Jalanan yang begitu ramai menjadikan kesempatan emas bagi seorang Anara. Bagaimana tidak, aksinya dibuat mulus dengan warga yang berlalu lalang di sekitar jalan. Seperti, menerima rezeki nomplok di siang hari. Anara, bersama teman-temannya telah siap di jalanan. Mereka terpaksa melakukan kegiatan lamanya kembali. Sebab, usaha yang mereka coba belum berjalan sesuai rencana.
Mereka telah nongkrong di tepi jalan menunggu mangsa yang tepat. Walaupun, bertindak kriminal, mereka tetap saja memperhatikan calon mangsanya. Berdosa, memang. Mereka pun sadar dengan ulahnya. Tapi, mau bagaimana lagi, uang untuk keperluan anak-anak jalanan semakin menipis.
“Ra, yakin, di sini bakal aman?” tanya Anders yang merasa cemas dengan keselamatannya. Mengingat, beberapa waktu lalu yang nyaris terancam keluar dari sekolah. Bagaimanapun, sekolah dan pendidikan tetap penting baginya.
“Aman, sambil doa saja,” jawab Anara sembari memainkan rambutnya.
Sebenarnya, dirinya saja ragu untuk melakukan hal ini lagi. Terlebih, Anara pernah berjanji untuk tidak mengulangi hal ini lagi. Tapi, ya, sudahlah. Semua ini demi kesejahteraan anak-anak itu.
Tidak lama kemudian, ada seorang bapak-bapak baru keluar dari mobil. Begitu sigap, Anara mengambil tas hitam milik orang itu. Buru-buru lari sebelum ditangkap masa oleh warga. Bersembunyi di balik semak-semak sementara waktu. Dia merasa telah aman, lalu mengambil uang yang ada di dalam tas itu. Kemudian, meninggalkan tas itu di tempat yang terbuka agar orang lain bisa mengembalikan tas itu kepada pemiliknya.
“Nih, hasilnya,” kata Anara setelah kembali bergabung dengan teman-temannya.
“Itu, ditambah sama uang donat sudah pas. Setidaknya cukup untuk makan anak-anak,” kata Pricilla sembari mengambil uang keuntungan donat dari dalam tasnya.
Mereka bergegas pergi ke tempat anak-anak jalanan itu tinggal. Mengajaknya makan lalu bermain sejenak. Sebenarnya, mereka ingin mengajarkan beberapa ilmu dasar kepada anak-anak jalanan. Tapi, anak-anak itu masih sibuk dengan pekerjaannya. Katanya, beberapa hari mereka tidak mendapatkan barang-barang rongsok dengan jumlah yang banyak. Oleh karena itu, mereka harus segera mencari barang rongsok agar bisa makan untuk hari esok.
Geng luoji pun memutuskan untuk pergi. Sebab, mau berbuat apa di tempat itu, jika anak-anak jalanan sibuk dengan pekerjaannya. Mereka berkumpul di salah satu jalan. Duduk berjejer di tepi jalan sembari bergurau.
Di sekitar mereka terdapat sebuah pewarna yang tercecer dan masih penuh. Davin memungutnya lalu menyemprotkan ke arah tembok kaki jembatan layang. Mencoretkan asal sampai merasa puas.
Kemudian, mereka pergi ke sebuah tempat. Tepatnya, sebuah taman kota. Duduk di sana sembari menikmati indahnya pemandangan di siang hari. Tanpa disadari, mereka menginjak rumput yang sebenarnya dilarang untuk diinjak. Benar-benar, tidak menggunakan matanya dengan benar. Padahal, sudah jelas ada tulisan yang menyatakan dilarang menginjak rumput. Beruntung, tidak ada petugas taman yang melihatnya.
“Ra, setelah ini apa yang bakal kita kerjakan?” tanya Kim sembari duduk di bangku putih itu.
“Entah,” jawab Anara dengan lesu.
Di saat itulah, sebenarnya Kim merasakan kepala yang kembali pusing, perut terasa mual, dan badan terasa lemas. Benar-benar paket komplit yang menyerang tubuhnya. Tapi, mau pulang terlebih dahulu pun rasanya tidak enak hati. Lagi pula, di rumah pun Kim tidak tahu apa yang akan diperbuat.
