Dua hari kemudian, ketujuh siswa yang tergabung dalam geng luoji itu telah duduk rapi di sebuah ruangan yang ada di sekolah. Mereka ditemani oleh dua orang guru untuk membahas permasalahan yang ada, namun mereka merasa tidak perlu untuk membesar-besarkan masalah.
“Bu, bukannya kita sudah diberikan hukuman yang berat, kan? Lalu, kenapa kita ditambah lagi. Sudahlah, kalau masih dikasih hukuman lagi, kami tidak akan melanjutkan hukuman sebelumnya.” Anders berdiri, melihat ke teman-temannya sebagai kode bahwa mereka harus segera pergi dari ruang BK.
“Tunggu dulu!” teriak guru BK yang masih ingin setia duduk bercengkerama dengan anggota geng luoji.
“Kalau kalian menang … Hukuman kemarin batal,” katanya dengan menatap lurus ke arah Anders yang sudah berada di ambang pintu. “Acara lomba ini sangat berarti bagi sekolah. Apalagi, kita sebagai tuan rumah,” sambungnya.
“Bu, setiap kali kami mengikuti olimpiade pun janjinya seperti itu. Pada kenyataannya, hukuman itu tetap berlaku, apakah itu menepati janji?” Anders meninggalkan ruang BK.
Ketujuh anggota geng itu pergi ke sebuah ruangan tak beratap di belakang sekolah. Mereka duduk di sebuah bangku tua yang sudah reyot. Anggota geng cowok pun menyesap rokoknya masing-masing dengan santainya. Mereka saling terdiam, hanya ada suara kicauan burung yang mengudara.
Lima detik kemudian, Pricilla beranjak dari duduknya. Dia melangkah mengambil sebuah batu kecil yang ada di pinggir tembok depannya, memainkannya beberapa detik kemudian dimasukkan ke dalam saku rok sekolah. “Biasa,” katanya.
“Jorok ih. Mending juga ke kamar mandi, Pris.” Agnetha berdiri dengan kedua tangan menyilang di depan. “Terus, kita tidak menerima olimpiade?” tanyanya sembari menatap lurus ke arah Anders yang masih sibuk dengan rokok yang tinggal separuh.
“Nggak, kita ini pemberontak. Jadi, ya, sudah. Apa yang diharapkan dari olimpiade itu?” tanya Anders melangkah meninggalkan halaman belakang sekolah.
Mereka mengikuti langkah Anders. Mereka masuk ke dalam kelas, di mana sudah ada seorang guru menjelaskan materi hari ini. Bahkan, dengan santai mereka melenggang masuk, tanpa memberi salam. Mereka duduk di tempat masing-masing tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
“Kalian ini sudah terlambat masuk kelas saya, sekarang dengan seenaknya sendiri duduk di bangku. Kalian sadar tidak, sih, sudah melanggar tata kerama?” kata guru itu sudah berdiri di depan kelas dengan tatapan marahnya.
Pricilla berdiri, melangkah menghampiri guru dengan kerudung berwarna cokelat itu. “Bu, maaf, tadi kami ke ruang BK.” Pricilla mencoba untuk menjabat tangan guru itu.
“Ruang BK? Mana ada ke ruang BK, tapi bau asap rokok?” katanya tanpa menerima uluran tangan dari Pricilla.
Ketujuh anggota geng itu keluar dari kelas sesuai dengan perintah dari guru itu. Mereka kembali duduk di sebuah gazebo yang ada di depan ruang kelas. Mereka memilih untuk merebahkan diri di sana. Benar-benar murid tidak tahu diri. Bukannya sadar akan kesalahan, mereka justru seakan menganggapnya remeh.
“Eh, ini tidur di sini? Nanti kalau ada kepala sekolah ke sini, bagaimana?” tanya Agnetha masih setia duduk bersandar kaki gazebo.
“Bodoh, siapa suruh ngusir kita dari kelas,” jawab Raynar sembari menutup mata dengan telapak tangannya. Dia memejamkan matanya untuk mencari ketenangan atas apa yang terjadi. Bukan merenungi, namun berusaha melupakannya.
