7. Pesona Mira, putri Om Irwan

2118 Kata
Himpitan ekonomi semakin lama semakin terasa mencekik. Selain rumah dan sepeda motor, tidak ada lagi barang berharga yang mereka miliki. Terpikir oleh Adi dan Dina untuk menggadaikan rumah untuk menutup biaya hidup, tapi mereka urungkan karena keduanya tidak memiliki penghasilan tetap untuk membayar angsuranya. Bisa jadi jika tidak membayar, mereka justru akan kehilangan tempat tinggal. Sementara sepeda motor satu-satunya mereka saat ini juga tidak mungkin mereka gadaikan karena sepeda motor itu kini Adi gunakan untuk mencari rezeki dengan menarik ojek, walaupun uang yang dihasilkan tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Bahkan pernah beberapa kali Adi tidak mendapatkan satu pun pelanggan. Saat Kehilangan sepeda motornya beberapa waktu yang lalu, sebenarnya Adi sudah mencoba menemui Roni. Ia kembali ke pabrik di mana Roni bekerja. Namun menurut security yang memanggilnya, Roni tidak berada di sana. Adi benar-benar merasa sudah ditipu mentah-mentah oleh Roni. Tidak mungkin jika Roni tidak berada di pabrik karena hari itu masih dalam jam kerja. Buruh macam apa yang bisa seenaknya keluar masuk di jam kerja. Tapi Adi tidak mampu berbuat apa-apa karena memang ia tidak memiliki bukti apa pun untuk menuduh Roni lah yang telah melakukannya, walaupun Adi yakin bahwa Roni lah yang telah berbuat curang dan mengambil sepeda motornya dengan kunci cadangan yang masih disimpannya. Sementara ruko yang sebelumnya Adi sewa untuk tempat usaha warung padang mereka, belum juga mendapatkan penyewa baru. Sementara waktu terus berjalan dan waktu sewa mereka pun semakin lama semakin berkurang. Itu artinya mereka semakin mengalami banyak kerugian. Dari situlah akhirnya terpaksa dina meminjam uang kepada om irwan bina tahu tante meri tidak terlalu menyukainya mungkin karena tante mery menganggap bahwa Dina adalah beban keluarga. Tapi mau bagaimana lagi? Daripada putrinya tidak bisa makan, lebih baik ia mengorbankan harga dirinya. Lagi pula ituyang ia mintai tolong adalah pamannya sendiri. Ini adalah pertama kalinya Dina menginjakkan kakinya di rumah Om Irwan selama delapan bulan terakhir. Terakhir kali ia kerumah adalah untuk membayar hutangnya. Bukan karena Dina melupakan semua kebaikan Om Irwan, tapi karena Dina tidak ingin membuat Tante Mery merasa tidak nyaman dengan kehadirannya. Sesekali Dina hanya menanyakan kabar Om-nya itu melalui w******p. “Eh, ada Sila ... Hallo Sila,” sapa Om Irwan dengan ramah sambil berjalan mendekat. Dikecupnya pipi Sila dengan gemas. Sangat terlihat jika Om Irwan sangat menyukai anak kecil. Mungkin lebih tepatnya Om Irwan sudah mendambakan seorang cucu. Sayangnya Mira, putri pertamanya yang juga sepupu Dina masih baru lulus kuliah dan saat ini sedang mencari pekerjaan. Usianya terpaut hampir empat tahun dengan Dina. “Apa kabar kamu Dina, Adi? Lama sekali ngga main ke sini. Duh, Sila udah gede ya,” lanjut Om Irwan yang kembali melihat ke arah si kecil Sila. “Alhamdulillah Om. Om dan Tante sehat juga kan? Tante mana Om?” tanya Dina basa basi, padahal ia tahu Tante Mery ada di dalam karena tadi ia mendengar suaranya. Ya, Dina mendengar perkataan Tante Mery yang sepertinya keberatan dengan kedatangannya. “Alhamdulillah, Om sehat. Cuma kemarin aja beberapa hari Tante agak ngga enak badan. Sebentar