“Kenapa? Kalau lo mau pulang, pulang saja,” kata Pricilla sembari merontokkan daun-daun dari tanaman yang ada di sebelahnya. Bahkan, nyaris sampai habis daun yang ada di tanaman itu.
“Enggak, sih,” jawabnya sembari memegangi kepala. “Kalian tidak takut kena pasal apa? Tadi mencoret tembok, sekarang kalian merusak tanaman.” Kim memejamkan matanya sekejap.
“Eh, enggak sadar lepasin daun-daun,” jawab Pricilla sembari tersenyum tipis.
Mereka buru-buru pergi menjauh dari taman. Meninggalkan tempat agar tidak ketahuan dari petugas taman. Mau bagaimanapun, mereka sadar telah merusak lingkungan. Padahal, lingkungan merupakan salah satu tempat yang diciptakan oleh Tuhan untuk dijaga dan dilestarikan. Tapi, mereka dengan sadar malah merusaknya tanpa mengingat akan pentingnya lingkungan untuk kehidupan.
“Ah, Dav, kalau kena tangkap, jangan bawa-bawa kita,” kata Agnetha yang duduk di jok mobil paling belakang.
“Aelah, kalian jangan menolak lupa. Kalian juga tadi menginjak rumput.” Davin menyenderkan tubuhnya lalu memejamkan mata. Mungkin, dia telah mengantuk dan lelah. Apa mungkin otaknya juga telah lelah? Ah, entah.
Tidak lama kemudian, mereka telah sampai di rumah Anara. Duduk di teras sembari menikmati sejuknya udara. Sebab, rumah Anara pun dikelilingi tanaman-tanaman yang menyejukkan.
“Nah, ini enak kali vibes-nya,” lirih Davin sembari merebahkan diri.
“Makanya, lingkungan itu jangan dirusak. Lo mah selain dingin kek kulkas, juga kang rusak. Lo udah merusak tubuh lo dengan rokok, lo juga merusak lingkungan, tapi anehnya, Agnetha kok bisa suka sih sama lo,” kata Pricilla yang duduk di lantai paling ujung sembari memainkan ponselnya.
“Iya, khilaf.” Davin memejamkan matanya. Entah, benar tertidur atau tidak. Terpenting, tidak ada sesuatu yang membuat kericuhan. Mereka juga ingin sekali-kali merasakan ketenangan.
Tiba-tiba ada seorang tetangga yang melintas depan rumah Anara. Menatap anak geng luoji dengan begitu sinis. Benar-benar seperti orang yang tidak memiliki pekerjaan. Bahkan, dia pun berhenti demi bisa mengamati anak-anak itu dengan waktu yang lumayan lama.
“Bu, matanya jangan sinis-sinis. Saya tahu kalau saya ini cantik,” kata Agnetha sembari membenarkan lengan baju yang kusut.
“Kalian ini pelajar. Tapi, kok, seperti tidak terajar,” ucapnya sembari menggelengkan kepala.
Tidak lama kemudian, tetangga Anara telah pergi. Begitu pula dengan Kim yang berpamitan untuk pulang. Katanya, dia harus segera istirahat karena merasa badan yang tidak nyaman. Mendengar penuturannya, membuat Pricilla teringat dengan kata-kata Kim yang belum terselesaikan waktu itu. Kalimat yang terpotong oleh ibunya.
“Ah, sudahlah. Lupakan,” kata Pricilla sembari memukul ringan kepalanya.
“Kenapa, Pris?” tanya Anders dengan tatapan yang begitu terlihat serius. Pricilla menggelengkan kepala, dia pun tidak mengerti dan tidak bisa menjelaskan kepada teman-temannya.
Sekitar pukul setengah dua siang, mereka berjalan kaki berkeliling tempat tinggal Anara. Melihat sekeliling sampai menemukan sebuah sungai kecil. Mereka turun untuk merendam kaki di sana. Mencari ketenangan bersama aliran air, salah satu bentuk relaksasi yang tidak banyak orang sukai. Alasannya hanya karena dingin. Padahal, air bisa membantu untuk meredam pikiran yang terasa memberatkan.
