Percayalah dibalik kesulitan akan ada kemudahan. Walau, tidak semudah yang ada dalam pikiran.
-Anarawati Daniswara-
Kepala sekolah menatap Anara dengan tajam. Pipinya mengembang seperti donat yang matang dalam minyak panas. Kacamata besarnya berembun akibat panasnya mentari yang menabrak dinding-dinding tubuhnya. Kepalan tangannya yang seakan telah siap melayang di guling tinju. Melihat ekspresi kepala sekolah yang lucu nan menggemaskan, bagi Anara, membuat Anara menahan tawa yang telah siap menggelegar ke seisi ruang sekolah.
“Tapi hanya apa Anara!” teriak kepala sekolah dengan emosi yang meninggi.
“Hanya ingin pergi ke toilet, Bu. Masa Anara buang air kecil di sini, kan, enggak etis,” jawab Anara sembari tersenyum licik.
“Tidak ada acara ke toilet. Kembali ke barisan, Anara!” teriaknya.
Anara pun mengikuti perintah dari gurunya. Kembali pada barisan. Walaupun dirinya sudah tidak betah berdiri di tengah lapangan yang menjadi pusat perhatian. Perasaan yang terasa berkecamuk pun menghantui pikirannya. Anara menunduk sembari membuang napas kasar. Tangannya mengikuti teman-temannya yang mengikat kedua tangan di belakang.
“Baik, sekali lagi saya tegaskan. Kalian yang ikut serta dengan geng luoji ... harus membubarkan diri. Jika geng itu masih ada, saya akan memberikan sanksi yang lebih tegas.”
“Maaf, Bu, apa tidak sebaiknya membubarkan sekolah saja? Supaya Ibu tidak repot mengurusi anak-anak remaja yang memang wajar berbuat nakal. Ya, bisa dibilang Bapak dan Ibu guru pun pernah remaja, masa tidak mau memberi kelonggaran pada kami. Masalah pembubaran, maaf, kami tidak bisa. Sebab, pertemanan kami bertujuh sudah terjalin dari pertama kali masuk di sekolah ini.” Anders melangkah selangkah untuk memberikan sebuah sanggahannya. Menurutnya, tidak akan ada orang lain yang bisa merusak hubungan persahabatan itu. Kecuali, takdir dari Tuhan yang tidak bisa diubah.
Agnetha yang mengenakan rok SMA itu mengubah gaya berdiri selayaknya model. Kaki kanan bersila ke depan kaki kiri sembari tangan yang diikat di belakang tidak sesuai dengan peraturan. Agnetha pun melamun di tengah mendengarkan gurunya yang sedang mengoceh di depan sana. Sedangkan, salah satu temannya yang sedang menyanggah utusan dari kepala sekolah.
“Angetha!” teriak kepala sekolah dengan tatapan matanya yang sangat tajam. Tatapan di balik kacamata rabun jauhnya yang sedikit turun ke hidung itu.
“Iya, apa Bu? Duh, Ibu, itu ada yang turun!” jawab Agnetha dengan suara paling kerasnya. Bahkan, posisi berdirinya pun tidak dibenarkan sesuai dengan adab berdiri di depan gurunya. Guru yang seharusnya dianggap sebagai orang tua pengganti ketika sekolah, tapi tidak dengan anggota geng luoji. Guru di sekolah bisa terkesan seperti monster yang siap menerkam. Padahal, mereka tidak tahu pokok masalah yang sesungguhnya.
Kepala sekolah yang sedang berdiri pun menatap ke bawah. Matanya tidak menemukan sesuatu yang terjatuh. Lalu apa maksud dari perkataan Agnetha? Itu yang ada dalam pikirannya. Kepala sekolah itu pun kembali mencari-cari sesuatu di tanah untuk kedua kalinya. Tapi, sama saja. Tidak ada apa-apa di sana.
“Ibu mau mencarinya sampai tuwek juga tidak bakalan ketemu. Orang jatuhnya ke hidung Ibu. Tolonglah jangan marah-marah. Itu kacamata Ibu diperbaiki,” kata Agnetha sedikit tertawa. Bukan tertawa senang, tapi tertawa mengejek sekaligus sedih melihat gurunya yabg telah naik pitam. Padahal, itu juga ulahhya.
“Hari ini benar-benar saya harus beristigfar berkali-kali lipat. Kalau tidak, saya bisa stres melayani kalian. Menanggapi pernyataan Anders, saya akan memikirkannya,” tuturnya sembari membenarkan posisi kecamatanya.
“Angel wis angel,” ucap salah satu siswa yang berada di paling belakang. Suaranya yang hanya seorang diri pun menjadikannya tersangka selanjutnya.
Anggota geng luoji dan seluruh warga sekolah pun mencari si tersangka dengan mata elangnya. Tapi, tetap saja tidak bisa terjangkau dari tempat berdiri geng luoji. “Astaga, Kim, kapan sih bisa ke kantin. Lapar ini!” seru Davin tanpa terdengar oleh guru dan siswa lainnya. Hanya dirinya dan Kim yang kebetulan berdiri di sebelahnya. Benar, perut Davin telah berbunyi. Bahkan, bunyinya begitu nyaring seakan bunyi dering telepon dengan volume di atas batas normal.
