Pricilla termenung di dalam kamar. Dia berusaha untuk mencari jalan keluar atas segala permasalahannya, ingin rasanya menjalani kehidupan yang jauh lebih baik. Pricilla sama dengan orang lain yang menginginkan kehidupan penuh akan makna dan arah yang jelas.
Tidak lama kemudian, Pricilla beranjak dari kamar untuk mencari makanan di dapur. Dia memasak oseng tempe kecap dalam waktu lima belas menit. Memikirkan masalah dan utang membuatnya kehabisan energi. Ternyata bukan hanya mencintai seseorang tanpa ada kepastian saja yang melelahkan, bahkan memikirkan diri sendiri jauh lebih membuatnya kelelahan. Setelah masakannya selesai, dia melanjutkan makan malam seorang diri di sebuah ruangan.
Baru saja selesai makan, tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Pricilla beranjak dari duduknya untuk membukakan pintu depan. Dia melihat ada seorang perempuan yang berdiri di sana dengan koper berwarna biru muda.
“Kamu kenapa?” tanya Pricilla membantu mengangkat koper itu.
“Nanti aku ceritakan, sekarang aku mau menginap di sini, boleh?” jawabnya sembari duduk di salah satu bangku kayu yang ada di sana.
Pricilla meletakkan koper di dekat bangku, kemudian melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air putih dan seporsi makanan dengan sayur yang sama. Dia meletakkannya di meja depan temannya duduk. “Silakan makan malam dulu, takutnya nanti merepotkanku karena kelaparan.”
Perempuan yang masih berdiam di bangku itu pun menuruti permintaan Pricilla untuk memakan nasi. Gadis itu pun sebenarnya merasakan lapar sejak sore tadi. Bagaimana tidak? Dia terlalu fokus bertengkar dengan orang tuanya. Dia tidak bisa terima dengan perintah kedua orang tua untuk meninggalkan geng luoji dengan alasan agar bisa fokus dengan ujian akhir.
“Ya, itu sebenarnya hak kamu untuk menentukan. Tapi, kalau memang dirasa baik, ya, lebih baik kamu mengikuti perintah dari kedua orang tuamu.” Pricilla beranjak dari duduknya, pamit pergi ke toilet karena merasa tidak nyaman dengan perutnya.
Beberapa waktu kemudian, Pricilla telah selesai dari acara dadakan. Dia melihat Anara yang sedang mencuci piring dan gelas. “Ra, biarkan aku saja yang mencucinya. Kamu duduk dulu saja,” kata Pricilla meraih gelas yang tinggal dibilas. Namun, Anara memaksa untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pantang baginya untuk menyudahi apa yang sudah dimulai, sebelum benar-benar selesai.
Mereka telah selesai berdiri di depan aliran air keran. Anara mematikan keran, lalu kembali ke tempat semula. Duduk dalam beberapa detik dengan tatapan kosong.
“Ra, ke kamar saja, yuk,” kata Pricilla mengangkat kembali koper dibawa ke kamar.
Kedua perempuan itu duduk di ranjang kasur milik Pricilla. Saling bertatapan untuk mengungkapkan perasaan yang tidak nyaman. Pricilla sadar, harta dan kekayaan ternyata tidak bisa menjamin kebahagiaan. Pada dasarnya, Anara hanya ingin mendapatkan dukungan dari orang tuanya untuk bisa berkembang lebih pesat lagi. Bahkan, geng luoji bukan hanya sebuah geng yang tidak ada faedahnya semata, namun mereka juga belajar dan saling berbagi ilmu.
“Ra, menurutmu bagaimana? Aku yakin kamu bisa menentukan pilihan apa yang bisa kamu ambil. Tidak semua pilihan orang tua itu buruk, namun hal ini pun bisa jadi mereka baik.”
“Maksud kamu apa Pris?” tanyanya masih dengan wajah yang terlihat tidak berdaya.
“Begini, kita lihat saja ke belakang. Kita ini terkenal bukan dari prestasi, tapi lebih kenakalan remaja yang melekat pada pikiran orang lain. Bahkan, masyarakat luas. Mungkin hal ini yang membuat kedua orang tua kamu menyuruhmu untuk keluar dari geng luoji. Baiknya, kita bisa merasakan bahwa kita bisa belajar arti bersaing dengan sehat. Di mana kita saling bersaing untuk mendapatkan peringkat di kelas ataupun paralel. Baiknya lagi, untuk mencapai prestasi ini juga karena kita saling berbagi ilmu dan materi.”