Mereka duduk di tepi sungai dengan kaki yang direndam. Anders mengambil kayu di dekatnya sembari memukulkan beberapa kali ke arah dedaunan. Tidak di sadari, banyak tumbuhan kecil yang mati akibat ulahnya. Saat itu, tidak ada orang sama sekali. Tapi, tidak disangka-sangka, ada seorang warga yang membawa handuk dan peralatan mandi mengetahui beberapa tumbuhan mati.
“Siapa yang mematikan tumbuhan itu!” teriaknya sembari menunjuk ke arah anak-anak geng yang duduk rapi berjejer di tepi sungai.
Suara itu sontak membuat mereka mencari sumber suara. Begitu melihat tatapan pria paruh baya itu mereka hanya bisa lari agar tidak tertangkap olehnya. Hari di mana mereka banyak mendapati banyak masalah yang tidak disengaja, kecuali merampas harta orang lain.
Mereka kembali masuk ke rumah Anara. Bersembunyi di sana agar tidak mendapatkan sanksi atas perbuatannya. Duduk di ruang tamu sembari menikmati makanan yang dihidangkan oleh asisten rumah tangga. Pakaian mereka yang masih menggunakan seragam sekolah bisa saja mengancamnya. Andai saja, ada orang yang paham dengan seragam SMA Go Publik, maka besok mereka harus bersiap diri mendapatkan banyak sanksi dan hukuman.
Beberapa jam kemudian, sekitar pukul tiga sore. Mereka bergegas pulang ke rumah masing-masing. Anara berada di rumah seorang diri, hanya bersama pembantunya. Dia melangkah masuk ke kamarnya untuk sekadar beristirahat. Baru saja selesai mandi, tiba-tiba ada suara rusuh dari depan rumahnya.
Rasanya malas untuk menghadapi orang-orang itu. Tapi, jika dibiarkan saja, bisa-bisa ruangnya akan berantakan tidak karuan. Anara memutuskan untuk turun dari lantai dua, menemui orang-orang itu.
“Anara, kamu harus tanggung jawab atas tumbuhan yang mati di sungai,” teriak salah satu warga.
“Aduh, Pak. Tanaman itu, kan yang merusak teman saya. Lantas, kenapa harus saya yang bertanggung jawab.” Anara menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Nah, kalau begitu, kamu dan teman-temanmu itu harus bertanggung jawab. Mengganti tumbuhan itu lalu ditanam di sana. Dasar, anak muda, tidak peduli akan lingkungan. Memang, kalian ini tinggal di mana? Kok bisa-bisanya merusak lingkungan,” kata salah satu ibu-ibu yang berdiri di barisan paling depan.
“Anara, saya tunggu sampai besok,” kata ketua RT setempat.
Warga itu pergi dari rumah Anara. Rasanya begitu lega tidak ada hal buruk yang menimpa. Andai saja, Anara menolak ajakan untuk pergi keliling sekitar, pasti dirinya tidak akan mendapatkan sanksi dari ketua RT dan warga.
Waktu tetap berputar, beberapa saat kemudian, ada pesan dari ibunya. Beliau menanyakan akan masalah yang terjadi dengan Anara. Tapi, Anara mengelaknya agar tidak mendapati sebuah hukuman darinya. Takut, itu yang ada di dalam hati Anara. Apalagi, kalau ibunya tahu dengan ulahnya yang lain, pasti hidupnya akan selesai begitu saja.
Sebenarnya, ibunya tidak kejam. Hanya saja, dia mengajarkan sikap mandiri dan tanggung jawab kepada Anara. Namun, kadang, Anara salah mengartikan bentuk kasih sayang dari ibunya.
“Anara, Mama tidak mau tahu, besok masalah sama warga harus sudah selesai,” katanya dari balik telepon. Dalam waktu kurang lebih lima detik, hanya kalimat itu yang keluar dari mulut ibunya. Belum juga Anara menjawab, sambungan telepon telah diputus sepihak.
“Nah, ini jauh lebih sakit daripada dighosting sama cowok,” katanya sembari melempar ponsel ke ranjangnya.