ya coba Om panggil dulu.” “Eh, udah ngga usah Om, ngga papa. Biar Tante istirahat aja,” sahut Dina. Om Irwan yang sudah beranjak dari sofanya kembali duduk. Sepertinya Om Irwan memang tidak terlalu serius untuk menghadirkan Tente Mery di hadapan mereka. Om Irwan tahu apa yang akan terjadi jika ada Tante Mery. Pasti suasana menjadi kurang nyaman karena perkataan Tante Mery tadi. “O, ya ini Om, ada sedikit kue bikinan Dina. Semoga suka ya Om,” kata Dina sambil meletakkan kantong plastik putih berisi satu dus makanan berwarna coklat. “Wahh, ini pasti brownies bikinan kamu ya. Udah lama banget nih Om ngga makan ini. Makasih ya, pake report-repot segala.” Om Irwan meraih bungkusan itu dan membuka sedikit tutupnya untuk melihat isinya. Terlihat Om Irwan sangat menghargai sekecil apa pun pemberian orang lain walaupun ia sendiri bisa dengan mudah membelinya. “Ah, engga kok Om,” sahut Dina yang memang tahu bahwa Om Irwan begitu menyukai kue brownies buatannya. Dulu setiap kali Om Irwan datang menjenguk ayahnya, pasti Om Irwan selalu minta dibuatkan brownies. Dina belajar membuat brownies itu dari ibunya ketika SMP, tepat satu minggu sebelum beliau tiada. Entah kenapa saat itu Yulia, ibu Dina begitu ngotot agar Dina belajar membuat kue brownies, padahal saat itu Dina sedang ujian tengah semester di sekolahnya. Sikap Yulia itu seolah menjadi sebuah pertanda kepergiannya. Ia ingin meninggalkan sebuah kenangan untuk Dina. Jadi, jika suatu saat nanti Yulia tidak ada lagi di dunia, Dina tetap bisa memakan kue brownies favoritnya yang ia buat ssendiri dengan tangannya. “O ya, Adi, gimana usaha rumah makan kamu? Makin sukses dong pastinya? Wah, Om masih penasaran nih pengen cobain gimana rasanya,” tanya Om Irwan. Sejak Adi dan Dina memulai bisnisnya, Om Irwan memang belum pernah sekali pun berkunjung ke warung makan mereka dengan alasan kesibukan. Pernah satu kali Om Irwan berencana untuk mampir ke warung makan Adi saat berkunjung ke rumah mereka, tapi tiba-tiba ia ditelepon oleh Tante Mery untuk segera menuju ke pabrik garmen karena ada sedikit masalah. Terpaksa Om Irwan membatalkan rencananya itu dan menunda rasa penasarannya. Mendengar pertanyaan Om Irwan, Adi dan Dina saling pandang sambil tersenyum getir. Kalau saja Om Irwan tau maksud kedatangan mereka ke sana, tentu Adi tak harus kebingungan memberikan jawaban. “Mmm ... itu Om, ....” Di saat Adi tengah kebingungan bagaimana menjawab pertanyaan Om Irwan, sekaligus menyampaikan maksud kedatangan mereka, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah ruang keluarga. Ya, Dina hafal betul itu adalah suara langkah kaki Tante Mery. Karena hanya Tante Mery yang selalu mengenakan sandal di dalam rumah. Ia pikir Tante Mery tidak akan menemuinya, tapi rupanya pemikirannya salah. “Tante Mery ...,” sapa Dina ramah sambil menganggukkan kepalanya. Begitu juga dengan Adi yang juga mengaggukkan kepalanya sambil tersenyum. Adi semakin terlihat canggung dengan kehadiran Tante Mery. Bisa dibayangkan apa yang akan dikatakan Tante Mery jika ia mengetahui usaha yang telah dijalankannya kini tengah bangkrut. Apalagi maksud dan tujuannya datang ke sini. Tante Mery hanya tersenyum sekedarnya, lalu duduk di samping Om Irwan. “Dari rumah aja?” tanya Tante Mery. “I-iya, Tante. Tante apa kabar?” Dina balik bertanya. “Baik,” jawab