tulang-tulang yang ada di dalam tubuh manusia. Pricilla beranjak dari ruang makan, memakai jaket. Kemudian, duduk di meja belajar. Membuka buku catatan, belajar materi untuk persiapan ujian. Benar, dia salah satu wanita dengan ambisi yang cukup besar. Apa yang diinginkan, harus bisa mewujudkannya.
Ambisi, cita-cita, harapan, siapa yang tidak punya? Setiap manusia berhak atas hal itu. Asalkan, dalam konteks hal kebaikan. Jangan menggunakannya untuk berbuat kejahatan. Mencapai tujuan dalam hidup, dibutuhkan sebuah ketekunan dan konsistensi yang pasti. Seperti halnya yang dilakukan Pricilla. Dia tidak pernah mengeluh atas usaha yang sedang dikerjakan. Mencapai tujuan tidak bisa secara instan, apalagi dibayar kontan. Akan tetapi, semua itu akan dibayarkan melalui sebuah proses panjang yang wajib dinikmati.
Dalam melalui proses itu sendiri tidaklah mudah. Akan menemui berbagai rintangan dan halangan. Sebuah risiko yang wajib ditanggung, dan adanya gangguan lain dari internal maupun eksternal. Oleh karena itu, sebelum menjalankan sebuah proses, sebaiknya memperbaiki pola pikir dan mental. Tujuannya, agar tidak terperosok ketika mendapatkan semua hambatan.
“Loh, kamu belum tidur? Ini sudah hampir larut,” kata wanita dengan pakaian tidur, “Tidurlah, masih ada waktu besok. Jangan terlalu berambisi. Terkadang sesuatu yang berlebihan akan berujung sesuatu yang tidak baik.”
“Tapi .... "