“Sudahlah, kalian kembali ke kelas masing-masing saja. Saya pusing menghadapi kalian yang tidak bisa diatur. Apalagi kalian geng luoji. Itu tadi ada yang bilang ‘angel wis angel’ itu artinya apa? Raynar ... kata itu apa artinya?”
“Ibu mau membubarkan barisan atau mau belajar Bahasa Jawa?” jawab Raynar menggoda kepala sekolahnya. “Kalau mau belajar Bahasa Jawa sama saya, bayar ya, Bu!” teriak Raynar dengan tersenyum lebar.
Mereka—seluruh siswa-siswi SMA Go Publik—membubarkan diri sebelum dibubarkan oleh kepala sekolah. Kaki mereka yang mulus telah tidak tahan menanggung beban berdiri yang selama itu. Geng luoji masuk ke dalam kelas.
Pricilla dan Agnetha berjalan ke arah belakang kelas. Merebahkan diri di lantai kelas, berada di belakang kursi. Hanya menggunakan tangan sebagai bantal. Mencari kenyamanan untuk kaki yang telah terasa lelah dan tubuh yang berkeringat akibat dijemur di bawah sinar matahari.
“Dasar guru. Benar, dibalik kesulitan akan ada kemudahan. Kita nakal, tapi kita bisa membawa nama baik sekolah. Tapi, apa? Tetap saja kita mendapatkan hukuman. Karena apa? Kemudahan itu tidak semudah yang ada dalam pikiran dan bayangan.” Anara menyelonjorkan kakinya di sebelah kanan Pricilla.
Pricilla yang tidak benar-benar tertidur pun bergerak untuk duduk. Menyender tembok belakang. Tangannya mulai mengusap mata yang perih meminta untuk dipejamkan. Apalagi pikirannya yang bekrcamuk tentang rumahnya. Walau ada uang bantuan dari teman-temannya, tetap saja masih membutuhkan banyak biaya. Benar, istirahat tidak cukup untuk mengobati lelah pikiran.
“Iya ... begitulah. Guru itu mengenal muridnya hanya dari sampul saja. Tanpa mau untuk melihat sisi belakangnya. Padahal, kita beberapa kali membawa nama baik sekolah. Tapi, karena nilai buruk dari masyarakat membuat perjuangan kita dari sekolah seakan tidak terlihat.” Pricilla mengibaskan kipas dari kertas yang dibuatnya.
Kim, Anders, Davin, dan Raynar pergi keluar dari kelas. Mereka pergi ke halaman belakang atau ke kantin. Dua tempat paling favorit bagi mereka. Tapi, paling sering dikunjungi adalah halaman belakang sekolah yang jauh dari lalu lalang siswa atau guru. Di sana, mereka dengan bebas melakukan kegiatannya. Menyusun rencana atau sekadar menghirup asap rokok. Benar-benar siswa yang tak tahu aturan. Bahkan, mereka tidak takut dengan rokok yang dengan jelas pada kemasannya memberikan peringatan.
Merokok Membunuhmu. Kalimat itu mungkin tidak berarti bagi mereka. Tapi, lebih baik jika meninggalkan. Sebab, dengan asap rokok tidak hanya menggangu kesehatan diri sendiri. Melainkan, kesehatan orang lain yang turut menghirup asap itu.
“Sudahlah biarkan. Kita rebahan saja di sini. Lagi pula, gurunya masih sibuk untuk berunding. Jadi, kita tidur saja,” kata Anara yang kemudian di sambung dengan bersenandung sebuah lagu dari Nadin Amizah yang berjudul ‘Rumpang’
Diiringi senandung merdu dari Anara membuat Pricilla dan Agnetha terbawa arus mimpi yang menenangkan. Sebuah ketenangan dan kenyamanan mereka tiba-tiba terguncang ketika guru yang akan mengajar di kelasnya telah duduk manis di bangkunya.
Guru itu berdehem beberapa kali untuk membangunkan ketiga siswinya yang tak kunjung terbangun. Matanya melirik ke arah empat kursi kosong hanya tersisa tas gendong di masing-masing bangku.
“Empat anak itu di mana?” tanyanya.
“Tidak tahu, Bu,” sahut siswa-siswi dengan serempak.
Guru yang mengenakan pakaian krem dan kerudung warna senada itu berdiri. Berjalan ke arah belakang sembari membawa kemoceng dari mejanya. Mengusapkan buku-bulu kemoceng yang telah dicat warna ungu itu ke kaki ke-tiga muridnya. Sampai akhirnya, hanya berhasil membangunkan Pricilla.
“Akhirnya bangun juga, Nak. Kembali ke tempat duduk mu,” ucapnya.
Pricilla yang baru saja terbangun hanya bisa mengangguk sembari menguap. Tangannya beberapa kali mengucek mata yang masih pedas ingin ditidurkan. Kakinya melangkah ke arah tempat duduknya. Saking menahan kantuk, dia melupakan temannya yang masih tertidur pulas di lantai tanpa alas.
“Eh, Bu .... “