Tiga hari kemudian, Pricilla pergi seorang diri ke tempat anak jalanan yang selama ini menjadi tempat untuk berbagi. Kali ini, Pricilla ingin mengajak anak-anak itu untuk membantunya dalam menguji rasa dari produk yang sudah diproduksi.
Gadis itu membagikan donat-donat yang sudah dibawa. Ada rasa buah naga, semangka, jeruk, melon, nanas, dan durian. Tapi, anak-anak jalanan itu tidak bisa memberikan komentar selayaknya seorang review makanan. Hal itu tidak menjadi suatu masalah, paling penting Pricilla bisa memutuskan bahwa produk itu layak untuk dijual.
Setelah selesai, Pricilla memberikan amplop yang diisi sejumlah uang kepada anak jalanan. Dia menganggap anak-anak itu bekerja untuknya. Walaupun hanya sekadar mencicipi produk saja. Sebab, Pricilla sadar sudah meminta waktu yang sangat berharga untuk mencari sejumput nasi.
Gadis itu meninggalkan tempat. Namun, di pertengahan jalan dia harus menelan pil pahit. Di mana taksi yang ditumpangi harus berhenti mendadak, akibat ban kempes. Pricilla berdiri di tepi jalan, berharap ban taksi segera bisa diperbaiki. Seharusnya bisa diganti dengan ban lain, tapi sopir taksi itu tidak membawa ban ganti.
“Pris, bareng aja, ayo,” kata Kim membuka kaca mobil yang terhenti di depan gadis itu.
Pricilla memberikan uang ongkos, kemudian masuk ke mobil Kim. Dalam pikiran Pricilla saat ini, dia hanya ingin sampai di rumah secepat mungkin. Apalagi, waktu sudah menjelang magrib. Mereka masuk ke rumah. Duduk di ruang tamu dijamu dengan donat kering dengan rasa buah naga dan durian.
“Inovasi kamu bagus, sih,” puji Kim menikmati donat kering rasa buah naga.
“Tapi, hampir bikin gue gak bisa pulang. Apa karena lagi apes kali ya,” jawab Pricilla tertawa kecil.
Tidak lama kemudian, ibu Pricilla datang ke ruangan itu dengan membawa dua gelas air. Dia ikut bergabung di ruang tamu untuk bercerita banyak hal. Apalagi, soal produk makanan yang sedang direncanakan untuk launching beberapa waktu lagi.
“Oh iya, bagaimana sama donatnya? Teksturnya terlalu kering atau bagaimana?” tanya wanita separuh baya yang menggunakan jaket rajut berwarna hitam.
“Sudah pas, kok. Oh iya, ini dijual di sekolah sih menurut aku bakal laris,” katanya dengan menikmati donat yang ada di atas meja. “Apalagi kalau kamu kembangkan dengan media online. Aku rasa bakal tahan sampai kurang lebih dua-empat minggu, soalnya teksturnya kering bukan basah.”
“Iya, rencana juga begitu. Tapi, masih bingung buat toping yang bisa awet,” jawab Pricilla sembari berdiri karena kebelet ingin ke toilet.
Beberapa waktu kemudian, Pricilla duduk di dalam kamarnya. Dia mencoba untuk memanfaatkan ponsel agar bisa mendesain kemasan yang akan digunakan untuk produk. Bagaimanapun kemasan berpengaruh dalam sebuah produk.
Tapi, dia tidak juga menemukan referensi yang cocok untuk mendesain. Akhirnya, Pricilla menyerah dan memilih mengerjakan tugas sekolah. Dia juga masih memiliki tanggung jawab sebagai seorang pelajar. Mengerjakan tugas selama kurang lebih dua jam, sekitar pukul setengah sembilan malam, dia menyempatkan diri untuk memakai masker dan membersihkan wajah sebelum tidur.
Kebersihan kulit, terutama wajah sangat penting. Bahkan, hal itu menjadi bentuk tanggung jawab yang harus dilakukan. Sebagai tanda bersyukur dan mencintai diri sendiri. Pricilla selalu berpikir bahwa kebersihan sebagian dari iman. Bukan hanya kebersihan lingkungan yang wajib dijaga, tetapi kebersihan diri pun sudah harus dijaga.
“Bagaimana, Pris?” tanya ibunya yang baru saja masuk ke kamar anaknya.
“Mau berangkat dulu, Ma,” katanya masih merasa kelelahan.