“Lalu apa yang harus aku ambil?” tanyanya dengan menatap lurus ke arah Pricilla, berharap akan mendapatkan solusi yang bisa diambilnya.
“Itu hak kamu, aku tidak mau mencampurinya, hanya bisa membantu semampuku. Anara, keputusan itu bukan kapasitas aku untuk menentukannya. Lebih baik, kamu istirahat agar besok pagi bisa memikirkan semua masalah ini dengan pikiran yang tenang.” Pricilla mengambil selimut biru muda agar dipakai oleh temannya.
Beberapa waktu kemudian, Anara terbangun dari tidurnya. Dia melihat jam dinding yang ada di kamar itu telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Anara beranjak dari kasur untuk mengambil air wudu, melaksanakan salat sepertiga malam sebanyak empat rakaat. Dia duduk di atas sajadah dengan tenang meminta petunjuk dari Tuhan agar tidak tersesat dalam memutuskan sesuatu. Bukan berarti dia tidak sayang terhadap orang tuanya, namun dia sendiri tidak bisa pergi dari geng luoji yang telah menerimanya dengan apa adanya.
“Ra, kamu baik?” tanya Pricilla yang baru saja terbangun, dia melihat Anara tengah menangis sembari menunduk.
“Baik, kok,” jawabnya disertai isak tangis.
Pricilla beranjak dari duduknya, memeluk Anara untuk memberikan sebuah dukungan. Kemudian, dia pergi ke dapur mengambil air minum. Dia memberikan segelas air putih untuk Anara agar bisa tenang. Pricilla tidak bisa melihat seseorang menangis, walaupun dia sendiri lebih sering menangisi nasibnya yang tidak bagus itu. “Anara, mau mengaji atau kembali tidur?” tanya Pricilla berdiri di samping meja.
“Pinjam kitab suci saja, Pris. Tanggung, sebentar lagi juga subuh.”
Pricilla mengambil Al-Qur’an dari laci meja. Dia memberikannya kepada Anara, dia sendiri kembali ke ranjang untuk melanjutkan tidurnya. Kebetulan, dia sedang tidak bisa menjalankan ibadah kepada Tuhan. Jadi, kembali tidur salah satu ini jalan terbaiknya agar bisa mengembalikan energi di pagi hari.
“Pris, kalau aku keluar konsekuensinya apa?” tanyanya sembari menghidupkan api kompor.
Hari telah berganti. Kini mereka sibuk di dapur untuk menyiapkan menu sarapan. Pricilla masih tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya, Anara sendiri tahu konsekuensi apa yang akan diterima dari setiap pilihan yang diambil. Setiap pilihan susah pasti ada konsekuensi dan keuntungannya masing-masing. “Pikirkan dulu, jangan terburu-buru mengambil keputusan.”
“Pris, kalau aku keluar ... Pasti kalian akan membicarakanku. Apalagi, tidak mau berurusan lagi denganku. Padahal, temanku hanya kalian saja, tidak ada yang lain. Andai saja teman bisa dibeli dengan uang, sudah dari dulu aku membeli semua orang di sekolah agar bisa menjadi temanku.”
“Mungkin itu salah satu konsekuensinya, Ra. Tapi, kita juga tidak akan melakukan hal itu. Apa yang mau kita bicarakan tentangmu?” tanya Pricilla sembari menuangkan sayur bayam ke mangkuk bergambar ayam jago. “Sarapan dulu,” sambungnya.
Tepat pukul setengah tujuh, mereka menikmati makanan sederhana yang sudah dimasak. Duduk berdua sembari sesekali bergurau. Mereka libur sekolah hari ini, sebab guru-guru sedang ada rapat di dinas pendidikan. Jadi, Anara pun bisa menginap di rumah Pricilla dengan tenang. Dia pergi dari rumah pun dengan adanya izin dari orang tuanya.
“Pris, hari ini kita jalan-jalan, buat menenangkan pikiran. Apa kamu mau?”
“Ra, maaf hari ini aku .... “