Saat ini, Anara berada di kamarnya. Duduk di tepi ranjang sembari menatap indahnya langit dari kaca jendela. Sebuah pemandangan yang sangat disukai olehnya.
“Iya, juga, sih. Kalau lingkungan rusak, apa langit akan sebagus ini? Apa bumi akan baik-baik saja?” lirihnya lalu menundukkan kepalanya. Rasanya, dia malu terhadap Tuhan yang telah menciptakan dunia dengan indah dan menenangkan ini. Tapi, tangan manusia yang selalu usil itu menjadikan lingkungan terlihat begitu kotor dan menjijikkan, termasuk Anara sendiri.
Lima menit kemudian, asisten rumah tangganya mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Anara bangkit lalu membuka pintunya. Tersenyum ke arah pembantunya yang selalu ada untuknya. Lain dengan orang tuanya yang entah jarang ada di rumah.
“Non, makanan sudah siap,” katanya dengan lembut.
“Nanti saja, saya ambil sendiri,” jawab Anara lalu menutup pintu kembali setelah dia pergi dari hadapannya.
Ponselnya bergetar. Ada sebuah pesan dari Pricilla. “Ra, bagaimana? Enggak ada apa-apa, kan?” tanyanya.
“Santai saja. Cuman, besok kita harus membenarkan lingkungan yang tadi sempat dirusak. Kita harus mengganti tumbuhan yang mati,” kata Anara melalui pesan itu.
“Astaga, sulit duit, malah nambahin pengeluaran,” kata Pricilla setelah sambungan telepon terhubung, “Dasar, Anders, pokoknya besok dia yang harus beli tanaman,” sambungnya dengan galak.
Anara hanya terdiam. Pikirannya terpaku pada sosok orang tua yang sama sekali tidak ada untuknya. Lantas, sebenarnya siapa orang tuanya?
Tidak ada sahutan dari sambungan telepon pun membuat Pricilla semakin kalut. Apa Anara merasa terbebani seorang diri akibat ulah mereka?
“Ra, lo kenapa?” tanya Pricilla dengan suara yang jauh lebih pelan.
“Enggak, oh iya, pokoknya besok kalian harus datang ke rumah. Gue enggak mau kalau disuruh tanggung jawab sendiri. Apalagi, tangan gue diam enggak merusak apa pun,” kata Anara lalu menutup sambungan telepon. Dia menutupnya tanpa ada kalimat penutup. Untung saja, itu hanya telepon bersama temannya. Coba saja, kalau telepon itu dengan guru atau orang penting lainnya, bisa-bisa terancam hidupnya.
Anara turun ke lantai satu. Sebelumnya, dia meninggalkan ponsel di atas ranjangnya. Mengambil satu porsi makanan di dapur. Menikmati makanan seorang diri tanpa ada yang menemani. “Dasar, orang tua tidak sadar kalau punya anak,” lirihnya sembari menyuapkan satu sendok ke mulutnya sendiri. “Tahu begini, dulu enggak usah buat anak,” sambungnya setelah menelan makanannya.
“Non, jangan berbicara seperti itu,” kata pembantunya yang berdiri di samping meja.
“Ya, memang kenyataannya seperti itu. Sini, Bibi makan sama Anara,” jawab Anara sembari menunjuk kursi di sampingnya.
“Bibi tadi sudah makan,” jawabnya.
“Ya, sudah kalau begitu, temani Anara makan.”
Pembantu Anara duduk di kursi sebelah kanan Anara. Duduk diam di sana sembari menunggu anak majikannya selesai makan. Sebenarnya, dia begitu ngilu melihat Anara yang selalu kesepian. Tambah lagi, kurang mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Padahal, anak seusia Anara begitu membutuhkan peran keduanya.
“Bi, besok tolong belikan Anara tumbuh-tumbuhan lima tanaman,” kata Anara sembari meneguk air minum.
“Kalau lagi minum, jangan sambil bicara, nanti tersedak,” katanya.
Anara tersenyum.
“Memang, untuk apa?” tanyanya lagi.
“Buat ganti tanaman yang mati di sungai,” jawab Anara sembari tersenyum. “Terima kasih, Bi,” sambungnya lalu pergi kembali ke kamarnya.