Beberapa hari kemudian, mereka tengah pergi ke sebuah tempat makan untuk membahas mengenai kode yang akan dibuat. Namun, ternyata terkendala dengan kondisi tempat yang begitu ramai. Sehingga, mereka hanya menumpang mengisi perut sebelum pergi kembali mencari tempat baru yang cocok untuk berdiskusi.
“Sekarang mau apa?” tanya Agnetha dengan polosnya. Padahal, dia sendiri tahu agenda hari ini untuk membahas hukuman yang belum juga selesai.
Mereka sudah sampai di sebuah tempat wisata alam di daerah Jakarta sejak dua menit yang lalu. Baru saja mereka ingin memulai diskusi, tiba-tiba Pricilla harus pulang karena ada masalah di rumah. Dia harus berurusan dengan beberapa rentenir yang menagih utang.
Pricilla pulang dengan menaiki sebuah angkutan umum. Dia melihat tubuh besar nan tegap tengah menggedor-gedor pintu rumahnya. Pricilla menghampiri dengan setengah berlari agar pria itu berhenti melakukan kegiatan yang akan merugikan gadis itu.
“Bagus, akhirnya pulang juga. Cepat, bayar utang!” teriaknya, “dasar, pinjam utang dengan tenang, kalau ditagih hilang-hilang tanpa ada alasan.”
“Saya tidak kabur, tapi saya punya kesibukan di luar. Maaf, permisi dan tunggu di sini.” Pricilla melenggang masuk ke rumah. Dia melangkah ke kamar untuk mengambil uang yang sudah ia kumpulkan demi membayar utang yang bunganya sudah membengkak.
Beberapa menit kemudian, pria itu telah pergi setelah menerima uang dari Pricilla. Gadis itu duduk di teras rumah, memandangi langit yang terlihat cerah. Dia merenungi setiap perjalanan yang dirasa sangat sulit untuk hidupnya. Salah apa yang ia perbuat?
Manusia memang tempatnya salah dan dosa. Tidak terkecuali Pricilla. Dasarnya, memang masih muda, dia pun masih seperti orang sebayanya yang menginginkan sebuah kebebasan dan bergerak semaunya. Sampai akhirnya, dia sendiri tidak memikirkan dampak apa yang akan terjadi atas perbuatannya.
Pricilla mendapatkan panggilan dari ketua RT setempat. Dia pun bergegas pergi ke rumah beliau untuk memenuhi panggilan. Pricilla duduk di sebuah sofa yang ada di sana, menunggu pak RT yang masih sibuk dengan berkas di atas meja.
“Tunggu lima menit lagi,” katanya.
Pricilla mengeluh dalam hati. Dia merasa kesal dengan sikap ketua RT yang semaunya. Padahal, beliau yang mengundang Pricilla, seharusnya beliau sudah menyiapkan waktu untuk membicarakan apa yang ingin beliau bahas.
“Mbak, maaf, kalau kamu punya masalah dengan seseorang, tolong segera diselesaikan. Kalau tidak mampu, bisa meminta tolong kepada saya. Akibat dari masalah pribadi, suara gedoran dan teriakan dari pria tadi sangat mengganggu warga. Bukan hanya sekali, tapi hal ini sudah berkali-kali. Memang masalah kamu apa?” ucapnya sembari meletakkan kacamata di atas meja.
“Jadi, saya dipanggil ke sini karena hal itu? Baik, pertama-tama saya meminta maaf akan hal itu. Saya memiliki utang untuk mencukupi hidup. Mungkin, sudah membengkak utang itu. Tapi, saya akan berusaha untuk melunasi, sehingga tidak akan mengganggu warga setempat. Terima kasih, Pak,” jawab Pricilla lalu pamit untuk pulang.
Pricilla masuk ke kamar. Dia mengunci pintu, kemudian merebahkan diri. Mengeluarkan air mata agar bisa menenangkan diri. Sesekali dia perlu menangis untuk diri sendiri. Menangis bukan sebuah aib, namun salah satu cara bagi Pricilla untuk meluapkan emosi yang sedang buruk. Saat ini dia merasakan lelah dengan hidupnya sendiri.
“Kenapa, sih, hidup gue berantakan!” teriak Pricilla melempar guling ke lantai dengan kuat. “Kenapa hidup gue harus seperti ini? Apakah tidak ada kehidupan lain yang lebih baik?” rancau Pricilla dengan sesenggukan.