Tante Mery singkat dengan senyum yang sangat terbatas. Keadaan menjadi canggung. “Eh, gimana tadi. Gimana usaha makanan kamu? Lancar kan?” Om Irwan kembali bertanya dengan ramah, berusaha mencairkan suasana. Lagi pula pertanyaannya belum terjawab oleh Adi. “Sayaa ... saya udah ngga buka tempat makan lagi Om,” jawab Adi lirih. “Lho, memangnya kenapa? Bukannya warung makan kamu begitu ramai? Om pernah lewat beberapa kali lho, makanya Om penasaran sama rasanya. Atau kamu buka bisnis lain?” “Engga Om, sekarang saya ngojek Om,” jawab Adi pelan, nyaris tak terdengar, membuat Om Irwan dan Tante Mery mengerutkan keningnya. “Eee ... ini Om.” Dina berusaha ikut menjelaskan. Ia tau Adi tidak siap untuk menjawab pertanyaan Om Irwan. Lagi pula, Dina lah yang mengajak Adi ke rumah Om Irwan untuk meminjam uang. “Sebenernya, usaha kami sudah berhenti Om sekitar tiga bulan yang lalu.” “Bangkrut maksudnya??” tanya Tante Mery yang langsung menembak tanpa basa basi. “I-iya Tente.” “Memangnya apa masalahnya kalau Om boleh tau?” “Waktu itu di warung makan kami ....” Baru juga hendak menjelaskan, Tante Mery sudah memotong perkataan Dina. “Makanya, kalau ngga ada bakat bisnis itu ngga usah coba-coba. Akhirnya apa? Susah sendiri kan? Tabungan habis, duit warisan yang ngga seberapa itu juga habis. Mending kami depositokan. Aman. Atau, kalian kurang sedekah, makanya usahanya jadi ngga lancar,” ucap Tante Mery. Pelan, tapi begitu menusuk di telinga Dina. Ingin rasanya marah, tapi Dina masih tahu sopan santun. Ia pun tidak pernah diajarkan untuk menentang perkataan orang yang lebih tua. “Maahh ....” Irwan melirik ke arah Mery agar Mery bijak dalam berbicara. Tidak seharusnya ia berbicara seperti itu. Irwan sendiri sudah tahu bagaimana kelakuan istrinya, apalagi dengan keponakannya yang satu itu. “Lhoh, apanya yang salah Pah? Mamah bener kan ngomongnya?” Kali ini Tante Mery menaikkan intonasinya. “Mamah ngga boleh ngambil kesimpulan seenaknya. Kita kan belum mendengar penjelasan mereka. Biarkan mereka bicara dulu,” sahut Om Irwan. Terlihat Om Irwan begitu menahan emosinya walaupun terlihat tenang. Dina pun kembali bicara ketika Om Irwan sudah memberinya kode dengan kembali menoleh ke arahnya dan menganggukkan kepala. Sementara Tante Mery melirik ke arah lain dengan ekspresi wajah kesal. “Iya, benar Om, Tante. Warung makan padang kami sudah bangkrut. Kami pun tidak pernah menyangka. Waktu itu datang pembeli ke warung kami, tiba-tiba dia mengatakan kalau ada kecoa di piring makannya. Sejak itu warung makan kami jadi sepi.” “Kamu lihat sendiri ada kecoa di piringnya?” tanya Om Irwan. Dina mengangguk. “Iya, saya lihat. Tapi kami bisa pastikan, warung makan kami bersih Om. Saya yakin. Saya juga ngga tau kenapa kecoa itu bisa ada di piringnya,” jawab Dina yang kembali teringat peristiwa itu. Sedih? Pasti. Tapi mungkin lebih kepada marah dan kecewa atas fitnah yang sudah dilontarkan kepada suaminya. “Saya merasa difitnah, Om.” Om Irwan menghela napasnya. Ia tahu benar apa yang dirasakan keponakannya itu. Ia tahu betul bagaimana dunia bisnis yang penuh dengan persaingan dan tipu daya. Semua bisa dilakukan demi untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. “Kalian sabar ya ... Dunia bisnis memang seperti itu. Kejam. Kadang kita yang jujur justru menjadi korban mereka yang tidak