Beberapa waktu kemudian, Pricilla memutuskan untuk pergi ke sekolah. Padahal, dia merasakan tidak nyaman dengan tubuh yang lesu. Dia pergi menaiki sebuah taksi yang sudah dipesan sejak beberapa menit yang lalu.
Kini, gadis itu sudah sampai di sekolah. Bukan mempersiapkan diri untuk ikut pembelajaran, Pricilla justru melanjutkan tidur. Gadis itu merasakan tubuh yang panas dan tidak nyaman untuk beraktivitas.
“Pris, kalau sakit mending ke unit kesehatan atau pulang saja,” kata Anara yang baru saja masuk kelas. Dia menghampiri Pricilla, menyentuh dahi Pricilla dengan lembut.
Pricilla bangun dari tidurnya. Wajahnya terlihat pucat dan tidak b*******h. Anara panik dengan kondisi temannya yang tidak biasa. Padahal, Pricilla seorang wanita kuat yang jarang sakit walau berhari-hari kehujanan. Tapi, saat ini dia harus melihat temannya tidak berdaya karena suhu panas yang tinggi di tubuhnya.
Anara mengantarkan Pricilla ke unit kesehatan yang ada di sekolah. Menunggu Pricilla yang sedang meminum obat dan istirahat. Anara mengambil kain dan air untuk mengompres dahi temannya, berharap suhu panas segera turun agar bisa kembali ke kelas mengikuti pelajaran.
“Pris, mau minum gak?” tanya Anara mengambil kain di atas dahi. “Kamu kelelahan atau habis main air?”
“Kayanya kelelahan karena mencari inovasi buat dagang deh,” jawabnya sembari duduk, bersandar pada dinding.
Anara memberikan segelas air hangat yang ada di sana. Kemudian, dia duduk di sebelah ranjang untuk menemani Pricilla yang sedang duduk di sana. Kondisinya sudah lebih baik daripada beberapa menit yang lalu. Anara izin keluar untuk mencari makanan. Bagaimanapun Pricilla harus sarapan, agar segera sembuh. Kelelahan iya, belum sarapan pun juga iya. Makanya, gadis itu bisa tumbang di pagi hari.
Pricilla bersyukur memiliki teman yang pengertian. Anara memang salah satu teman yang dekat dengan Pricilla dibanding anggota geng yang lain. Anara memberikan sebungkus nasi dengan sambal teri kesukaan temannya. Dia membantu Pricilla membuka bungkus makanan itu.
Tidak lama kemudian, mereka mendengar suara pintu terbuka. Ada Anders yang masuk ke dalam memberikan botol air minum. “Jangan lupa minum biar enggak dehidrasi,” ujarnya lalu pergi meninggalkan ruangan itu agar tidak ada fitnah yang berdatangan.
Pricilla meneguk air dari Anders. Dia lebih suka air putih daripada air teh yang ada di ruang kesehatan itu. Baru saja selesai dua kali tegukan, ada bayangan seorang perempuan dengan kerudung berjalan mendekat.
“Kamu sakit?” lirihnya menyentuh dahi Pricilla.
Pricilla menceritakan keadaannya kepada guru BK itu. Gadis itu merasakan badan yang pegal-pegal dan kepala pusing. “Kamu terlalu ambis dalam segala hal. Ambisi di bisnis dan sekolah sama tingginya, jadi kepalamu tidak kuat untuk mengolah semua yang kamu inginkan. Pilih dulu salah satu. Fokus ke sekolah, jalankan bisnis dengan santai.”
Gara-gara sebuah inovasi yang ingin diciptakan, dia malah jadi sakit. Tapi, bukan salah siapa pun, termasuk ibunya. Pada dasarnya Pricilla sendiri yang ngotot ingin menyelesaikan semua urusan dengan cepat. Sampai melupakan bahwa tubuh dan pikirannya membutuhkan waktu untuk beristirahat.
“Oh iya, kode yang kalian rangkai sudah sampai mana?” tanyanya.
Kode. Sebuah hukuman yang masih mangkrak pengerjaannya. Bahkan, mereka saja belum bisa menentukan satu angka yang akan digunakan. Padahal, mereka bisa saja menyelesaikannya dalam satu menit dengan asal. Akan tetapi, mereka mendapatkan ketentuan dari sekolah dalam merangkai angka agar menjadi sebuah kode.
“Usahakan dua minggu lagi selesai,” kata guru itu kemudian keluar dari ruangan.