jujur. Mungkin semua yang kalian alami bisa dijadikan pelajaran untuk ke depannya. Memasang cctv di setiap sudut itu perlu untuk menghindari hal-hal seperti itu. Begitu pun saat mempekerjakan orang.” “Iya, Om. Makasih banyak Om nasihatnya,” sahut Adi. Sekilas Dina melirik ke arah Tante Mery yang masih sangat tidak bersahabat, lalu kembali menoleh ke arah Om Irwan. “Begini Om, maaf sebelumnya. Dina datang ke sini, bermaksud untuk ... meminjam uang untuk mencukupi kebutuhan kami sehari-sehari, sampai Mas Adi dapat pekerjaan yang lebih baik.” “Iya, Om pasti bantu kamu. Lagian kan Om sudah pernah bilang. Kalau kamua ada apa-apa ngga usah sungkan-sungkan bilang sama Om. Om ini kan pengganti Papah kamu.” “Iya, Om. Makasih ya Om.” “Kamu tunggu sebentar ya. Om ke dalam dulu. Itu diminum dulu, kasian lho Bi Minah sudah cape-cape buatkan. Tuh, Sila cobain pudingnya tuh, enak lho.” “Iya, Om.” Om Irwan pun beranjak dari tempat duduknya dan segera masuk ke dalam. Masih dengan raut wajah kesal, Tante Mery pun mengikuti langkah Om Irwan. Lagi-lagi sayup terdengar Tante Mery berbicara dengan nada kesal. “Tuh kan, apa kubilang. Pasti mereka ke sini mau pinjem uang. Papah sih, terlalu memanjakan. Biarin dong mereka mandiri, menyelesaiakan masalah mereka sendiri.” “Mamah tuh kenapa sih. Biarin lah. Toh, mereka keponakan Papah. *** Adi dan Dina melangkah keluar dari dalam rumah om Irwan dan tante Mery. Sengaja Dina tidak terlalu berlama-lama berada di rumah om Irwan karena ia sudah tidak tahan lagi dengan tatapan mata tante Merry yang begitu memojokkan dan menghakiminya. Apapun itu Dina sangat bersyukur karena om Irwan sudah meminjamkannya sejumlah uang tanpa Dina menyebutkan nominalnya. Bahkan om Irwan pun mengatakan untuk tidak perlu mengembalikannya. Tidak, tentu Dina tidak ingin seperti itu. Bagaimanapun ia tetap harus mengembalikan uang itu jika nanti kehidupan ekonomi mereka telah membaik. Baru saja menaiki sepeda motor, tiba-tiba sebuah mobil honda jazz masuk ke dalam area parkir. Seketika Adi dan Dina pun menoleh ke arah mobil itu dan menunggu siapa yang akan keluar dari dalam mobil. “Loh, mbak Dina. Lagi di sini?” sapa Mira, putri pertama om Irwan setelah keluar dari dalam mobil. Terlihat lah sosok gadis bertibuh tinggi, berkulit putih, dan berambut hitam panjang. Terlihat sangat cantik dan modis dengan rok mini dan tshirt putih yang sedikit ketat. Siapa pun laki-laki yang melihatnya pasti akan terpesona melihat kecantikan Mira. Apalagi saat ini ia sudah mulai bisa berdandan. “Eh Mira, kirain siapa. Mobil kamu ganti?” tanya Dina. “Iya, udah lama kok. Mba aja yang baru liat. Lagian mbak Dina juga ngga pernah lagi dateng ke sini,” jawab Mira. “Eh ada mas Adi,” sapa Mira kepada Adi sambil mendekat ke arah mereka. “Apa kabar Mas?” “Alhamdulillah, baik,” jawab Adi yang segera mematikan mesin sepeda motornya. “Eh, ada Sila juga,” sapa Mira dengan gaya centilnya. “Iya, Tante Mira.” Dina menirukan ucapan Sila dengan gaya anak-anak. “Ya udah kita pamit dulu. Kasiam Sila kayaknya udah ngga betah,” kata Dina yang sebenarnya tidak begitu nyaman melihat penampilan Mira yang terlalu terbuka di depan suaminya. “Yah, buru-buru amat Mba.” “Iya nih, kapan-kapan deh main ke sini lagi.” “Ya udah. Janji lho ya. Bye-bye Sila ....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN